Oleh : Muhammad Aufal Fresky
Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi
Jika Anda pergi ke tokoh hendak membeli sebuah barang, apa yang diperhatikan terlebih dahulu? Isi apa kemasannya? Pasti yang dilihat adalah kemasannya. Jika kemasannya menarik, maka tak sedikit dari kita yang memutuskan untuk membelinya. Padahal tidak begitu butuh. Padahal harganya juga cukup menguras kantong misalnya. Ternyata, sesampai di rumah, barang yang dibeli, isinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Tidak selaras dengan harganya. Itu semua karena mungkin terburu-buru untuk membelinya. Atau terpangaruh iklan di TV, radio, Youtube, Instagram, atau saluran medsos lainnya. Setelah terbeli, kita merasa kecewa. Bahkan, kadang merasa ditipu. Sebab, isi tak sesuai wadah. Begitu juga ketika memilih calon pemimpin, baik di level pusat maupun daearah, tak jarang kita juga terbius oleh citra visual yang ditampilkan masing-masing kandidat. Padahal, latar belakangnya tidak jelas. Padahal ada juga yang pernah terasandung kasus korupsi. Tapi, nyatanya kita tidak begitu memperhatikan hal-hal itu.
Penampilan baju denan setelan celana dan jas kandidat tersebut cukup meyakinkan. Kata-katanya seolah tanpa celah. Janji-janji politiknya sangat meyakinkan ketika dilontarkan di masa kampanye. Sebagian dari kita, sekali lagi, terhipnotis oleh kandidat-kandidat semacam itu. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, orang-orang semacam itu tidak memberikan kontribusi apapun bagi masyarakat. Sebagian justru tersandung kasus, baik korupsi, kolusi, maupun nepotisme. Kita memilih karena kulit. Bukan karena isi. Kita memilih karena citra. Bukan karena visi dan karakter kandidat. Dan celakanya, setelah duduk di kursi kekuasaan, semua orang-orang yang awalnya bertutur kata bak juru selamat itu tiba-tiba berubah menjadi penindas. Tiba-tiba hilang ingatan akan janji-janji politiknya. Penguasa-penguasa semacam itu hanya sibuk dengan diri, keluarga, dan golongannya. Urusan rakyat sama sekali tidak dijadikan prioritas.
Ini masih belum menyinggung politik uang atau politik transakional. Ini masih seputar masalah pencitraan politisi yang membawa malapetaka bagi kehidupan masyarakat. Sebab, semua itu palsu. Setiap ucapan dan gerak-geriknya berubah total ketika menjadi pemimpin. Seolah rakyat adalah pelayannya. Seakan-akan pemimpin-pemimpin tersebut adalah majikan yang bisa sewenang-wenang terhadap rakyat. Bersikap semau-maunya ketika memimpin. Perubahan yang terjadi secara drastis tersebut sebenarnya menjadi bukti nyata bahwa semua yang disampaikan ketika masa kampanye adalah penuh kepalsuan. Penuh dengan topeng yang belapis-lapis. Pemimpin tersebut tidak menjadi otentik. Tidak menjadi dirinya sendiri. Penuh settingan. Penuh sandiwara untuk memperoleh simpati warga. Dan lagi-lagi, kita terbuai oleh kata-kata manis berbisa. Pemimpin-pemimpin semacam itu ibarat bunglon yang bisa berubah-ubah warna sesuai kondisi dan kepentingannya. Ibarat ular yang licin, gesit, dan beracun. Kemudian menjadi tikus-tikus berdasi yang siap memakan apa saja milik rakyat.
Nafsu materialistis dan ambisi terhadap kekuasaan orang-orang semacam itu tak bisa dibendung. Tak lagi mempedulikan halal dan haram. Apalagi hanya urusan norma hukum. Semuanya dianggapnya bisa diatur dan disesuaikan dengan kemauannya. Hasrat terhadap tahta benar-benar membutakan mata hatinya. Hanya dekat dengan rakyat ketika ada maunya. Hanya bersedia turun ke rumah-rumah orang tak berpunya ketika ingin mendulang suara. Setelah itu, hilang tanpa bekas. Kepercayaan rakyat dikhianati. Amanat yang diemban hanya digunakan untuk memperkaya diri. Padahal, dulu ketika masa kampanye, visinya jauh ke depan, rencananya jelas, yaitu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hingga ke akar-akarnya, mewujudkan pemerintahan yang adil, beradab, dan transparan. Ternyata semua itu hanyalah retorika lips service. Apa yang diungkapkan tak sesuai kenyataan. Ucapan dan tindakan tak sejalan. Pembohong berjas dan berdasi tersebut justru lebih berbahaya. Sebab, mereka adalah sebagian merupakan orang-orang pintar yang jago berkelit. Pintar bersilat lidah. Padahal dialah salah satu biang keladi atas tidak terpenuhinya hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Lucunya lagi, sebagian pemimpin tersebut kerap kali tampil di media massa seolah tanpa noda. Berbicara seolah-olah desa/kota/provinisi yang dipimpinnya sudah mengalami banyak kemajuan. Sungguh ini menyakitkan kita yang pernah memilihnya. Hadirnya pemimpin-pemimpin semacam itu, ternyata juga atas kontribusi kita sebagai pemilih, Sebab, tanpa pertimbangan yang matang, memilih calon pemimpin hanya berdasarkan kemampuan berorasi dan berpenampilan yang menarik.
Oleh sebab itu, melalui catatan ini, saya ingin mengimbau dan mengajak kita semua, agar tidak buru-buru dalam memilih pemimpin. Pelajari dulu rekam jejaknya. Apa yang telah dilakukan oleh kandidat-kandidat tersebut selama berkiprah di tangah masyarakat. Apa prestasinya selama ini, dan sebagainya. Setidaknya kita memiliki pertimbangan yang jelas sebelum menetapkan pilihan. Setiaknya kita cukup mengetahui sifat, sikap, dan kepriabdian calon pemimpin kita meskipun hanya lewat media massa. Ha litu lebih baik daripada memilih hanya karena ucapan manis dan pakaian yang necis. Sebab, tidak selamanya kulit mencerminkan isi. Yang terpenting adalah isi daripada kulit. Kita semua berharap dan mendamba, hadir di tengah-tengah kita suatu saat nanti, pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Pemimpin yang siap menjadi pelayan rakyat selama 24 jam. Siap mendengarkan keluh kesah rakyat. Siap melayani rakyat sepenuh hati. Serta menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama dalam setiap pengambilan kebijakan.