Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Alquran sebagai Bacaan dan Pedoman Hidup

×

Alquran sebagai Bacaan dan Pedoman Hidup

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel

Saat peringatan Hari Kartini 21 April 2017 lalu, Menteri Sosial RI (kini Gubernur Jawa Timur) Khofifah Indar Parawansa meresmikan pemugaran makam Raden Ajeng Kartini dan menjadikannya sebagai destinasi wisata sejarah dan religi di Jepara. Dengan begitu minimal sudah tiga penghargaan nasional yang diberikan pemerintah kepada Kartini. Pertama, melalui SK Presiden Soekarno Nomor 108/1964 tertanggal 2 Mei 1964, Kartini dianugerahi gelar pahlawan nasional. Kedua, bersamaan dengan SK presiden tersebut, tanggal kelahirannya 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini. Ketiga, pemugaran dan peresmian makam Kartini sebagai destinasi wisata sejarah.

Baca Koran

Meskipun demikian, kontroversi seputar Kartini tetap ada. Walau lebih 100 tahun dari kematiannya, dan lebih 50 tahun sejak SK dikeluarkan, ketokohan dan kepahlawanan Kartini kadang masih dipertanyakan. Bagaimana keberagamaannya, mengapa ia bersedia menjadi istri poligami, dan mengapa hanya dengan bersurat-suratan dengan wanita Eropa, khususnya Belanda yang menjajah Indonesia, Kartini justru dijadikan pahlawan nasional.

Bukankah pahlawan nasional yang lahir di masa itu rata-rata orang yang gigih berperang memanggul senjata melawan penjajah Belanda dengan taruhan nyawa, seperti Ratu Kalinyamat, Tjut Nyak Dien, Tjut Meutia, Nyi Ageng Serang dan Maria Christina Tiahahu? Bukankah masih banyak wanita lain yang berjasa, tapi tidak mendapatkan penghargaan?

Konteks Sejarah

Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak terkecuali para pahlawan nasional, mereka bukan nabi dan malaikat yang sempurna dan maksum tanpa dosa. Termasuk Kartini, tokoh emansipasi kelahiran Jepara 21 April 1879 yang wafat di usia sangat muda, 17 September 1904. Memahami Kartini tak bisa sepotong-sepotong. Lebih penting lagi, harus memahami seorang tokoh dalam konteks zamannya, bukan zaman sekarang.

Melalui suratnya kepada Stella Zihandelaar (6 November 1899), Kartini memang seolah tidak bangga akan agama Islam, karena Islam yang dianutnya hanya warisan dari kakek-neneknya. Al Quran saat itu terlalu suci, sehingga hanya boleh dibaca dan tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun agar bisa dipahami. Kartini bahkan pernah dimarahi seorang guru ngaji karena bertanya arti satu ayat, sehingga ia jadi curiga, jangan-jangan gurunya juga tak paham artinya. Karena itu ketika curhat kepada Ny Abendanon (15 Agustus 1902), ia menyatakan tidak mau lagi membaca Al Quran…, karena tidak mengerti artinya. Akibat keadaan ini, Kartini dan banyak muslim sezamannya tidak paham apa itu Islam. Kartini sempat berpikir untuk urung jadi orang saleh, dan memilih jadi orang baik saja.

Apabila kalimat curhat Kartini dipahami sampai di sini, kita bisa salah paham, bahwa ia seorang yang tidak taat beragama, tidak atau malas membaca Alquran hanya karena tidak paham isinya. Padahal membaca Al Quran, paham atau tidak, tetap berpahala. Tentu saja memahaminya lebih baik supaya dapat menghayati dan mengamalkan isinya. Memang di masa itu Al Quran dianggap terlalu sakral, sampai orang tak berani menerjemahkannya. Tapi itu semata politik penjajah Belanda, sebab kalau diterjemahkan dan kaum muslimin tahu maknanya, hal itu sangat berbahaya. Al Quran banyak berisi ajaran kemajuan dan jihad untuk melawan penjajah.

Baca Juga :  Tiga Pilar dalam Islam untuk Mewujudkan Keamanan

Ketika KH Saleh bin Umar dari Darat-Semarang, menerjemahkan surat al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa dengan bahasa Arab Melayu supaya tidak dicurigai Belanda, kemudian diajarkan di rumah Pangeran Ario Hadiningrat, paman Kartini yang menjadi Bupati Demak, Kartini pun mencuri dengar. Karena sangat tertarik, sejak itu ia selalu merengek kepada pamannya untuk terus berguru kepada Kyai Saleh. Kyai Saleh yang tahu betapa awamnya Kartini tentang ilmu agama dan besarnya keingintahuan akan isi kandungan Al Quran, berinisiatif menerjemahkan dan menafsirkan Al Quran dengan bahasa Jawa, tentunya dengan sembunyi-sembunyi. Tafsir hingga juz ke-13 itu dihadiahkan oleh sang kyai ketika Kartini disunting Bupati Rembang RM Joy odiningrat.

Setelah itu melalui surar-suratnya kepada para sahabatnya di Eropa, Kartini menyatakan kebanggaannya dengan hadiah tafsir tersebut, karena ia semakin tahu isi Alquran yang sangat mengagumkan dan berisi spirit menuju kemajuan, termasuk untuk memajukan kaum perempuan. Ia suka mengulang-ulang kalimat “minaz-zhulumaat ilan-nuur” (dari kegelapan menuju cahaya) yang banyak terdapat dalam Alquran, yang seolah cermin dari kehidupan dirinya, bangsa dan kaumnya selama ini yang umumnya hidup dalam keterbelakangan dan pingitan.

Kartini yang semula ingin menjadi orang setengah Jawa dan setengah Eropa karena sempat mengagumi kebudayaan Barat, akhirnya kembali membanggakan ajaran Islam yang terkandung dalam Al Quran, karena ia jadi tahu bahwa Al Quran tidak hanya bacaan, tetapi juga pedoman hidup. Ia ingin agar sang kyai meneruskan terjemahannya hingga 30 juz, namun sayang sang kyai wafat, dan tak lama kemudian, tahun 1904 Kartini juga wafat. Akhirnya hanya tafsir 13 juz itu yang dapat diwujudkan dan itulah tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa yang disusun dengan aksara Arab.

Ketika surat-surat Kartini kepada para sahabat Belanda-nya oleh JH Abendanon dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht”, kemudian oleh sastrawan Armijn Pane diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”, orang jadi kesulitan memahami secara kontekstual dan tepat. Karena tidak dikaitkan dengan agama, banyak orang mengira Kartini tidak taat beragama. Padahal yang dikehendaki Kartini adalah “dari kegelapan menuju cahaya”, sebagai inti ajaran Islam, karena Al Quran sangat mendorong orang untuk maju, menuntut ilmu, berpikir rasional dan sama sekali tidak ada pingitan.

Wanita Daerah

Jelas Kartini seorang yang cerdas dan berusaha berpikir kritis. Ia ingin memahami agama secara benar dan mendalam. Wajar Kartini sempat mengalami pergolakan batin dalam beragama, tetapi separoh dari usianya terakhir ia sudah beragama dengan benar karena sudah mengerti isi Al Quran dan beroleh pencerahan dari ulama. Bahwa Kartini bersedia dipoligami, hal itu sesuai zamannya saja, karena para bupati, adipati, raja, sultan dan pangeran sejak dulu, bahkan hingga sekarang, rata-rata beristri lebih seorang. Justru perkawinannya itu menguntungkan bagi Kartini. Meski sebagai anak bangsawan, putri kelima dari Adipati RM Ario Sosroningrat, Kartini oleh ayahnya dilarang sekolah. Namun sejak bersuamikan Joyodiningrat, Kartini diberi kebebasan untuk belajar, juga mengajar anak-anak perempuan di lingkungan keraton.

Baca Juga :  Kenapa Saat Istinja dan Menghilangkan Najis Tanpa Perlu Niat ?

Meski tidak angkat senjata, kepahlawanan Kartini dapat diterima, karena pemikiran dan perannya mengangkat harkat dan martabat wanita sebuah terobosan besar. Perempuan di zamannya terbelakang, dan itu bukan karena ajaran agama, tapi adat-istiadat dan tradisi yang membelenggu. Juga akibat politik penjajah yang tidak ingin bangsa Indonesia pintar dan maju.

Di zaman kolonial latihan pencak silat saja dilarang oleh Belanda, ulama terpaksa mengakalinya dengan iringan lagu-lagu marawis, sehingga dibolehkan, padahal sejatinya latihan bela diri juga untuk melawan penjajah. Sampai-sampai Al Quran yang terbuka untuk dipelajari siapa saja, justru tidak boleh diterjemahkan. Bagaimana kita mengerti ajaran agama sementara kita tidak mengerti bahasa Arab.

Ketokohan Kartini tak perlu kita gugat dan pertanyakan. Apalagi hadis Nabi Muhammad SAW mengatakan, Uzkuru mahasina mautakum… (Ingatlah kebaikan-kebaikan orang-orang yang telah meninggal di antara kamu…). Lebih baik kita memperjuangkan para tokoh wanita lainnya, tingkat nasional maupun lokal, menjadi pahlawan nasional atau gelar lainnya. Hal itu penting sebagai sumber inspirasi bagi generasi kemudian.

Ketika penulis menyusun buku “Perang Banjar Barito 1859-1906”, ditemui sejumlah pejuang wanita. Selain Ratu Zalekha juga ada nama Cakrawati, Khadijah, Aisyah, Kamilah, Bulan, Galuh Sarinah, Angkawaya, Aji Siti, Wulan Jihad, Nyai Amban, Nyai Ambun, Marta Lahew, Illem dan Masidah. Mereka ada yang tewas dalam peperangan, tertangkap, dibuang, diasingkan dan sebagainya. Belakangan di masa Revolusi (1945-1949) juga ada Aluh Idut yang dipenjarakan di Kandangan dan Banjarmasin, disiksa setengah mati oleh tentara NICA-Belanda. Dr KH Idham Chalid, pernah satu penjara dan menyaksikan Aluh Idut disetrum. Idham ingin menggantikannya karena tak tega melihat wanita ini disiksa, tetapi tentara NICA tak peduli. Pejuang pria maupun wanita yang tertangkap sama-sama mengalami risiko tinggi, disiksa bahkan dibunuh tanpa ampun. Kalsel juga punya tokoh wanita Gusti Norsehan Djohansjah, Asmah Sjahroni dan sebagainya. Banyak wanita daerah kita yang berjuang gigih di masanya. Kita yakin para pejuang wanita di atas masih asing bagi masyarakat dan alangkah baiknya nama-nama mereka diangkat ke permukaan.

Iklan
Iklan