Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Idham Chalid Ulama Politisi Banjar di Kancah Nasional”
Di dunia ini ada beberapa negara agama, seperti Arab Saudi, Pakistan, Iran, juga Malaysia dan Brunei Darussalam, karena Islam ditetapkan sebagai agama resmi dan hukum-hukumnya dijadikan sebagai hukum positif. Untuk agama Kristen diwakili Vatikan, Yahudi oleh Israel, Budha oleh Thailand dan Myanmar, dll. Selebihnya ada yang mengklaim sebagai negara sekuler, komunis dsb.
Dulu di era Orde Baru, para petinggi negara sering berpidato, Indonesia bukan negara agama tetapi bukan pula negara sekuler. KH Hasyim Muzadi alm atau tokoh lainnya sambil guyon mengatakan, Indonesia adalah negara bukan-bukan.
Jika mencermati, Indonesia sebenarnya lebih sebagai negara religius, bukan negara agama. Namun hal ini kadang agak sulit dipahami. Di negara kita hal-hal yang berkaitan dengan negara dan agama kadang bercampur baur. Status dan relasi agama dengan negara seolah tidak begitu jelas, sehingga orang cenderung memahami menurut persepsi dan kepentingannya masing-masing.
Ada yang memahami agama identik dengan negara dan ada pula yang memisahkan keduanya, sehingga seolah kita negara sekuler. Penafsiran menurut persepsi dan kepentingan subjektif dapat memacu tabrakan ideologis antara para pihak yang berbeda.
Lintasan Sejarah
Menjelang bangsa merdeka masalah ini sebenarnya sudah dibicarakan. Ketua Umum PB-NU (2020-2021) Prof Dr KH Said Aqiel Siradj MA ketika berceramah di Banjarmasin (2015) mengatakan, ulama NU di bawah pimpinan KH Hasyim Asyari melalui Kongres NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936 sudah menggagas bentuk negara yang didirikan. Bentuk negara dimaksud bukan Darul Islam (Negara Islam) melainkan Darus-Salam (Negara yang Damai), dengan mengakomodasi semua suku bangsa, agama dan adat istiadat yang hidup dalam NKRI.
Saat itu sudah disadari pentingnya mengkombinasikan antara Islam dengan nasionalisme, sebab hal ini sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang pluralistik. Dengan Islam, nasionalisme akan berbobot dan berkualitas, karena titik tekannya iman dan takwa serta akhlak mulia dalam berbangsa dan bernegara. Dengan nasionalisme, Islam lebih menjamin persatuan dan kesatuan.
Tanpa nasionalisme umat Islam mudah mengalami perpecahan, seperti terjadi di beberapa negara di Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan, yang meski umat Islamnya 100% atau 90% lebih, tetapi gampang terjadi konflik dan perang saudara, disebabkan tidak adanya nasionalisme, semangat cinta tanah air dan mudah diadudomba pihak asing.
Dalam kunjungannya ke Amuntai Kalsel 27 Januari 1953, Bung Karno juga memetakan posisi agama dengan negara. Menurut sejarawan Banjar, Anggraini Antemas, jelang berpidato di Amuntai Bung Karno disambut spanduk rakyat berisi pertanyaan: “Minta Penjelasan: Negara Nasional atau Negara Islam?”. Bung Karno yang berpaham nasionalis merespon pertanyaan tersebut dengan menekankan, ia menolak Negara Islam dan lebih menginginkan Negara Nasional yang meliputi seluruh Indonesia. “Jika kita mendirikan negara berdasar Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri, ujar Bung Karno.” Saat itu sedang digerakkan politik nasional merebut Irian Barat (kini Papua) yang tak kunjung diserahkan Belanda sesuai diktum Konferensi Meja Bundar, 1949. Negara Islam menurut Soekarno bisa membuat Irian Barat tak mau jadi bagian NKRI.
Pidato Bung Karno di Amuntai memang memantik reaksi. Masyumi Kalsel di Banjarmasin menyatakan pidato itu berat sebelah. Isi pidato yang diberitakan Kantor Berita Antara ke seluruh Tanah Air dan Internasional, juga menyulut reaksi dari Jawa Barat, Sulawesi, Aceh dll. Di Jakarta, massa Masyumi berdemonstrasi di Lapangan Banteng. Sikap yang sama diambil NU dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Ketua HMI menyurati Soekarno minta penjelasan.
Aceh yang mulai bergolak menyusul dicabutnya status Provinsi Aceh 23 Januari 1951 oleh Pemerintah Pusat, kemudian dilebur ke Provinsi Sumatera Utara, bertambah gelisah dengan pidato Bung Karno di Amuntai tsb. Padahal Juli 1948 Bung Karno sempat bersumpah di hadapan Tengku Daud Beureueh (Pemimpin Aceh masa itu): “Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam.”
Meskipun demikian, bentuk Negara Nasional yang diinginkan Bung Karno bukan menolak Islam. Bung Karno membela diri dan meluruskan pernyataannya. Ketika berceramah di Universitas Indonesia Salemba, Bung Karno antara lain mengatakan: “Sesaat pun tak ada terkandung maksud saya untuk melarang kaum muslim mempropagandakan cita-cita Islam”. Bung Karno mempersilakan umat Islam memperjuangkan cita-citanya secara konstitusional melalui lembaga-lembaga resmi (DPR) atau partai-partai politik yang ada.
Pendirian ini dipertegas lagi ketika Bung Karno yang didukung ABRI, dalam merespon Badan Konstituante hasil pemilu 1955 yang gagal menyepakati dasar negara, memilih kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kepada para ulama di antaranya KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Idham Chalid, Bung Karno yang diwakili Abdul Haris Nasution menegaskan bahwa Dasar Negara Pancasila yang dikembalikan dalam dekrit tersebut tetap “dijiwai” Piagam Jakarta, dan hal ini tertulis secara eksplisit dalam naskah Dekrit Presiden. Di dalam buku “DR KH Idham Chalid Ulama Politisi Banjar di Kancah Nasional”, penulis melampirkan naskah dekrit tersebut.
Dijiwai Agama
Kuatnya jiwa agama merasuki kehidupan masyarakat kita, dan ini sudah berlangsung ratusan tahun, juga diakui ahli hukum Belanda LwC Van den Berg. Melalui teori Receptio in Complexu, ia menyatakan bahwa umat Islam Indonesia sebelum era kolonialisme (l596-l945) benar-benar telah menerima dan menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. Hukum Islam itu mengejawantah dalam berbagai peraturan hukum dan adat istiadat.
Karena negara kita dijiwai nilai-nilai agama, maka ajaran agama tidak bisa dipisahkan dari sistem pengelolaan negara dan kehidupan masyarakat umumnya. Masyarakat Islam silakan memilih pemimpinnya, baik di legislatif maupun eksekutif berdasarkan pertimbangan agama, karena hal itu sah, demokratis dan konstitusional. Sila-sila dalam Pancasila dan butir-butirnya juga sejalan dengan ajaran agama.
Lembaga legislatif juga sah membuat peraturan perundang-undangan yang senafas dengan ajaran agama, karena dari situ dapat diciptakan negeri yang agamais atau religius. Produk fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik di pusat maupun daerah juga dapat diperkuat dan ditingkatkan statusnya menjadi Undang-undang, peraturan daerah dan sejenisnya, sehingga menjadi hukum positif yang mengikat. Pada gilirannya diharapkan kehidupan masyarakat lebih damai dan religius, tidak bebas-lepas dan terpisah dari tuntunan agama. Inilah yang membedakan negara agamais (religious country) dengan negara agama (religion state).
Kalau negara agama (religion state) seperti Arab Saudi dan Pakistan, juga Iran yang bermazhab Syiah, hukum agama termasuk pidana, langsung diambil dari Alquran dan Hadis, tanpa perlu dirumuskan melalui UU dan sejenisnya. Misalnya pembunuh sengaja langsung dihukum bunuh ketika vonisnya berkekuatan hukum tetap. Sementara Indonesia sebagai negara religius, sebagian aturan hukum Islam belum otomatis berlaku di ranah publik disertai sanksi, kecuali jika sudah diundangkan, dan agar masuk ke publik harus lebih dahulu diperjuangkan secara konstitusional melalui program legislasi nasional (prolegnas) di DPR-RI atau prolegda di DPRD provinsi dan kabupaten kota. Meskipun demikian hukum itu sudah berlaku di ranah pribadi dan keluarga, misalnya berpuasa wajib dilaksanakan, meskipun negara tidak menghukum orang yang tidak berpuasa. Berzina wajib ditinggalkan, meskipun negara tidak menghukum pelakunya, demikian seterusnya.
Siapa pun yang menjadi pemimpin publik hendaklah memerhatikan nilai-nilai agama yang tumbuh di masyarakat secara proporsional. Hal itu pada hakikatnya bukan semata untuk kepentingan agama dan masyarakat yang dipimpin, tetapi juga untuk penguatan kekuasaan pemerintahan itu sendiri. Pemimpin yang mengabaikan religiusitas masyarakat, sengaja atau tidak, pasti akan menuai protes, bahkan tak mustahil akan digoyang. Imam al-Ghazali mengatakan, agama dengan dukungan penguasa akan kuat, dan penguasa yang didukung agama akan eksis dan lestari. Wallahu A’lam.