Oleh : Nor Aniyah, S.Pd
Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi
Menteri Agama Republik Indonesia, mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antarumat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025. Ia juga mengingatkan, menjaga toleransi adalah bagian penting dari identitas bangsa Indonesia. Ia mengajak masyarakat untuk memanfaatkan momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) sebagai waktu untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan (jawapos.com).
Toleransi, kata ini sering disampaikan khususnya kepada umat Islam. Apalagi menjelang perayaan Nataru (Natal dan Tahun Baru). Seolah bagaimana sikap umat Islam terhadap perayaan Nataru menjadi tolak ukur seberapa jauh umat Islam bersikap toleran. Misalnya, umat Islam yang berpartisipasi dalam perayaan akan disebut sebagai umat Islam yang toleran, cinta damai dan sejenisnya. Sebaliknya, jika ada umat Islam yang tidak menghadiri atau tidak mengucapkan selamat Natal dengan mudah umat Islam yang mengambil sikap demikian langsung dicap intoleran.
Padahal praktik toleransi dalam arti ikut berpartisipasi serta mengamalkan ajaran agama lain, sejatinya sikap tersebut bertentangan dengan akidah dan ajaran Islam. Praktik toleransi seperti itu ditolak dengan tegas oleh Rasulullah SAW. Dalilnya ketika Rasulullah masih di Makkah ada beberapa tokoh kafir Quraisy menemui beliau. Mereka adalah Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, Aswad bin Al-Muthalib, dan Umayah bin Khalaf. Mereka menawarkan toleransi.
“Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus amalkan.”
Tawaran toleransi ini ditolak tegas oleh Allah dan Rasul-Nya melalui turunnya surah Al-Kafirun sebagimana yang dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, Al-Jami Li Ahkam Al-Quran. Namun, seruan toleransi yang bertentangan dengan ajaran Islam justru kembali berulang. Hal ini terjadi karena tidak ada penjagaan dari negara atas aqidah umat.
Negara sekuler tidak menjadikan apa yang sudah Rasulullah contohkan sebagai sumber aturan. Negara sekuler Kapitalisme mengusung ide-ide Barat. Asas ide-ide Barat sarat dengan prinsip kebebasan tanpa diikatkan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Padahal, prinsip demikian bertentangan dengan aqidah umat Islam. Alhasil, masyarakat terutama umat Islam tidak bisa memahami syariat toleransi dengan benar.
Atas nama HAM sebagai pijakan ditambah masifnya kampanye moderasi beragama membuat umat makin jauh dari pemahaman toleransi yang lurus. Negara sekuler Kapitalisme tidak menjaga aqidah umat Islam. Karena itu umat Islam membutuhkan adanya reminder sebab kecenderungan masyarakat makin longgar. Umat Islam jangan sampai terkecoh dengan ide-ide Barat yang memang sengaja diharuskan kepada umat Islam. Termasuk pada momen Nataru setiap akhir tahun.
Adapun terkait larangan tasyabbuh dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah SAW bersabda, “Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Umat Islam perlu waspada dan menjaga diri agar tetap dalam ketaatan pada Allah SWT. Islam memiliki defenisi yang jelas soal toleransi dan konsep yang jelas dalam interaksi dengan agama lain. Praktik toleransi yang diajarkan Rasulullah ialah umat Islam membiarkan umat non-Muslim melakukan peribadatannya tanpa perlu ikut berpartisipasi sebagimana dalam Qur’an Surah Al-Kafirun.
Toleransi dengan orang non-Muslim tidak boleh mengurangi keyakinan Islam sebagai satu-satunya agama yang benar (yang lain salah). Dan satu-satunya jalan keselamatan di akhirat (yang lain tidak) sebagaimana dalam Qur’an Surah Ali Imran ayat 19. Toleransi dilakukan dengan tidak memaksa non-Muslim untuk meyakini Islam berdasarkan Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 256.
Mereka cukup didakwahi atau cukup diajak masuk Islam. Jika menolak mereka dibiarkan memeluk agama yang mereka yakini. Toleransi tidak boleh mengurangi keyakinan bahwa penerapan syariat Islam secara kaffah akan memberikan rahmat bagi seluruh umat manusia (Muslim dan non-Muslim) berdasarkan Qur’an Surah Al-Anbiya’ ayat 107.
Meski demikian, Islam membolehkan umat Islam bermuamalah dengan non-Muslim seperti jual-beli, sewa-menyewa, ajar-mengajar dalam sains dan teknologi, dan lain-lain. Islam pun memerintahkan agar umat Islam berbuat baik dan berperilaku adil terhadap non-Muslim. Berdasarkan Qur’an Surah Al-Mumtahanah ayat 08. Inilah toleransi syar’i yang diajarkan Rasulullah. Toleransi seperti ini akan menjaga kemurnian aqidah umat dari ide-ide Barat, seperti pluralisme, moderasi beragama, dan sejenisnya.
Selain itu, praktik toleransi syar’i akan menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat. Namun, perlu dipahami toleransi syar’i bukan sekadar amalan individu dan masyarakat. Tapi, amalan yang harus dilakukan oleh negara. Dan negara yang bisa melakukannya hanyalah negara yang menerapkan Islam secara kaffah, yakni Khilafah. Hal itu dibuktikan selama 1300 tahun lamanya kerukunan umat antar agama saling terjaga tanpa menciderai akidah umat Islam.
Islam memiliki konsep yang jelas dalam interaksi dengan agama lain. Prinsip toleransi dalam Islam telah menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat ketika Islam diterapkan secara kaffah. Islam menjadikan para pemimpin dan pejabat negara memberikan nasihat takwa agar umat tetap terikat dengan aturan Islam khususnya dalam moment krusial yang berpotensi membahayakan akidah umat.
Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. al-Baqarah [2]: 208).
Beda dengan dulu saat kaum Muslim masih punya institusi negara. Negara pun menyiapkan Departemen Penerangan memberikan penerangan/penjelasan bagaimana tuntunan Islam dalam menyikapi hari besar agama lain. Dalam sistem Islam, negara juga memiliki Qadhi Hisbah yang akan menjelaskan di tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya interaksi umat Islam dengan agama lain.