Pengelolaan sampah era itu merupakan upaya tindak lanjut dari dibentuknya Dinas Kebersihan dan tujuannya, meminimalisir efek kesehatan terhadap lingkungan kota dari bahaya sampah
BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Sejarah mencatat peran Dinas Kebersihan era Kolonial Belanda di Kota Banjarmasin Sangat ketat mengatur tata kelola sampah yang merupakan bagian dari upaya menjaga kebersihan kota, meski dulu belum begitu mengenal sampah plastik.
Pemerintahan era itu membuat aturan yang ketat dan mengikat masyarakat agar tidak boleh membakar sampah sembarangan, karena alasan abu dan bekas bakaran yang dapat mengotori lingkungan sekitar.
Hal tersebut diungkapkan oleh, Sejarawan sekaligus Akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Mansyur, S.Pd M.Hum saat ditemui awak media ini di ruang kerjanya pada Rabu 5/2/2024.
Ia menyampaikan, bahwa aturan itu ditegakkan oleh Reinigingsdienst atau yang saat ini disebut dengan Dinas Kebersihan, menurutnya, Reinigingsdienst ini sendiri bentukan dari Gemeente (dewan kota) Banjarmasin sekira tahun 1919.
“Bicara kebersihan kota, dinamika status Kota Banjarmasin di masa Hindia Belanda, muncul aturan pencanangan peraturan sampah. Aturan ini sebagai sebuah kebijakan yang mengatur persampahan,” beber Mansyur.
Ia melanjutkan, Pengelolaan sampah era itu merupakan upaya tindak lanjut dari dibentuknya Dinas Kebersihan. Tujuannya, meminimalisir efek kesehatan terhadap lingkungan kota dari bahaya sampah yang mengancam warga kota Banjarmasin.
“Pengelolaan sampah efektif menjadi keharusan untuk menciptakan lingkungan kota bersih dan layak ditinggali,” ungkapnya.
“Pada awal terbentuknya Reinigingsdienst di Banjarmasin, warga kota diwajibkan membakar sampah rumah tangga sendiri. Tempatnya yakni dalam sebuah tong besi yang sudah disediakan sendiri oleh Reinigingsdienst. Ternyata upaya ini kurang efektif. Sampah tidak dapat dibersihkan sempurna,” sambung Mansyur.
Berangkat dari hal itu, Reinigingsdienst kemudian membuat kebijakan baru yakni mengambil alih pembersihan sampah-sampah tersebut. Caranya, dengan mengangkut secara langsung menggunakan gerobak sampah yang langsung ditarik binatang ternak.
“Penanganan sampah seperti ini mirip dengan yang diberlakukan di Gemeente Surabaya. Gemeente Surabaya lebih dahulu terbentuk dibanding Gemeente Banjarmasin tahun 1919,” urai Mansyur.
“Setidaknya inilah yang dituliskan di dalam sumber kolonial bertajuk Eerste Kwarteeuw Sedert hare Instelling 1906-1931. Diterbitkan di Soerabaia oleh N.V. Boekhandel en Drukkerij H. van Ingen tahun 1933,” Mansyur menambahkan.
Kemudian, Ia pun menceritakan, Gemeente Raad Banjarmasin saat itu diketuai P.J.F.D. Van De Riveira (Asisten Residen Afdeeling Banjarmasin), dengan anggota Pangeran Ali, Amir Hasan Bondan, B.J.F.E. Broers, A.H. Dewald, H.M.G. Dikshoorn, Mr. L.C.A. Van Eldick Theime, Hairul Ali, H.H. Gozen, Lie Yauw Pek, Mohammad Lelang, J. Stofkoper, Tjie San Tjong, J.C. Vergouwen, dan Sekretaris: G. Vogel. Tahun 1937, otonomi kota Banjarmasin ditingkatkan dengan status Stads Gemeente Banjarmasin karena Banjarmasin sebagai ibukota Gouvernement (Pemerintahan) Borneo. (Sfr/K-3)