oleh: Norhidayani
Pemerhati Pendidikan
“Bak Bunuh Diri Apabila Memaksakan Diri jadi Mitra Program MBG” menjadi salah satu headline yang lagi disorot. Pasalnya UMKM yang digadang-gadang menjadi tulang punggung program MBG justru mendapati kesulitan untuk menjadi mitra MBG.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Industri UMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorini, saat melihat persyaratan yang harus dipenuhi oleh UMKM, khususnya pengusaha mikro untuk bisa menjadi mitra Makan Bergizi Gratis (MBG) sangatlah berat. Syaratnya yakni persyaratan dapur khusus, yang tidak cukup menggunakan sertifikasi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), tapi juga harus memiliki dapur seluas 20 x 20 meter persegi, ongkos produksi yang mencapai Rp30-Rp75 juta sehari, dan skema pembayaran ongkos produksi yang bisa lebih dari satu.
Pelaku usaha harus menanggung biaya awal produksi. Sedangkan pemerintah belum secara pasti mengungkapkan kapan jadwal pembayarannya, apakah akan dibayar mingguan, satu bulanan atau tiga bulanan. Itu hanya ongkos produksi, belum lagi dengan biaya pengadaan dapur dan semua alat masaknya, ompreng makan, dua mobil pendistribusian makanan, dan lainnya.
Hermawati masih mempertanyakan apakah pemerintah memiliki anggaran yang cukup untuk membayar pembiayaan yang besar itu kepada semua mitra MBG, jangan sampai mitra yang sudah mengeluarkan uang sedemikian besar justru sulit untuk menerima uang gantinya dari pemerintah. Hal itulah yang juga dipertimbangkan oleh pengusaha mikro untuk bergabung dalam program ini. (inilah.com 30/01/25)
Sebelumnya Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengusulkan agar UMKM yang menjadimitra MBG dapat memperoleh pembiayaan dari bank hingga Rp500 juta. Maman mengatakan pendanaan tersebut berasal dari bank yang bekerjasama dengan pemerintah dengan syarat mengantongi surat penunjukan dari Badan Gizi Nasional.
Tetapi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebagai salah satu yang di anggap pemerintah bisa ikut berkontribusi dalam suksesnya program MBG pun masih meminta kejelasan. Pasalnya, para pelaku usaha tahu betul, dalam berbagai proyek yang melibatkan APBN, birokrasi kerap jadi penghambat yang berujung pada keterlambatan pembayaran para mitra usaha. Apindo tidak ingin terjebak dalam skema berisiko tinggi tanpa kejelasan eksekusi tersebut. (Tempo.com 03/02/25).
MBG Proyek Tambal Sulam
Seja kawal APBN 2025 dinilai menanggung beban berat yang besar untuk Program MBG. Dimana Alokasi anggaran yang awalnya Rp71 triliun direncanakan akan bertambah sebesar Rp100 triliun. Sedangkan untuk pengeluaran APBN, yakni utang jatuh tempo dan bunganya pada 2025 jumlahnya juga besar mencapai Rp1.353,2 triliun, sementara penerimaan negara hanya mengandalkan dari pajak saja yang jumlahnya dinilai meleset dari target yang ditetapkan.
Kondisi ini menjadikan pemerintah melakukan pemangkasan anggaran termasuk anggaran untuk program makan bergizi gratis yang turun dari Rp15 ribu menjadi Rp10 ribu per porsi. Selain itu, muncul gagasan seperti menjadikan serangga, termasuk ulat dan belalang, bisa menjadi salah satu protein yang layak dikonsumsi dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG), mau melibatkan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) dalam pendanaannya. Serta upaya melibatkan UMKM dalam menyukseskan program MBG namun dengan persyaratan dan pembiayaan yang ditanggung sendiri oleh UMKM. Semua ini menambah polemik di tengah masyarakat.
Menyikapi keberlangsungan MBG berikut seluruh polemiknya, kita harus sadar bahwa program tersebut sudah cacat sejak lahir. Kita juga layak mengkritisi bahwa program tersebut tidak ubahnya sekadar menggugurkan “kewajiban” karena sudah kadung menjadi janji kampanye menjelang pilpres. Sayang, realisasi janji kampanye tersebut justru menegaskan bahwa pemerintah tidak becus mengurus rakyat, saking sudah terlalu lama penguasa “berlepastangan” dari urusan rakyat secara riil.
Sedangkan persoalan makanan untuk rakyat adalah kebijakan strategis yang pasti membutuhkan dana besar sekaligus kesiapan strukturaldari para pejabat terkait. Namun, penguasa tampak begitu gagap saat pelaksanaan di lapangan. Kebijakan MBG juga terlihat populis karena sering kali menyebutnya sebagai kepentingan rakyat, tetapi sejatinya mengandung kepentingan ekonomi bagi sekelompok orang saja.
Seharusnya MBG sebagai salah satu program pemerintah dalam mengatur urusan rakyat sudah merancang dengan matang program ini sebelum menetapkannya, termasuk memikirkan dari mana didapatkan anggarannya. Keberadaan anggaran negara yang dianggap tidak mencukupi untuk mendanai program ini tidak bisa menjadi alasan negara melakukan pemanfaatan harta seperti zakat yang sudah ada ketentuan syariahnya tentang siapa saja penerimanya yakni hanya delapan ashnaf. Negara tidak boleh serta merta mengalihkannya ke pihak lain.
Adapun tentang UMKM, jika negara ingin menggandeng masyarakat dalam hal mengerjakan suatu program pengurusan terhadap rakyat, maka bisa dengan mekanisme pengupahan (Aqad Ijarah). Bukan dengan mekanisme permodalan di bank yang merupakan pinjaman atauh utang UMKM ke bank. Sedangkan pembayaran dari pemerintah atas kerja keras mereka dalam program ini belum jelas kapan akan dibayar. Hal ini terbukti dari adanya sejumlah petugas dapur MBG yang mengundurkan diri karena beban kerja yang berat namun tidak jelas berapa upah yang didapat.
Program MBG ini tidak ubahnya upaya tambal sulam kapitalisme dalam menyelesaikan problem generasi, khususnya problem kecukupan gizi. Tidak dimungkiri, kemiskinan merupakan sumber masalah malnutrisi pada generasi. Hal ini sangat berdampak pada kualitas dan intelektualitas mereka. Kemiskinan erat kaitannya dengan sejumlah masalah seperti tingka tpengangguran, akses lapangan kerja, tingkat pendidikan yang rendah, pendapatan yang tidak merata hingga masalah kesehatan pada masyarakat miskin.
Tinjauan Syariat
Dalam Islam, pembiayaan program-program negara telah diatur sehingga tidak akan menyentuh dana yang sudah ada ketentuan penerimanya seperti zakat. Semua pos pendapatan dan pengeluaran negara harus berdasarkan sumber hukum syariat Islam yang empat, yakni Al Qur’an, Sunah, ijmak sahabat, dan kias syar’i. Pembiayaan untuk pengaturan urusan rakyat (termasuk pembiayaan makan bergizi bagi anak-anak sekolah) masuk ke dalam salah satu pos pengeluaran baitul mal.
Adapun untuk pemasukan, negara (Khilafah) mendapatkannya setidaknya dari 12 jenis pos pendapatan, yakni dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus), pungutan dari tanah yang berstatus kharaj, jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di Negara Islam), harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur, harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak, khumus barang temuan dan barang tambang, harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris, harta orang-orang murtad, dharibah (harta yang diambil dari kaum kaya saat kas negara kosong), dan harta zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).
Syariat Islam mengatur sumber-sumber utama penerimaan negara untuk kas baitul mal. Misalnya, untuk sektor kepemilikan individu, seperti zakat, sedekah, dan hibah, adalah tiga sumber utama. Untuk zakat, tidak boleh dicampur dengan harta lain. Dalam menyusun anggaran untuk pos-posnya, khalifah harus mengikuti prinsip-prinsip tertentu.
Adapun pos wajib yang bersifat tetap untuk membangun sarana kemaslahatan rakyat yang wajib yang jika tidak ada, rakyat akan menderita. Ini termasuk seluruh fasilitas pendidikan, seperti sekolah, perpustakaan, asrama. Pemberian makanan bergizi bagi siswa/pelajar bisamasuk di pos pengeluaran ini.
Untuk pos pengeluaran zakat, negara (khalifah) hanya boleh membelanjakan sesuai jumlah harta zakat yang masuk ke kas baitul mal. Sedangkan pos pengeluaran untuk kemaslahatan rakyat yang wajib disediakan oleh negara, khalifah harus mengeluarkan uang dari baitul mal sebagai kewajiban negara, tanpa boleh mengutak-atik pos zakat sedikit pun.
Mungkinkah Sistem Kapitalisme?
Sesungguhnya masalah pemenuhan gizi generasi dalam program MBG ini harus dikembalikan pada akar dari munculnya masalah tersebut yang tak lain adalah tidak terpenuhinya semua kebutuhan mendasar pada masyarakat. Baik kuantitas maupunkualitas.
Keberlangsungan sistem sekuler kapitalisme jelas berbeda 180 derajat dengan sistem Islam dalam mengelola urusan rakyat. Dalam merealisasikan program serupa MBG maupun paying besar pencegahan stunting, negara Islam (Khilafah) tidak akan sibuk hanya pada aspek teknis sebagaimana pembagian dan penyaluran produk MBG keseluruh pelosok negeri.
Negara akan mengemban ideologi Islam dan akan fokus pada aspek sistem Islam untuk menyelesaikan beragam urusan umat. Negara wajib untuk menjamin pemenuhan kebutuhan asasi (primer) rakyat yang berupa sandang, pangan, dan papan. Khilafah akan menempuh berbagai mekanisme agar distribusi harta kepada rakyat bisa terealisasi secara merata individu per individu.
Mengenai siapa yang bertanggung jawab tentang pemenuhan gizi generasi, Islam telah menetapkan bahwa negara memiliki peran strategis memastikan semua pihak (orang tua, kerabat, masyarakat, dll.) menjalankan tanggungjawabnya masing-masing sebagaimana telah ditetapkan syariat Islam bagi mereka. Negara harus memosisikan diri sebagai pengurus seluruh kemaslahatan rakyat sehingga kualitas gizi generasi menjadi tanggung jawab negara, berapa pun besarnya anggaran yang dibutuhkan.
Dengan penerapan sistem ekonomi Islam akan membuat negara menjadi kaya raya dan warga negaranya sejahtera. Bahkan, tidak hanya makan siang gratis, biaya pendidikan pun gratis, para pelajarnya akan diberikan asrama gratis, dicukupi seluruh kebutuhan makan dan minumnya, bahkan juga diberikan jaminan kesehatan.
Mungkinkah hal itu terwujud di negara yang menerapkan sistem kapitalisme hari ini? Sungguh, terealisasinya jaminan pemenuhan gizi bagi seluruhwarga negara membutuhkan peran penguasa sebagai raa’inwaljunnah (pengurus sekaligus pelindung). Dua peran yang menyatu dalam satu kepemimpinan ini hanya akan terwujud ketika ada negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah. Wallahualam.