Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

POSISI AGAMA

×

POSISI AGAMA

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : AHMAD BARJIE B

Islam itu bukan sekadar ilmu dan teori moral, melainkan sebagai way of life, pedoman hidup yang dapat membawa kepada keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Menurut HAR Gibb, Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization, (Islam lebih dari sekadar sebuah sistem keyakinan, ia sebuah peradaban yang lengkap). Lihat O. Hashem, Kekaguman Dunia Terhadap Islam, (1984: 1). Selain pendapat HAR Gibb, masih banyak orientalis lainnya yang menyatakan kekagumannya terhadap Islam, sehingga kemudian memilih Islam. Di antaranya Lord Headley (Inggris), Alexander Russel Webb (AS), Selman Bemois (Perancis), Leopold Weis dan Baron Ehrenfels (Austria) dan masih banyak lagi. Lihat Limaza Aslamna, (1995: 5).

Baca Koran

Tidak diragukan lagi Islam yang berumber dari Al Quran dan hadits merupakan agama yang diridhai dan paling sempurna dibanding agama-agama Samawi lainnya (QS al-Maidah ayat 2). Maurice Bucaille yang pernah menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Perancis menyatakan, the Alquran al-Karim is the most beautiful of the religious books bestowed upon mankind. Artinya, Alquran al-Karim adalah kitab suci agama paling indah yang pernah diturunkan terhadap kemanusiaan. Lihat Waqf Ikhlas Publications No. 12, Islam and Christianity, (1989: 28). Pujian senada terhadap Al Quran dan Islam juga disampaikan Goethe dan Eduard Monte.

Di dalam negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila, perwujudan nilai-nilai ajaran Islam secara formal dalam mengatur dan mengelola Negara dan daerah, untuk saat ini sepertinya belum memungkinkan. Sebab aturan dimaksud sudah digariskan dalam Pancasila, UUD 1945, Undang-Undang dan berbagai peraturan turunannya, baik di pusat maupun daerah berupa Peraturan Daerah (Perda).

Meskipun demikian, dalam era otonomi daerah, Negara masih memberi tempat bagi pengelolaan pemerintahan suatu daerah dengan nuansa keagamaan, sesuai dengan ciri khas dan religiusitas daerah dan masyarakat yang berdomisili di daerah tersebut. Hal ini tampak dari otonomi khusus yang diberikan kepada Nanggroe Aceh Darussalam untuk mengelola pemerintahan dan kehidupan masyarakatnya berdasarkan syariat Islam. Di samping itu pada banyak daerah juga bermunculan Perda-Perda bernuansa syariat, yang kadang-kadang disebut Perda Ketertiban Sosial, Perda Antimaksiat, Perda Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dll. Beberapa daerah di Indonesia seperti Kabupaten Solok Sumatra Barat, Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Banten, Kotamadya Tangerang, Kabupaten Bulukumba dan Bau-bau Sulawesi Selatan dan sebagainya banyak mengeluarkan Perda Bernuansa Syariat tersebut.

Baca Juga :  Memperbaiki Konektivitas Jalan Guna Tumbuhnya Ekonomi

Di Kalimantan Selatan juga terdapat Perda Ramadhan dan Perda Miras (Kota Banjarmasin), Perda Ramadhan, Perda Jumat Khusyu’ dan Perda Khatam Alquran (Kabupaten Banjar). Selain itu juga ada anjuran berpakaian busana muslimah bagi PNS wanita yang bekerja di instansi-instansi pemerintah, dan ada jeda kerja bagi PNS untuk melaksanakan shalat ketika azan dikumandangkan.

Kemunculan Perda-Perda bernuansya syariah ini sempat menimbulkan polemik, bahkan ada sebagian kecil anggota DPR-RI yang mencurigainya sebagai upaya yang mengarah kepada formalisasi syariat Islam. Ada kalangan yang melakukan judicial review (JR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak Perda Antimaksiat di Tangerang. Ternyata upaya JR ini ditolak oleh MK, dengan alasan kemunculan Perda tersebut sudah sesuai dengan prosedur dan mekanisme demokrasi dan sesuai pula dengan aspirasi masyarakat setempat. (Metro TV, 15 April 2007). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara di suatu daerah yang mengandung nilai-nilai keislaman, dapat terus dilakukan karena dijamin oleh Negara. Ini sejalan pula dengan ketentuan pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945, bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Dalam beberapa kali Sidang Umum MPR era reformasi, sejumlah pasal dalam UUD 1945 telah mengalami amandemen, dari amandemen I hingga IV. Ternyata pasal 29 tidak mengalami amandemen, hal ini kemungkinan pasal ini tergolong sensitif dan sangat debatable. Tetapi hal ini tentu tidak perlu menjadi halangan bagi suatu daerah untuk berkreasi dalam memanifestasikan ajaran agamanya. Lihat UUD 1945 Amandemen I, II, III dan IV.

Iklan
Iklan