Oleh : AHMAD BARJIE B
Sebagaimana diketahui. Hadiah Nobel dikaitkan dengan nama Afred Bernhard Nobel, seorang insinyur, ahli kimia, dan pengusaha asal Swedia, yang lahir 21 Oktober 1833 dan meninggal 10 Desember 1996 dalam usia 66 tahun. Ia dan ayahnya Immanuel Nobel bergiat di berbagai bidang penelitian. Salah satunya, mereka menghasilkan dinamit, bahan peledak, yang di masa mereka hidup, bahkan sampai sekarang sangat berguna, diantaranya dalam usaha pertambangan, membuat bahan peledak pembangunan dan untuk persenjataan dan sebagainya. Hasil temuannya itu kemudian haknya dipatenkan, sehingga ia beroleh kekayaan yang luar biasa.
Selanjutnya, sebelum meninggal ia berwasiat agar harta kekayaanya disumbangkan untuk dan sebagai Hadiah Nobel, untuk orang-orang yang berjasa di dunia, dalam enam bidang temuan, karya atau usaha, yaitu fisika, kimia, ekonomi, fisiologi/kedokteran, sastra dan perdamaian. Sejak 1903 sampai 2024, telah diberikan Hadiah Nobel sebanyak 627 kali kepada 1.012 orang dan organisasi, dengan perincian 976 orang individu dan 28 organisasi.
Kebanyakan penerima Hadiah Nobel di bidang ilmu pengetahuan umumnya berasal dari Barat, dalam hal ini Eropa, Rusia dan Amerika. Terkait dengan bidang ilmu pengetahuan ini, penerima Hadiah Nobel dari kalangan Dunia Islam masih sedikit sekali. Sejauh ini (2024) baru tercatat tiga orang, yaitu pertama, Muhammad Abdus Salam (kelahiran Pakistan, 1926) seorang penemu di bidang fisika. Kemudian Ahmad H Zewail (Mesir 1946-2016), seorang ahli teknik kimia dengan temuannya di bidang laser cepat. Yang ketiga, Abdul Aziz Sancor (Turki) 2015, yang melakukan studi mekanistik perbaikan DNA.
Seandainya Hadiah Nobel sudah ada di abad pertengahan atau sekitar tahun 800–1.500-an Masehi, besar kemungkinan penerima Hadiah Nobel akan didominasi oleh para ilmuwan muslim. Sebab sejarah mencatat di masa tersebut, sangat banyak ilmuwan muslim, ratusan orang, yang lahir dan menemukan berbagai hasil temuan yang fonemenal, yang menjadi modal awal bagi berkembangnya ilmu pengetahuan di masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini.
Pertanyaannya, mengapa di masa lalu banyak lahir ilmuwan muslim, dan di masa akhir-akhir ini agak kurang? Jawabannya, karena agama Islam yang sebenarnya tidak mengajarkan dikotomi dalam pendidikan. Artinya, ilmu pengetahuan agama, umum dan kejuruan sama pentingnya dalam kehidupan untuk kepentingan dunia dan akhirat. Ilmu-ilmu agama yang bersifat fardlu ain diwajibkan menuntutnya bagi setiap muslim, selebihnya ilmu-ilmu lain bersifat fardlu kifayah. Yang terjadi, ilmu yang sifatnya fardlu kifayah ini banyak sekali diabaikan, sehingga dunia Islam mengalami kemunduran sekian abad lamanya, bahkan cenderung masih didominasi oleh kekuatan asing nonmuslim.
Diharapkan ke depan, ilmuwan muslim bermunculan, dengan menggali informasi yang sudah diisyaratkan dalam Al Quran dan hadits, dengan menggairahkan menuntut ilmu dalam berbagai aspeknya. Peran ulama dan tokoh menyadarkan dan motivasi hal ini sangat penting. Kita yakin Islam akan unggul dan berjaya jika tidak ada lagi dikotomi dalam pendidikan.