BANJARMASIN Kalimantan Post.com – Kasus transaksi deposito, tak kunjung tuntas dan Penasihat Hukum Robert Hendra Sulu, SH, MH mMenduga ada intimidasi dan diskriminasi
Sudah sekian lama laporan disampaikan, namun proses hukum kasus transaksi deposito di Polres Kapuas, Polda Kalimantan Tengah (Kaltreng) belum menunjukan kejelasan.
“Ya sudah lama, ada apa ini. Hingga saat ini rasanya sudah hampir 8 bulan tersangkut di Polres Kapuas.
Bahkan kita sebelumnya ada pula oknum yang kita laporkan ke Polda Kalteng,” kata Penasihat Hukum Robert Hendra Sulu, SH, MH, Rabu (16/4/2025).
Laporannya ke Polda Kalteng dengan nomor 09/RH-RHS/IV/2025.
Ia menduga ada intimidasi dan diskriminasi, sehingga melaporkan oknum Polisi ke Propam Polda Kalteng.
Ia sebut, Laporan polisi nomor 03/RH-RHS/VIV2024 atas nama Siti Noer Ellyda, yang didampingi Robert Hendra Sulu.
“Belum ada perkembangan nyata penanganan kasus yang diduga melibatkan tindak pidana umum dan tindak pidana khusus di bidang perbankan,” tambahnya.
Robert Hendra Sulu, sevut kalau laporan yang diajukan sejak 30 Juli 2024.
Padahal kliennya telah memberikan keterangan dan bukti awal secara kooperatif.
Ada indikasi semua lantaran adanya oknum aparat tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2022, yang mengamanatkan tindakan profesional, proporsional, dan tidak diskriminatif.
Sisi lain dijelaskan, pada 24 Maret 2025, dilakukan mediasi dihadiri sejumlah pihak, antara lain oknum polisi BF, anggota Provos Polres Kapuas serta pihak terkait seperti Siti Noer Ellyda, Putriana Rezky AM, dan H. Syahransyah.
Dalam mediasi tersebut, terungkap bahwa terlapor menyerahkan tiga buku deposito dengan nilai total mencapai Rp 750 miliar serta bukti transfer sebesar Rp 250 miliar ke rekening Siti Noer Ellyda.
Identitas pada buku deposito mengalami pergantian nama, mulai dari H. Syahransyah, kemudian Aries Vina Nita hingga akhirnya Nurul Helmila, yang kemudian menimbulkan dugaan tindak pidana penggelapan.
“Dugaan pelanggaran tidak berhenti pada transaksi deposito semata.
Tercatat pada mediasi 24 Maret 2025, oknum polisi yang berperan sebagai mediator diduga tidak menyusun berita acara mediasi yang seharusnya menjadi dasar penyelesaian perkara.
Akibatnya, pada hari yang sama, pelapor dan kuasa hukumnya diminta untuk menandatangani surat pencabutan laporan,” jelas Robert.
Langkah tersebut segera mendapat perlawanan, terutama setelah pada 27 Maret 2025 muncul surat pencabutan surat kuasa yang menurut keterangan H. Syahransyah, tidak pernah disetujuinya.
“Kita nilai surat pencabutan tersebut cacat formil dan materiil sehingga dinyatakan batal demi hukum, dan surat kuasa 22 Januari 2025 masih tetap berlaku,” tutupnya. (KPO-2)