JAKARTA, Kalimantanpost.com – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menggelar diskusi dengan berbagai pihak untuk mengawal kasus kekerasan yang dialami seorang jurnalis perempuan berinisial YNQ di Nusa tenggara Barat.
Semua pihak mendesak agar kasus tersebut dapat diusut kembali dengan Undang-Undang Pers.
Ketua Umum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Khairiah Lubis menyampaikan, kegiatan diskusi itu digelar untuk memperjuangkan keadilan bagi korban dan mendorong kasus itu diusut kembali.
“Kita sebagai jurnalis tidak boleh membiarkan kekerasan terhadap jurnalis terjadi. Semoga keadilan untuk korban dapat ditegakkan,” kata Khairiah saat membuka acara diskusi secara daring, pada Rabu (16/4/2025).
Sesuai dengan Pasal 8 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, jurnalis sudah semestinya mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya.
Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pers juga disebutkan, Pers berhak mengakses, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada publik tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun.
Selain itu, Pasal 4 ayat (3) menyatakan, kebebasan pers harus dilindungi dari segala bentuk pembatasan yang dapat menghambat kinerjanya.
Dalam kasus tersebut, YNQ yang merupakan jurnalis Inside Lombok menjadi korban kekerasaan saat sedang meliput dan meminta konfirmasi terkait banjir yang terjadi di komplek perumahan milik PT MA di Kecamatan Labuapi, Lombok, pada 11 Februari 2025.
Saat itu, korban bersama sejumlah jurnalis lain datang untuk meminta konfirmasi pada pihak pengembang perumahan.
Namun, saat proses wawancara, pihak PT MA memprotes unggahan terkait banjir di akun media sosial Inside Lombok pada korban.
Korban lantas mendapat persekusi dan intimidasi dari pihak pengembang perumahan yang tidak bersedia dikonfirmasi dengan mempertanyakan kredibilitas pribadinya.
Saat itu, korban memutuskan keluar ruangan dan menangis karena tidak tahan diperlakukan seperti itu. Namun, oknum pihak pengembang perumahan inisial AG kemudian mengejar korban.
Saat itulah, pelaku diduga melakukan tindak kekerasan dengan menarik tangan dan meremas bagian wajah korban.
Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Polresta Mataram.
Namun, Polresta Mataram justru menghentikan penyelidikan kasus tersebut dengan alasan perbuatan terlapor belum memenuhi unsur pidana sesuai pasal yang disangkakan, yakni Pasal 335 KUHP terkait dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Yan Mangandar selaku kuasa hukum korban menyampaikan, saat melapor ke polisi, pihaknya hendak melaporkan kasus kekerasan itu mengggunakaan UU Pers.
Namun, penyidik justru mengarahkan agar pengusutan kasus tersebut diusut menggunakan Pasal 335 KUHP.
Selain itu, saksi dan saksi ahli juga ditentukan oleh pihak kepolisian.
Padahal, ia menilai, kekerasan yang dilakukan oleh terduga pelaku telah melanggar Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan, setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Tindak kekerasan yang dialami korban juga telah menimbulkan trauma.
Hal itu dibuktikan dari hasil tes psikologi dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram yang menyebutkan korban mengalami trauma berat dan tertekan.
Apalagi, korban mengalami kekerasan saat sedang bekerja dalam kondisi hamil.
Usai mengalami persekusi, intimidasi, dan kekerasan fisik, korban juga tidak produktif berkarya karena trauma atas kejadian itu.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Indonesia Erick Tanjung menilai, sejak awal pelaporan hingga proses penyelidikan kasus kekerasan yang dialami jurnalis perempuan di NTB ini sangat janggal.
Padahal, korban jelas-jelas mengalami kekerasan saat sedang melaksanakan tugas jurnalistik.
Menurut dia, penghentian kasus ini menambah daftar panjang kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang penyelidikannya dihentikan.
Saat ini, pihaknya juga terus mengadvokasi kasus yang dialami Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut saat meliput aksi demo di Manggarai, NTT.
Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), sepanjang tahun 2023, tercatat ada 89 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis. Bentuk kekerasan yang meliputi kekerasan fisik, verbal, termasuk kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan.
Adapun sepanjang tahun 2024, terjadi 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Meskipun secara jumlah menurun, kata Erick, situasi kekerasan yang dialami jurnalis lebih berbahaya karena ada jurnalis yang diteror hingga dibunuh.
Sementara itu, Ketua Dewan Pers Ninik rahayu menekankan pentingnya dukungan dari perusahaan dan sejumlah organisasi untuk mengawal kasus itu. Ia juga mengapresiasi semua pihak yang sejak awal memberikan pendampingan pada korban. “Sejak awal nampaknya korban sudah siap untuk melakukan proses hukum dan perlu dikawal,” ucap Ninik.
Chikita Marpaung dari Lembaga Bantuan Hukum Pers mengatakan, kehadiran UU Pers yang mengatur delik pidana merupakan mandate konstitusi dan harus dapat melindungi jurnalis.
Apalagi, korban mengalami kekerasan itu saat sedang meliput isu banjir yang berdampak bagi banyak orang.
Sementara itu, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Endang Sri Lestari Penyidik 1 Tindak Pidana Muda Ditreskrimum Polda Metro Jaya mewakili Kombes Rita Wulandari Kasubdit 1 Direktorat Tindak Pidana Perempuan Anak dan Pidana Perdagangan Orang (Dittipid PPA- PPO) Bareskrim Polri menyampaikan, berdasarkan laporan dari Polda NTB, Polresta mataram melakukan penghentian penyelidikan karena polisi belum menemukan adanya tindak pidana.
Namun, kata dia, pihak korban atau kuasa hukum dapat mengajukan permohonan untuk gelar perkara khusus. Jika nanti ada fakta-fakta yang mendukung untuk perkara itu dilanjutkan, kasus itu dapat dibuka kembali.
“Bisa dilakukan permohonan gelar perkara khusus. Di sana nanti akan dinilai bagaimana prosedur penanganannya kasus ini hingga akhirnya dihentikan penyelidikan. Nanti bisa dilakukan rekomendasi atau ada temuan fakta baru yang bisa dibuka kembali kasus ini.
Selain itu, kuasa hukum juga bisa membuat laporan baru dengan UU Pers sehingga kasus itu dapat ditangani oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda NTB.(nau/KPO-1)