Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

IKN Bukan Lorem Ipsum

×

IKN Bukan Lorem Ipsum

Sebarkan artikel ini

Oleh : Najamuddin Khairur Rijal

Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Baca Koran

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Teks di atas mungkin familiar bagi kita. Lorem ipsum adalah teks isian (placeholder text) yang biasa digunakan dalam dunia desain grafis dan penerbitan untuk mengisi tata letak sementara (dummy) sebelum konten asli dimasukkan. Tujuannya adalah untuk membantu desainer fokus pada elemen visual seperti layout, huruf, dan tipografi tanpa terganggu oleh isi teks.

Teks ini sejatinya berasal dari karya filsuf Romawi Kuno, Marcus Tullius Cicero, yang ditulis pada tahun 45 SM. Namun, bagian-bagian dari teks aslinya telah dipotong dan diacak sehingga tidak memiliki makna yang jelas. Jadi, ini semacam “bla bla bla” versi Latin untuk dunia desain. 

Tugu Lorem Ipsum

Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh foto Tugu Titik Nol (Center Point) Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menampilkan tulisan lorem ipsum. Hal ini memicu reaksi publik mengingat seharusnya tugu tersebut memuat informasi resmi tentang sejarah IKN. Maka, pertanyaannya, bagaimana mungkin teks sementara pada template desain yang tidak punya makna khusus itu tercetak dan terpampang pada monumen penting yang dibuat oleh pemerintah di tengah gegap gempita kemegahan IKN, di tanah yang konon akan menjadi simbol kemajuan Indonesia masa depan.

Sekalipun diakui pihak Otorita IKN sebagai sebuah kelalaian teknis, tapi tugu lorem ipsum ini sesungguhnya tampil autentik. Sepertinya ia jujur ingin mengakui bahwa narasi Nusantara memang belum siap, masih draf, masih dalam tahap dummy. Tugu lorem ipsum itu kiranya mencerminkan semangat pembangunan IKN yang cepat, ambisius, tapi belum jelas arahnya. 

Baca Juga :  Memperbaiki Konektivitas Jalan Guna Tumbuhnya Ekonomi

Sejak diumumkan pertama kali tahun 2019, proyek IKN selalu diselimuti aura “nanggung”, setengah-setengah. Misalnya saja, ketika lokasinya sudah dipilih, anggaran sudah dialokasikan, tanah sudah dibebaskan, tapi konsep dasarnya masih diketik. Narasi IKN disebut sebagai kota hutan pintar yang berbasis alam dan teknologi. Tapi wujud konkretnya masih kabur, seperti kalimat-kalimat lorem ipsum yang berbaris rapi tanpa makna.

Dalam ilmu politik simbolik, tugu adalah alat produksi makna. Seperti Tugu Titik Nol IKN, ia memberi pesan kepada khalayak bahwa “di sinilah kita mulai.” Ironisnya, kita sedang bicara tentang proyek besar yang sangat serius, Kota Dunia untuk Semua. Bukan sekadar pembangunan kota baru, tapi pemindahan pusat pemerintahan republik. Sebuah keputusan monumental yang akan mengubah struktur administrasi, distribusi anggaran, dan peta kekuasaan politik nasional. Namun, ambisi besar ini masih terus menuai polemik. Sekalipun ada optimisme, banyak pula yang pesimis memandangnya seperti banyak proyek besar di negeri ini, berakhir tak selesai tanpa makna.  

Barangkali tugu lorem ipsum ini bisa kita anggap sebagai cermin. Ia mencerminkan betapa seringnya kita memaksakan simbol sebelum substansi. Betapa mudahnya kita terjebak dalam ilusi pencapaian visual, sementara narasi dan nilai yang mendasarinya belum selesai ditulis, seperti (calon) ibu kota yang bahkan belum sempat menuliskan narasinya sendiri.

Belajar pada Dunia

Memang kesempurnaan bukanlah hasil dari kecepatan, tapi dari proses yang matang. Kita perlu melihat ke luar jendela, belajar bagaimana proyek pemindahan ibu kota oleh banyak negara di dunia. Ada yang berhasil jadi kota masa depan, ada pula yang berakhir jadi kota sunyi penuh gedung tanpa penghuni. Brasil memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasília, Kazakhstan dari Almaty ke Astana, Myanmar dari Yangon ke Naypyidaw, Nigeria dari Lagos ke Abuja, Tanzania dari Dar es Salaam ke Dodoma, Mesir dari Kairo ke New Administrative Capital, dan lainnya.

Baca Juga :  Hukum Rimba Jalan Raya

Proyek seperti Brasília dan Abuja mungkin bisa disebut berhasil karena punya narasi kuat, perencanaan matang, dan waktu yang cukup panjang. Sementara kasus Naypyidaw dan New Administrative Capital di Mesir memperingatkan bahaya pemindahan yang tergesa-gesa, simbolik, atau tanpa dukungan sosial-politik luas. Semuanya memberi pelajaran bahwa kesuksesan pemindahan ibu kota bukan semata soal gedung atau jalan tol, tetapi soal makna dan fungsi serta kehidupan.

Kita harus belajar pada dunia bahwa pemindahan ibu kota bukan proyek infrastruktur semata, apalagi ambisi presiden, tapi juga proyek sosial dan budaya. Butuh arah yang jelas, narasi yang kuat, dan waktu yang cukup, tidak bisa tergesa-gesa. Sebab, membangun kota sebagai ruang hidup butuh waktu, keberlanjutan, dan kehendak politik yang konsisten lintas generasi. Tidak ada jalan pintas. 

Sayangnya, pihak Otorita IKN sudah menutup tulisan itu dan ingin segera memperbaikinya. Harusnya, tugu itu jangan buru-buru diperbaiki. Biarkan saja ia begitu, kiranya menjadi pengingat nasional, bahwa kesempurnaan bukanlah hasil dari kecepatan, tapi dari proses yang matang.

Biarkan anak-anak sekolah datang, menikmati pesona kemegahan IKN yang akan menjadi pusat kemajuan peradaban Indonesia. Biarkan para calon generasi emas Indonesia itu membaca teks lorem ipsum pada Tugu Titik Nol, lalu bertanya: “Ini artinya apa, Bu Guru?”

Lalu, Ibu guru hanya bisa menjawab, “Itu artinya kita semua masih belajar. Bahkan pemerintah pun masih belajar menulis.” Siapa tahu, dari dummy text itu, lahir generasi yang ingin menulis ulang narasi bangsa dengan isi yang lebih baik dan lebih beradab dari sekadar lorem ipsum dolor sit amet, menuju cita-cita Indonesia Emas 2045 yang sebenar-benarnya. Sebab, IKN bukan sekadar lorem ipsum.

Iklan
Iklan