Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Mari Membaca

×

Mari Membaca

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Budayawan

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sewaktu menjabat presiden, dalam satu acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pernah mencanangkan Gerakan Gemar Membaca (GGM) secara nasional. Dengan aktif membaca, presiden berharap masyarakat semakin cerdas dan pintar. Pada gilirannya bangsa ini maju dan kompetitif di tengah bangsa-bangsa dunia. SBY berobsesi menjadikan Indonesia unggul, sebagaimana judul salah satu buku karyanya.

Baca Koran

Pencanangan sekaligus harapan SBY tepat sekali. Budaya membaca belum tumbuh, baik di tataran keluarga maupun masyarakat, bahkan anak-anak sekolah. Cafeteria sekolah lebih ramai ketimbang perpustakaan. Kalau kita berkunjung ke rumah-rumah penduduk, pemandangan paling menonjol adalah kendaraan, alat-alat hiburan, meubel, barang-barang antik, bahkan perkakas dan alat-alat dapur. Jarang kita temukan koleksi buku, majalah atau surat kabar yang dikelola menjadi perpustakaan keluarga.

Kalau kondisi demikian ditemui pada masyarakat bawah dan kurang berpendidikan, terasa wajar. Menurut Gunnar Myrdall, the poor problem is the problem of a rice bowl (problem orang miskin adalah problem sepiring nasi). Bagi mereka ini hidup (makan) lebih penting daripada yang lain. Primum vivere deinde philosophare (hidup dulu baru berpikir), ujar Saren Keirgekaart.

Tidak adanya perpustakaan keluarga perlu diprihatinkan karena ditemui justru pada banyak keluarga berada dan terdidik, seperti guru, dosen, ulama, pengusaha dan PNS pada umumnya. Mereka seolah lupa, keberhasilannya justru atas kontribusi buku yang memuat berbagai ilmu pengetahuan dan informasi berharga. Banyak yang tidak mau berkorban untuk membeli bahan bacaan. Mereka baru punya buku jika diberi atau dihadiahkan orang lain, ada buku/koran gratis sekolah atau kantor yang bisa dibawa pulang. Lebih jelek lagi punya buku pinjaman dari kenalan dan perpustakaan yang seolah lupa atau sengaja tidak dikembalikan.

Mengubah Persepsi

Banyak faktor keluarga belum memiliki perpustakaan. Keluarga belum dianggap lingkungan pendidikan yang penting untuk mencerdaskan anggotanya. Pendidikan lebih dibebankan kepada sekolah. Keluarga hanya dijadikan tempat anak berteduh, istirahat, makan-minum, berhibur dan belajar alakadarnya terkait PR. Mengatasi hal ini perlu disadarkan, keluarga adalah lembaga pendidikan utama, sedangkan sekolah hanya pelengkap. Untuk itu bahan bacaan harus disediakan dalam keluarga.

Baca Juga :  Palestina Memanggil. Sampai Kapan Dunia Tuli?

Buku dan bahan bacaan lain belum dianggap kebutuhan primer dan sekunder. Istri dan anak-anak cenderung bermuka masam dan cemberut jika suami atau ayahnya pulang dari pasar hanya membawa buku, majalah, koran. Baru gembira kalau yang dibawa pulang oleh-oleh makanan, pakaian dan perhiasan. Bahkan tidak jarang para orang tua protes kepada guru atau pihak sekolah, ketika anaknya diminta untuk membeli/membayar buku tertentu. Mereka maunya serba gratis. Mereka tidak protes kalau anaknya hampir tiap hari membeli pulsa atau barang lain yang belum tentu berguna bagi anak.

Mengatasi hal ini segenap anggota keluarga perlu mengubah pandangan, bahan bacaan tidak kalah pentingnya dengan makanan atau pakaian. KH Husin Naparin (2003: 123) mengatakan, membaca adalah kunci ilmu pengetahuan. Ilmu tidak datang dengan sendirinya, justru diperoleh dengan membaca. Membaca pelita hati dan ia perintah agama.

Para orangtua tidak memiliki idealisme lebih akan anak-anaknya. Mereka hanya mengukur keberhasilan dengan lulus sekolah, kuliah lalu bekerja dan berpenghasilan. Belum banyak yang menginginkan anaknya sebagai ulama, dai, wartawan, artis dan publik figur lain dengan keunggulan komparatif yang untuk mendapatkannya harus dengan banyak membaca. Wartawan dan budayawan Mochtar Lubis mengaku, ketokohannya banyak disebabkan ayahnya dulu rajin membelikan buku untuk perpustakaan keluarga. Helvy Thiana Rossa mampu menjadikan anaknya, Abdurrahman sebagai penyair dan cerpenis cilik, justru karena di rumahnya ada perpustakaan.

Pelajar dan mahasiswa perlu menjadikan perpustakaan sebagai dapur untuk menggali dan mengolah pengetahuan. Menurut Drs HM Asy’ari, MA, mantan Rektor IAIN Antasari Banjarmasin, dapurnya sekolah dan perguruan tinggi di negara-negara Barat yang sudah maju, bukan ruang kelas atau kuliah, melainkan perpustakaan.

Perpustakaan Keluarga

Ke depan ada harapan membangun dan menghidupkan budaya baca. Sejumlah toko buku, pameran dan bazaar buku, tampak menggembirakan. Seiring membaiknya penghasilan masyarakat, khususnya kalangan PNS, pembeli buku semakin banyak. Para orangtua mulai sering mengajak anak-anaknya belanja buku. Berarti akan tumbuh perpustakaan keluarga di rumah-rumah penduduk. Tidak harus berupa ruang khusus dengan lemari dan meja kursi yang lengkap. Sekadar mudah dibaca dan duduk lesehan sudah cukup. Sebuah keluarga terdidik yang rata-rata anaknya Sarjana S1 sampai S3 enggan menyimpan buku-buku di lemari. Semua buku dihambur di lantai, agar mudah dibaca. Bagi mereka buku bukan aksesori.

Baca Juga :  Bersahabat Dengan Buku

Orangtua/keluarga hendaknya menyediakan budget tersendiri untuk membeli buku, majalah dan suratkabar. Kalau kita berani menghabiskan Rp 50-100-an ribu lebih perhari untuk belanja dapur, atau anggaran yang sama untuk beli pulsa, mengapa tidak disisihkan beberapa ribu rupiah untuk membeli bacaan. Kecerdasan anak tidak akan sia-sia, dan tidak jarang juga beroleh imbalan material nantinya. Saling memberi hadiah buku, misalnya saat ulang tahun, kado perkawinan dst penting dibudayakan. Agar kita punya buku, tentu tidak bisa mengandalkan pemberian orang. Kita sendiri harus punya kesadaran membeli.

Bagi orangtua mampu hendaknya menyertakan komputer dan sejenisnya di ruang belajar anak-anak. Supaya mereka tanggap teknologi dan dapat mengakses ilmu pengetahuan dan informasi aktual melalui media hi-tech. Tentu disertai pengawasan dan bimbingan, agar mereka tidak terjebak cyber-sex. Penyertaan teknologi penting mengurangi kebosanan dan selingan rutinitas. Juga makanan/minuman ringan seperlunya. Membaca jika belum menjadi kebutuhan, terasa beban. Diperlukan selingan supaya anak refresh membaca.

Guru-guru sekolah hendaknya memotivasi siswa rajin membaca. PR rutin dikurangi karena menjadi beban, menghambat minat dan waktu siswa membaca yang lain. Penting siswa disuruh membaca-buku-buku di luar pelajaran guna pencerahan dan menambah wawasan. Siswa yang paling banyak membaca dalam seminggu perlu diberi hadiah. Ke depan kita mampu membangun reading society, bukan oral atau filming society seperti selama ini.

Kurikulum Merdeka yang berlaku sekarang, di mana ada keharusan siswa membaca pada menit-menit pertama pelajaran, diharapkan dapat menggairahkan kembali dunia bacaan, asal jangan bacaan yang mengandung pornografi. Tidak ada negara dan masyarakat maju jika malas membaca. Buku dan bahan bacaan untuk keluarga, sekolah dan masyarakat tidak bisa ditawar lagi.

Iklan
Iklan