Oleh : AHMAD BARJIE B
Musthafa al-Manfaluthi, salah seorang ulama dan pujangga Mesir, suatu hari berjalan di tengah kota Kairo. Ditemukannya seorang pria tua tergeletak sambil mengelus-elus perut. Saat ditanya, pria itu mengatakan perutnya sakit karena sudah berhari-hari tidak makan. Musthafa membantu alakadarnya agar pria itu bisa membeli makanan.
Kali lain Musthafa mengunjungi salah seorang sahabatnya selagi muda, yang ketika sama-sama di kampung pernah hidup susah. Setelah bertemu, ternyata sahabatnya yang sudah menjadi orang kaya itu tergeletak di kasur apartemen mewahnya, juga sedang mengelus-elus perutnya. Setelah ditanya, sahabatnya itu mengatakan ia sakit perut karena kebanyakan makan, berbagai makanan enak ia makan sehingga perutnya tidak mampu menyandangnya. Sahabatnya itu mengatakan, mumpung sekarang sudah berduit, tidak apa-apa memuaskan nafsu makan yang dulu tidak terpenuhi. Ia tidak merasa bersalah karena yang dipakai dan dimakan uangnya sendiri dan tidak merugikan orang lain. Musthafa memberinya nasihat agar mengurangi makannya, dan alangkah mulianya kelebihan uang dan harta disumbangkan untuk orang yang lemah dan lapar.
Melihat dua fakta yang sama (sama-sama sakit perut) namun bertolak belakang penyebabnya ini, Musthafa berkesimpulan, seandainya orang-orang kaya mau berbagi, tentu mereka tak akan sakit perut karena kekenyangan, bahkan pada saat yang sama mereka juga menyelamatkan orang-orang miskin dari kelaparan. Demikian Drs H Syukriansyah MA dalam satu materi kuliah Subuh Ramadan lalu di Masjid An-Noor, Banjarmasin.
Makan memang kebutuhan dasar manusia di mana saja. Terutama bagi masyarakat Asia yang kehidupan ekonominya belum begitu baik, kebutuhan makan tak bisa dikesampingkan. Gunnar Myrdal mengatakan, the problem of Asia is the problem of a rice bowl, masalah orang Asia adalah masalah sepiring nasi.
Kalau kekurangan makan, banyak penyakit yang menimpa; kurang gizi, gizi buruk, busung lapar, pertumbuhan fisik dan mental terhambat, daya tahan terhadap penyakit rendah, badan lemah, dan berbagai sikap mental sebagai ikutannya seperti malas, lesu, tidak bisa bekerja dan tidak produktif.
Sebaliknya kebanyakan makan atau makan tersalah, banyak pula penyakit berdatangan. Sakit gula, darah tinggi, kolesterol, kegemukan, asam urat dan sebagainya, sering disebabkan makanan. Tak salah agama memperingatkan untuk berhati-hati terhadap lambung, karena sebagian penyakit berasal dari makanan. Sesuai pula dengan teori kesehatan, penyakit itu banyak disebabkan faktor makanan, pola hidup dan lingkungan.
Berpuasa wajib atau puasa sunat adalah salah satu terapi kesehatan yang ampuh. Nabi berpesan, berpuasalah, niscaya kamu akan sehat. Melalui puasa organ tubuh yang bekerja keras selama 11 bulan, bisa istirahat dan rileks. Tak heran banyak orang menjadikan puasa untuk tujuan lain seperti diet, kecantikan, mengurangi kegemukan dan sebagainya.
Pesan utama yang dikandung ibadah puasa adalah perlunya saling bantu dan berbagi. Orang-orang yang kaya dan mampu harus membantu orang yang tidak berpunya dan hidup serba kekurangan. Bisa membantu ikan maupun kail, tergantung kebutuhan, misalnya membuka lapangan kerja, memberi upah layak, meringankan orang yang berutang, menghilangkan utang berbunga dan sebagainya. Saling bantu begini akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan solidaritas sosial yang kuat. Ada rasa empati dan tenggang rasa terhadap nasiib orang lain, ringan sama dijinjing berat sama dipikul.
Masalah utama di negeri kita selama ini adalah kesenjangan, baik kesenjangan vertikal maupun horisontal, juga kesenjangan antara pusat dengan daerah. Yang terjadi bukannya ekonomi kerakyatan, melainkan kapitalisme ekonomi, yang kuat memakan yang lemah. Hal ini sejalan dengan hasil riset lembaga-lembaga nasional dan internasional, bahwa kesenjangan sosial ekonomi Indonesia sangat parah. Sekelompok orang (6 persen) penduduk menguasai 60 persen kekayaan negara, sedangkan sisanya 90-an persen memperebutkan sisanya.
Masalah kesenjangan sangat penting disikapi secara serius, karena kalau dibiarkan berlarut akan berbahaya. Jenderal Besar TNI Purn Abdul Haris Nasution (alm) memperingatkan, potensi perpecahan bangsa ini bukan disebabkan faktor SARA dan kebhinnekaan, melainkan kesenjangan sosial. Ia bagaikan rumput kering yang mudah terbakar jika ada api pemantiknya.
Malaysia yang juga memiliki potensi SARA dan kebhinnekaan, sudah berhasil mengatasi potensi perpecahan di negerinya. Sejak 1970 pemerintahnya sudah memberlakukan program pemerataan ekonomi secara intensif dan nyata untuk semua suku bangsa dan agama, sehingga orang Melayu menjadi tuan di negerinya sendiri dan tidak berbeda tingkat kesejahteraannya dibanding orang Tionghoa, India, Arab dan sebagainya.
Indonesia masih abai terhadap persoalan yang satu ini. Pemihakan pemerintah terhadap rakyat kecil yang justru lebih besar jumlahnya kurang kelihatan. Pemerintah lebih memihak kalangan kaya. Pemerintah lebih berorientasi pada pertumbuhan, sementara keadilan sosial dan pemerataannya diabaikan. Yang dianggap sumber perpecahan adalah persoalan SARA, padahal SARA sudah menjadi identitas dan khazanah bangsa, ia keniscayaan ciptaan Tuhan.
Tak ada bangsa dunia tanpa SARA. Tak mungkin Allah menciptakan keragaman SARA kalau untuk berpecah-belah. Justru semuanya harus saling kenal, saling mengerti, memahami, berinteraksi, saling bantu, dan tidak ada eksklusivisme. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Kalau SARA sumber perpecahan tentu bangsa ini tidak pernah merdeka dan negara ini sudah lama bubar.
Agama Islam yang bersifat lintas SARA sudah sangat tegas mengatur hal ini. Al Quran dan hadis juga amat banyak berbicara perlunya toleransi dan saling bantu untuk mewujudkan persatuan, kerukunan dan solidaritas sosial. Orang yang dianggap mendustakan agama adalah orang yang enggan menolong orang miskin, dan tidak berupaya mencarikan solusi dan orang yang mau menolong mereka.
Ideologi negara kita Pancasila juga demikian, sila kedua dan kelima sangat menekankan pentingnya kehidupan kemanusiaan yang berkeadaban dan berkeadilan sosial untuk semua. Setelah 15 abad Islam menyapa dunia, dan hampir 3/4 abad Indonesia merdeka, ajaran Islam dan Pancasila sejatinya tidak hanya dikomunikasikan secara verbal. Yang sangat penting dan mendesak sekarang adalah amalan nyata. Kalau di negeri ini tak ada lagi orang sakit perut karena kelaparan dan/atau kekenyangan, itulah pengamalan agama dan Pancasila yang sesungguhnya. Wallahu A’lam.