Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Krisis Sistemik Kekerasan Seksual

×

Krisis Sistemik Kekerasan Seksual

Sebarkan artikel ini

Oleh : Salasiah, S.Pd
Pemerhati Generasi

Kalsel, harusnya layak disematkan kondisi darurat pelecehan seksual. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPPPAKB) Kalsel menunjukkan, hingga 10 April 2025 tercatat 63 kasus kekerasan-seksual menimpa anak dan perempuan (Banjarmasinpost.Co.Id,26/4/2025).

Baca Koran

Dalam empat bulan terakhir saja, ada sejumlah kasus cukup menonjol seperti pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar dengan pelaku seorang kakek dan korbannya 31 siswi Taman Kanak-kanak Al-Qur’an. Kemudian, kasus pelecehan seksual oleh oknum ASN Pemprov Kalsel terhadap tenaga kesehatan di Banjarbaru. Ada pula kasus kejahatan seksual pada anak dengan modus joki game online.

Mayoritas korbannya adalah anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Kekerasan seksual juga banyak terjadi dilingkungan yang seharusnya aman seperti keluarga dan sekolah.

Upaya peningkatan kapasitas petugas layanan dan koordinasi antar lembaga terus dilakukan untuk memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban.

Pemerintah juga sudah membentuk jabatan dan lembaga yang mengurusi perempuan, termasuk ada Komnas Perlindungan Perempuan. Penangana jangka pendek dan menengah misalnya, dibentuk satuan tugas khusus penanganan kekerasan seksual. Pemerintah yang mengambil inisiatif, lalu melibatkan lembaga swadaya masyarakat, kampus, hingga masyarakat umum.

Hanya saja kekerasan seksual masih menjadi masalah besar. Data-data menunjukkan betapa pelecehan seksual terhadap perempuan maupun anak angkanya kian memprihatikan. Ombudsman RI mencatat, dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 300 kasus. Secara nasional, hingga April 2025, data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) ada 5.949 kasus kekerasan pada perempuan, 15 diantaranya kekerasan seksual. Data Polri lebih rinci menyebut, sampai April 2025, ada 153 kasus kekerasan seksual dan pornografi dengan 354 korban serta 390 pelaku.

Data yang tertulis belum ditambah kasus yang tidak terunggkap dan tidak ingin diungkapkan oleh korban karena merasa hal itu adalah aib yang harus ditutupi. Di sisi lain korban juga harus lebih dulu dianggap melakukan pencemaran nama baik jika sang pelaku adalah tokoh masyarakat yang berwajah polos dan dielokkan serta kebal hukum.

Baca Juga :  Moderasi Beragama Untuk Indonesia Emas

Banyak pelaku kekerasan seksual tidak mendapatkan hukuman maksimal. Bahkan dalam beberapa kasus, proses hukum berjalan lambat dan berakhir secara kekeluargaan, tanpa mempertimbangkan trauma korban.

Tingginya angka kekerasan seksual pada perempuan dan anak ini tidak bisa dibiarkan, melainkan harus jadi bagian dari fokus utama semua pihak di Banua untuk ditekan. Semua pihak termasuk masyarakat, aparatur negara seperti aparatur pemerintahan maupun aparat kepolisian harus menemukan penyebab masalah kekerasan seksual ini dan menyelesaikan sampai ke akarnya.

Masalah kekerasan seksual ini disebabkan oleh faktor utama yaitu penerapan sistem sekularisme kapitalisme. Sistem inilah yang akhirnya membuat manusia kehilangan nilai kemanusiaannya. Sekularisme juga melahirkan liberalisasi (kebebasan berperilaku).

Penerapan sistem sekularisme kapitalisme dalam kehidupan, nyatanya diperparah oleh lemahnya negara dalam mengatur media, baik televisi, tontonan, film dan media sosial. Derasnya arus globalisasi yang membawa paparan informasi vulgar tanpa sensor terkait seksualitas, telah membawa pengaruh, mengilfitrasi bahkan sudah menjadi candu.

Kemudahan akses internet, private virtual network (PVN) internet berikut konten-konten seksual yang bisa diakses sudah meracuni generasi bangsa, sehingga berperilaku seksual menyimpang. Produsen film atau tayangan yang mengumbar aktivitas yang mengandung unsue seksual tidak ditindak tegas.

Kekerasan seksual bukan hanya persoalan moral individu, tapi buah dari sistem yang: pertama, Memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme), termasuk dalam pendidikan, media, dan hukum. Kedua, Menjunjung kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan seksual, berpakaian minim, dan menikmati pornografi. Ketiga, Mengandalkan hukum buatan manusia yang lemah, lamban, dan tidak memberikan efek jera. Keempat, Gagal membentuk masyarakat yang takut kepada Tuhan, karena agama direduksir hanya untuk ibadah privat.

Di sistem ini, perempuan dilihat sebagai komoditas. Eksploitasi tubuh dalam iklan, media, bahkan pendidikan menjadi hal biasa. Negara abai atau justru menjadi fasilitator budaya permisif. Kekerasan seksual tak akan pernah selesai dengan seminar, edukasi reproduksi liberal, atau hukuman ringan. Oleh karena itu, perlu kolaborasi multisektor dalam penangan kekerasan seksual yang mewabah ini dengan sistem yang tepat. .

Baca Juga :  Solusi Mengatasi Pandemi Judi Online

Dalam sitem Islam, negara memiliki peran sentral dalam menjaga dan melindungi generasi dan masyarakat dari kejahatan. Dalam menghadapi darurat kekerasan seksual, Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar masalah : Pertama, penegakan hukum hudud, pelaku zina dan pelecehan seksual dikenai hukuman tegas. Kedua, tidak hanya menutup aurat saja. Pemisahan laki-laki dan perempuan dalam ranah publik juga harus dilakukan. Ketiga, Negara akan mengambil peran aktif sebagai penjaga, Kepala negara sebagai pelaksana syariat, pendidik masyarakat dan penegak hukum yang adil. Keempat, Pendidikan berbasis Aqidah Islam.

Darurat kekerasan seksual bukan sekedar masalah individu, melainkan krisis sistemik. Sudah saatnya masyarakat dan pemangku kebijakan berpaling kepada solusi Islam Kaffah, bukan sekedar tambal sulam. Hanya dengan penerapan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan, kejahatan seksual bisa ditekan dan masyarakat bisa hidup dengan aman dan bermartabat.

Kekerasan seksual hanya bisa dihentikan dengan perubahan sistemik menyeluruh: mengganti sistem sekuler dengan Islam ideologis yang menerapkan syariah secara total dalam pendidikan, sosial, dan hukum. Rakyat Banua Kalimantan Selatan yang agamis butuh lebih dari gerakan reaktif. Kekerasan seksual butuh kesadaran kolektif untuk kembali kepada Islam sebagai sistem hidup. Hanya dengan itulah, kehormatan perempuan dan anak-anak bisa benar-benar dijaga.

Iklan
Iklan