BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Fenomena pembangunan di atas aliran sungai atau bahkan memperkecil lebar sungai kerap menjadi penyebab utama terjadinya banjir di sejumlah wilayah. Tidak hanya merusak lingkungan dan infrastruktur, tindakan ini juga menghambat aliran air yang seharusnya mengalir bebas, sebagaimana fungsinya dalam sistem ekosistem alami.
Tak luput pula dalam perspektif Islam, tindakan semacam ini termasuk dalam perbuatan yang tegas dilarang karena bertentangan dengan prinsip dasar syariat yang berbunyi tidak membahayakan dan tidak merugikan pihak lain.
Akademisi Studi Kajian Islam dari salah satu kampus ternama di Jakarta, Syahrani M.Ag M.M menerangkan dalam Islam dituntut untum menjaga kemaslahatan umum dan melarang perbuatan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan maupun sosial.
Dibeberkannya, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Malik, dan Ahmad, Rasulullah SAW bersabda, ‘Lâ dharara wa lâ dhirâr’ yang berarti Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.
“Hadis ini lah menjadi pijakan dalam kaidah fikih yang kuat, bahwa segala bentuk tindakan yang dapat menyebabkan mudarat harus dicegah,” ujarnya.
Hal ini pula yang dijadikannya patokan dalam melihat proyek (NUFReP) yang saat ini tengah diuruk dengan tanah dan memperkecil lebar sungai, sekaligus dapat menghambat aliran air jelas termasuk dalam kategori perbuatan yang membawa kerusakan.
Bahkan dalam prinsip fikih ujarnya disebutkan Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih, yang artinya menolak kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.
“Artinya, meskipun pembangunan tersebut dianggap membawa manfaat bagi pelakunya, namun jika mengakibatkan kerusakan yang lebih besar bagi masyarakat luas, maka perbuatan itu wajib dihentikan,” bebernya.
Landasan yang lebih kuat lagi, Syahrani menilik ayat suci Al-Qur’an yang berbunyi, Allah SWT memperingatkan manusia agar tidak membuat kerusakan di muka bumi. Dalam Surah Al-A’raf ayat 56 disebutkan, ‘Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya’.
“Ayat ini menjadi seruan tegas agar manusia tidak semena-mena dalam memanfaatkan alam, terlebih jika tindakan tersebut menimbulkan kerugian bagi makhluk lain,” ujarnya.
Selain itu sambungnya, dalam Islam, sungai merupakan bagian dari harta milik umum yang tidak boleh dikuasai atau dimanfaatkan secara eksklusif oleh individu.
Mengacu pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, manusia berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput, dan api. (HR. Abu Dawud). “Maka, ketika seseorang membangun di atas sungai hingga menghambat aliran air, sesungguhnya ia telah merampas hak bersama yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia,” ucap Syahrani.
“Nah, jadi jika melihat berbagai dalil tersebut, para ulama jelas menyimpulkan bahwa hukum mendirikan bangunan di atas sungai yang menghambat aliran air dan berpotensi menyebabkan banjir adalah haram,” tambahnya.
Lebih lanjut menurut Syahrani, perbuatan ini bukan hanya berdosa, tetapi juga melanggar prinsip keadilan dan kemaslahatan umum.
Oleh karena itu, ujarnya, pemerintah dalam hal ini Walikota Banjarmasin yang memiliki otoritas untuk menindak dan membongkar bangunan semacam itu, sebagai bentuk pelaksanaan prinsip hisbah dalam Islam, yaitu pengawasan terhadap pelanggaran yang mengganggu kepentingan publik, jangan diam, apalagi ikut menjadi bagian dari dosa jariyah, karena mendiamkan mudharat atau kerusakan sungai.
“Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa menjaga aliran sungai bukan hanya kewajiban sosial dan ekologis, tetapi juga merupakan bagian dari amanah agama yang harus dijaga bersama, terutama pemerintah kota wajib menjaganya,” tegasnya.
“Jangan seperti tutup mata. Jaga kemaslahatan umat yang akan datang, bukan ikut membiarkan seolah-olah tidak tahu,” tutupnya. (Sfr)