Oleh : H. AHDIAT GAZALI RAHMAN
Kata “palsu”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak asli, tiruan, atau bukan yang sebenarnya. Kata palsu ini juga bisa merujuk pada sesuatu yang dibuat agar tampak asli dengan tujuan menipu. Sedangkan menurut ahli hukum pidana, R Soesilo, palsu membuat surat palsu berarti membuat surat yang isinya tidak benar atau seolah-olah berasal dari pihak tertentu padahal bukan. Memalsukan surat berarti mengubah surat yang sudah ada sehingga isinya menjadi berbeda dari yang asli, baik dengan cara mengurangi, menambah, atau mengubah sebagian isinya. Dalam Islam, kata palsu atau kepalsuan (bahasa Arab kadzib atau zaif) merujuk pada segala sesuatu yang tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan, atau dibuat-buat. Hal ini termasuk perkataan, perbuatan, atau bahkan kesaksian yang tidak jujur dan bertentangan dengan kebenaran.
Menurut R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal surat-surat yang dipalsukan itu harus surat yang : 1. Dapat menimbulkan sesuatu hak, misalnya ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain; 2. Dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya; 3. Dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang seperti kuitansi atau surat semacam itu; atau 4. Surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain.
Adapun bentuk-bentuk pemalsuan dilakukan dengan cara: a. Membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar); b. Memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah atau mengubah sesuatu dari surat itu; c. Memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat; d. Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak. Misalnya foto dalam ijazah sekolah.
Kepalsuan dalam Islam, biasa meliputi hal-hal sebagai berikut ini, yakni : a. Bersaksi palsu. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan atau di hadapan pihak berwenang; b. Bersumpah palsu. Bersumpah dengan nama Allah untuk sesuatu yang tidak benar; c. Memalsukan hadis. Membuat hadis yang tidak sahih dan menyandarkannya pada Nabi Muhammad; d. Berbohong. Menyampaikan informasi yang tidak benar kepada orang lain; e. Menipu. Melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperdaya orang lain.
Islam sebagai agama yang mayoritas yang dianut oleh bangsa ini sangat benci kepada orang yang melakukan kepalsuan, apakah surat palsu, janji palsu, dan lain-lain yang dianggap palsu atau berbohong atau membohongi sebagaimana firman Allah SWT, Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pembohong”. (QS. An Nahl : 105). Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah : 42)
Islam sangat menekankan pentingnya kejujuran dalam segala aspek kehidupan. Kejujuran adalah salah satu sifat yang paling utama dan merupakan bagian dari keimanan. Sebaliknya, kepalsuan dianggap sebagai perbuatan tercela dan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Islam mendorong umatnya untuk selalu berkata benar, bertindak jujur, dan menjauhi segala bentuk ke bohongan. Lebih-lebih jika ketidak jujuran itu dilakukan oleh mareka yang berkuasa, tentu suatu saat akan yang sangat merugikan mereka yang berada dalam/dibawah kekuasaannya.