Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kader Peduli Pendidikan Dari Akar Rumput Sinergi Orang Tua Dan Sekolah Dalam Semangat Tri Dharma Uniska

×

Kader Peduli Pendidikan Dari Akar Rumput Sinergi Orang Tua Dan Sekolah Dalam Semangat Tri Dharma Uniska

Sebarkan artikel ini
Picture1

Penulis:

Dr. Husnul Madihah, M.Pd

Baca Koran

Dosen Magister Administrasi Pendidikan Fakultas Pascasarjana UNISKA MAB Banjarmasin

Dr. Didi Susanto, S.Sos., M.I.Kom., M.Pd

Dosen Magister Administrasi Pendidikan Fakultas Pascasarjana UNISKA MAB Banjarmasin

Wakil Rektor 3 Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) MAB Banjarmasin

Dr. Rico, S.Pd., M.I.Kom Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNISKA MAB Banjarmasin

Pendidikan Butuh Rumah Kedua

Pendidikan dasar bukan sekadar soal bangku sekolah, kurikulum, atau angka rapor. Lebih dari itu, pendidikan adalah ruang tumbuh yang ditopang oleh rumah, sekolah, dan lingkungan sosial secara bersama-sama. Namun di banyak wilayah Indonesia, terutama di desa-desa yang jauh dari pusat kota, pendidikan masih berjalan dalam ruang yang terpisah antara sekolah dan keluarga. Orang tua dianggap pelengkap, bukan mitra. Mereka hanya hadir saat daftar ulang, mengambil rapor, atau ketika ada masalah. Padahal, keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan anak terbukti menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan akademik dan emosional anak.

Di Desa Semangat Dalam, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala—tempat kami melaksanakan program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM)—kami menemukan kenyataan yang akrab: orang tua merasa asing dengan dunia belajar anak-anak mereka. Tidak sedikit dari mereka yang menyerahkan sepenuhnya proses belajar mengajar kepada pihak sekolah. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena merasa tidak tahu bagaimana caranya terlibat. Mereka tidak paham kurikulum, tidak percaya diri untuk mendampingi belajar, bahkan tidak yakin apakah kehadiran mereka dibutuhkan. Di sisi lain, guru sering kali kewalahan menghadapi siswa yang datang dari latar belakang keluarga dengan minim dukungan belajar.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Kalimantan Selatan. Menurut Jeynes (2012) dalam jurnal School Community Journal, keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak secara aktif dapat meningkatkan prestasi akademik, perilaku, dan rasa percaya diri siswa. Bahkan UNESCO (2020) menyebutkan bahwa pendidikan yang melibatkan keluarga dan komunitas menghasilkan keberhasilan yang lebih berkelanjutan dibanding pendekatan sekolah-sentris. Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS, 2022) menunjukkan bahwa hanya 46,8% orang tua siswa SD yang terlibat secara aktif dalam mendampingi proses belajar anaknya di rumah.

Dalam konteks ini, diperlukan intervensi yang tidak sekadar bersifat formal atau administratif, melainkan menyentuh aspek kesadaran, keberdayaan, dan nilai kebersamaan. Program PKM yang kami lakukan mencoba menjawab tantangan ini dengan menghadirkan konsep “Kader Peduli Pendidikan”—sebuah model pelibatan orang tua dan masyarakat lokal untuk terlibat aktif sebagai pendamping belajar di lingkungan sekolah dasar. Bukan untuk menggantikan guru, melainkan menjadi jembatan antara rumah dan sekolah, antara cinta dan pengetahuan.

Kegiatan ini bukan hanya tentang pelatihan, tetapi juga proses pembentukan mindset. Kami ingin menyampaikan pesan sederhana namun kuat: bahwa pendidikan adalah hak anak dan tanggung jawab bersama. Ketika orang tua diberi ruang untuk berpartisipasi, mereka bukan hanya menjadi saksi pertumbuhan anak, tetapi juga menjadi bagian dari pertumbuhan itu sendiri.

Sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, kegiatan ini juga menjadi wujud nyata dari visi Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjari untuk hadir di tengah masyarakat dengan kontribusi yang bermakna. Kampus bukan hanya pusat ilmu, tetapi harus menjadi rumah kedua bagi masyarakat—tempat gagasan, kepedulian, dan solusi saling bertemu.

Solusi Kontekstual – Kader Peduli Pendidikan, dari Masyarakat untuk Anak

Meningkatkan kualitas pendidikan dasar tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Di banyak wilayah pedesaan, guru menghadapi tantangan besar dalam hal keterbatasan sumber daya, jumlah siswa yang tinggi, serta kurangnya dukungan dari rumah. Dalam situasi seperti ini, kehadiran masyarakat sebagai mitra dalam pendidikan bukan hanya pelengkap, melainkan kebutuhan mendesak.

Melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) yang kami laksanakan di Desa Semangat Dalam, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, kami berupaya menghadirkan solusi yang kontekstual: membangun model “Kader Peduli Pendidikan”. Gagasan ini lahir dari semangat gotong royong masyarakat sendiri—bukan rekrutmen dari luar, melainkan penguatan potensi orang tua dan warga sekitar yang memang sudah peduli terhadap anak-anak di lingkungan mereka.

Menurut laporan OECD (2021), pelibatan keluarga dan komunitas dalam proses pendidikan terbukti memberikan kontribusi langsung terhadap peningkatan hasil belajar siswa, terutama di pendidikan dasar. Pendekatan serupa juga dianjurkan dalam kajian UNESCO GEM Report (2020) yang menegaskan pentingnya community-based educational models dalam mendorong pendidikan yang inklusif dan berkelanjutan, terutama di wilayah-wilayah pinggiran.

Program kami menyusun tahapan kegiatan berbasis penguatan kapasitas masyarakat, dengan komponen utama sebagai berikut:

  1. Pelatihan Keterampilan Dasar Pendampingan Anak, di mana para orang tua dan warga yang aktif diberi bekal tentang cara sederhana mendampingi anak belajar, mulai dari membaca, menulis, hingga mengelola emosi dan perilaku anak.
  2. Peningkatan Literasi Digital dan Edukasi Parenting, agar para pendamping memiliki pemahaman dasar mengenai bagaimana dunia belajar anak saat ini telah bergeser ke ruang digital. Seperti disebutkan dalam studi Goodall & Montgomery (2014), kemitraan digital antara sekolah dan keluarga berperan penting dalam mendorong keterlibatan orang tua yang bermakna.
  3. Kolaborasi dengan Sekolah dalam Pendampingan Harian, di mana orang tua dan warga yang terlibat ikut mendukung kegiatan belajar-mengajar, seperti membantu siswa dalam tugas, menemani proses belajar kelompok, dan menciptakan ruang diskusi yang positif.
  4. Sesi Refleksi dan Umpan Balik, dilakukan secara rutin untuk mendengar pengalaman para orang tua dan guru selama menjalani kolaborasi ini, sekaligus memperkuat ikatan emosional antara rumah dan sekolah.
Baca Juga :  Eksistensi dan Peran Sultan Muhammad Seman

Efek dari pendekatan ini mulai terlihat: anak-anak menjadi lebih antusias belajar, orang tua merasa dihargai dan percaya diri, serta guru terbantu secara emosional dan pedagogis. Seperti yang ditegaskan oleh Desforges & Abouchaar (2003) dalam tinjauan literaturnya, keterlibatan orang tua yang konsisten adalah indikator utama keberhasilan anak dalam belajar, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi mereka.

Yang menjadikan pendekatan ini berbeda adalah bahwa kekuatan perubahan datang dari dalam komunitas itu sendiri. Kami dari UNISKA hanya berperan sebagai katalisator yang memfasilitasi ruang belajar bersama. Inilah bentuk pendidikan berbasis nilai-nilai partisipatif, selaras dengan filosofi Islam dan semangat Tri Dharma, bahwa ilmu pengetahuan bukan untuk dimonopoli, tetapi untuk dimasyarakatkan.

Dampak Nyata – Ketika Orang Tua Tidak Lagi Asing di Dunia Belajar Anak

Selama pelaksanaan program PKM “Kader Peduli Pendidikan” di Desa Semangat Dalam, kami menyaksikan bagaimana sesuatu yang tampak kecil bisa menimbulkan dampak yang besar. Keterlibatan orang tua dalam proses belajar anak, yang awalnya terasa asing dan canggung, perlahan berubah menjadi kebiasaan yang menyenangkan, membanggakan, dan membangun rasa percaya diri—baik pada anak, orang tua, maupun guru.

Di hari-hari awal pelaksanaan, sebagian orang tua datang ke kegiatan dengan rasa ragu. Beberapa mengaku tidak pernah terlibat langsung dalam aktivitas belajar anak karena merasa tidak mampu secara akademis. Seorang ibu bahkan berkata, “Saya tidak tamat sekolah, bagaimana bisa bantu anak belajar?” Namun melalui pendekatan yang humanis dan pelatihan yang partisipatif, kami tidak menuntut mereka menjadi guru—kami hanya mengajak mereka menjadi hadir. Hadir secara fisik, emosional, dan sosial dalam kehidupan belajar anak-anak mereka.

Perubahan mulai terlihat dari cara anak-anak menyambut kehadiran orang tuanya di sekolah. Anak-anak merasa bangga ketika ibunya ikut membantu mengatur kelas atau mendampingi kegiatan belajar kelompok. Mereka merasa diperhatikan bukan hanya oleh guru, tetapi juga oleh keluarga. Interaksi ini membangun iklim afektif positif di sekolah, sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam fase pendidikan dasar.

Sebagaimana dijelaskan oleh Epstein et al. (2019) dalam risetnya mengenai kemitraan keluarga dan sekolah, partisipasi aktif orang tua meningkatkan motivasi siswa, memperbaiki sikap terhadap pelajaran, dan menciptakan keterikatan emosional dengan proses pendidikan. Hal ini terbukti di lapangan. Guru-guru melaporkan bahwa siswa yang orang tuanya aktif dalam program ini menunjukkan semangat belajar yang lebih tinggi dan menurunnya tingkat keterlambatan masuk sekolah.

Dampak juga terasa di kalangan guru. Mereka mengaku merasa lebih dihargai dan didukung, karena kini tanggung jawab mendidik tidak lagi ditanggung sendirian. Salah satu guru mengatakan, “Biasanya kami mengeluh karena orang tua tidak mau tahu. Tapi sekarang, mereka justru lebih antusias, bahkan bertanya apa yang bisa mereka bantu untuk anaknya.” Ini menunjukkan bahwa kemitraan sejati bukanlah hasil pemaksaan, tetapi hasil dari saling percaya dan komunikasi terbuka.

Yang menarik, banyak dari orang tua yang ikut dalam kegiatan ini juga mengalami perubahan cara pandang terhadap pendidikan. Mereka mulai melihat sekolah bukan sebagai institusi formal yang jauh dari kehidupan mereka, melainkan sebagai ruang kolaboratif untuk membangun masa depan anak-anak. Perubahan mindset ini sangat penting, karena seperti dikatakan oleh Hoover-Dempsey & Sandler (2005), keyakinan orang tua bahwa keterlibatan mereka memiliki arti besar adalah faktor utama yang mendorong partisipasi aktif dalam pendidikan anak.

Kami menyadari bahwa keberhasilan program ini bukan diukur dari jumlah pelatihan yang terlaksana, tetapi dari seberapa dalam perubahan sosial yang ditimbulkan. Ketika orang tua mulai terbiasa berdiskusi dengan guru, ketika anak mulai bercerita tentang pelajaran di rumah, ketika warga mulai melihat sekolah sebagai bagian dari kehidupan sosial desa—di situlah pendidikan menjadi nyata dan bermakna.

Melalui program ini, kami tidak hanya membentuk kader, tetapi menumbuhkan ekosistem baru: ekosistem pembelajar berbasis keluarga dan komunitas. Sebuah langkah kecil dari desa yang bisa berdampak panjang bagi masa depan pendidikan Indonesia.

UNISKA dan Kampus Berdampak – Pendidikan dari Hati, Bukan dari Menara Gading

Dalam banyak narasi tentang pendidikan, universitas sering digambarkan sebagai “menara gading”—simbol ilmu pengetahuan yang tinggi, berjarak, dan sering kali terputus dari denyut kehidupan masyarakat. Namun di era sekarang, paradigma itu telah bergeser. Kampus tidak lagi cukup hanya menghasilkan lulusan atau publikasi ilmiah, melainkan harus hadir sebagai agen transformasi sosial yang benar-benar “berdampak.”

Inilah semangat yang dihidupi oleh Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin. Dengan visi “menjadi perguruan tinggi yang unggul dalam penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, berlandaskan nilai-nilai keislaman serta berstandar internasional,” UNISKA memposisikan dirinya bukan hanya sebagai produsen ilmu, tetapi juga sebagai penyampai hikmah, pendengar kegelisahan masyarakat, dan pemantik perubahan di akar rumput.

Program Kader Peduli Pendidikan yang kami laksanakan di Desa Semangat Dalam adalah contoh konkret dari pengejawantahan visi tersebut. UNISKA hadir tidak dalam bentuk ceramah akademik atau penyuluhan sepihak, tetapi melalui dialog, kolaborasi, dan penguatan masyarakat. Kami tidak membawa “solusi jadi” dari kampus, melainkan membuka ruang agar masyarakat sendiri yang menemukan kekuatannya.

Baca Juga :  Meningkatnya Penggunaan Gadget di Kalangan Siswa MI Nurul Hasanah Kecamatan Cempaka: Waspadai Dampak Jangka Panjang

Pendekatan ini sejalan dengan semangat Kampus Merdeka dan Kampus Berdampak yang kini digaungkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam laporan resmi Ditjen Diktiristek (2023), disebutkan bahwa pengabdian kepada masyarakat yang kolaboratif dan berbasis kebutuhan lokal merupakan indikator utama kampus yang berdampak. UNISKA menyambut seruan ini dengan pendekatan khas: pendidikan yang membumi, religius, dan menyentuh akar sosial.

Dalam pandangan kami, pengabdian bukan pelengkap Tri Dharma, melainkan jantung dari kehidupan akademik. Ketika dosen dan mahasiswa keluar dari ruang kuliah dan menyatu dengan kehidupan desa, di situlah proses pendidikan sejati berlangsung—proses yang membentuk kepekaan, tanggung jawab sosial, dan pemahaman yang lebih dalam tentang realitas.

Lebih dari itu, pendekatan ini juga mencerminkan nilai-nilai keislaman yang menjadi fondasi UNISKA. Islam menempatkan ilmu sebagai cahaya dan amal sebagai penggeraknya. Dalam Al-Qur’an, terdapat perintah untuk iqra’ (membaca) yang diikuti dengan perintah fa’mal (berbuat). Artinya, ilmu tidak berhenti di kepala, tapi harus hidup dalam tindakan yang bermanfaat bagi sesama. Prinsip ini menjadi napas dalam setiap pengabdian yang kami lakukan.

Program ini juga menjadi ajang pembelajaran dua arah. Masyarakat belajar dari kami, dan kami belajar dari masyarakat. Seperti diungkapkan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, “There is no teaching without learning, and no learning without teaching.” Pendekatan dialogis ini membuat proses pengabdian menjadi setara, saling memperkaya, dan tidak didominasi oleh satu pihak.

Pada akhirnya, keberhasilan pengabdian tidak diukur dari laporan akhir atau jumlah peserta pelatihan, tetapi dari sejauh mana kampus berhasil menumbuhkan harapan dan memantik perubahan. Di Desa Semangat Dalam, harapan itu sudah mulai tumbuh. Dari ruang kelas sederhana, dari ibu-ibu yang kini percaya diri mendampingi anak-anaknya belajar, dan dari suasana sekolah yang mulai terasa sebagai bagian dari rumah masyarakat.

Inilah wajah UNISKA sebagai kampus berdampak: kampus yang datang bukan membawa ceramah, tetapi membawa harapan. Kampus yang hadir bukan hanya sebagai institusi, tetapi sebagai sahabat yang tumbuh bersama masyarakat.

Masa Depan Pendidikan Dimulai dari Hal Sederhana

Tidak semua perubahan dimulai dari kebijakan besar. Banyak perubahan bermakna justru lahir dari langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama, dengan hati yang terbuka dan niat yang tulus. Itulah yang kami rasakan selama menjalankan program Kader Peduli Pendidikan di Desa Semangat Dalam. Apa yang kami lakukan bukan revolusi pendidikan, bukan pula inovasi spektakuler. Tapi ketika orang tua mulai merasa penting dalam dunia belajar anaknya, ketika guru merasa tidak lagi sendiri, dan ketika anak-anak datang ke sekolah dengan semangat baru—di sanalah kami yakin bahwa pengabdian ini telah berdampak.

Dalam konteks pendidikan nasional yang kompleks, keterlibatan orang tua sering kali luput dari perhatian. Padahal, seperti diungkapkan oleh Fan & Chen (2001) dalam jurnal Educational Psychology Review, keterlibatan orang tua secara konsisten memiliki pengaruh positif terhadap pencapaian akademik anak di semua jenjang pendidikan. Bahkan dalam masyarakat dengan latar belakang pendidikan rendah sekalipun, ketika orang tua diberi ruang, kesempatan, dan rasa percaya diri, mereka bisa menjadi penggerak perubahan yang luar biasa.

Kami percaya bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tumbuh dari bawah. Bukan hanya dari kurikulum pusat atau reformasi sistem, tetapi dari komunitas yang sadar akan peran kolektifnya. Ketika keluarga dan sekolah tidak lagi berdiri sendiri-sendiri, tetapi berjalan beriringan, maka anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang utuh—tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga sehat secara emosional dan sosial.

Apa yang terjadi di Desa Semangat Dalam menunjukkan bahwa budaya gotong royong, kepedulian sosial, dan nilai keagamaan yang hidup dalam masyarakat pedesaan adalah modal sosial yang kuat untuk mendukung pendidikan. Kami tidak menciptakan kader dari nol, kami hanya menyentuh yang sudah ada. Potensi itu sudah hidup dalam komunitas, tinggal diarahkan, diperkuat, dan dijalin dalam kerangka kolaboratif.

Sebagai insan akademik dari UNISKA, kami bangga bahwa program ini bukan hanya menjawab kewajiban Tri Dharma, tetapi juga menjadi cermin dari cita-cita besar kampus kami untuk menjadi perguruan tinggi yang unggul, berlandaskan nilai keislaman, dan berkontribusi nyata di tengah masyarakat. Kami percaya bahwa ilmu yang tidak ditanamkan dalam kehidupan nyata akan kehilangan maknanya. Justru ketika ilmu dipadukan dengan empati, disampaikan dengan rendah hati, dan dijalankan dalam semangat kolaborasi, di situlah ia menjadi terang.

Menutup program ini, kami tidak ingin menyampaikan kesimpulan, melainkan mengajak semua pihak untuk ikut bergerak. Jika setiap desa membangun kemitraan antara sekolah dan orang tua, jika setiap guru memberi ruang partisipasi kepada masyarakat, dan jika setiap kampus turun tangan menjembatani proses ini, maka kita tidak hanya membenahi pendidikan—kita membangun peradaban. Dari hal sederhana, kita mulai. Dari desa kecil, kita tumbuhkan harapan besar. Dan dari kampus yang hadir dengan hati, kita pulihkan masa depan pendidikan Indonesia.

“Kita mungkin tak bisa selalu membentuk masa depan generasi muda, tetapi melalui budaya peduli dan kebersamaan, kita bisa membentuk generasi muda yang siap menghadapi masa depan.” (Madihah, Susanto, & Rico, 2025)

Iklan
Iklan