Oleh : AHMAD BARJIE B
Allah SWT berjanji bahwa kejayaan akan dipergilirkan di antara golongan umat, baik muslim maupun nonmuslim. Kerajaan Parsi pernah berjaya di era Darius, Syrus dan Dinasti Sasanid. Kekaisaran Romawi pernah berjaya di era Julius Caesar, Constantynus dan Heraklius. Umat Islam di masa Rasulullah, sahabat dan kekhalifahan sesudahnya juga pernah mendapatkan kejayaan tersebut, sehingga dua negara adidaya kala itu (Romawi dan Parsi) dapat ditaklukkan.
Kini kembali giliran umat Islam terpuruk, dan yang menjadi negara adidaya adalah AS cs dengan segala arogansinya. Hampir semua negara Islam berada di bawah pengaruh dan dominasi AS, dari yang didekati dengan standar ganda seperti negara-negara Arab Timur Tengah dan Indonesia, sampai pada yang diperangi secara frontal seperti dialami Afghanistan, Irak, Iran dan sebagainya.
Sampai kapankah AS akan terus mendominasi dunia, tidak ada jawaban pasti. Walau almarhum Uday (putra Saddam Hussein) dalam tesis magisternya meramalkan AS akan jatuh tahun 20l5, namun angka itu masih belum terbukti. Sebab AS selalu mengantisipasi setiap potensi yang akan merongrongnya di masa depan. Tidak ada satu negara pun yang boleh punya persenjataan sekuat AS. Iran yang mulai memperkaya uranium pun langsung dicurigai dan diserang, langsung maupun lewat anaknya Israel. Potensi bahaya sekecil apapun sudah dicegah sejak awal. Ibarat era Firaun menjelang lahirnya Musa, ia selalu membunuh setiap bayi laki-laki Bani Israil karena diramalkan akan menggoyang kerajaannya.
Bila dikaji sejarah, kejayaan Islam diperoleh benar-benar melalui kerja keras. Tidak sekedar mohon doa, unjukrasa, menunggu Imam Mahdi, atau menunggu rezeki dari langit. Dengan segala ketabahan dan pengorbanan, segenap umat Islam berjuang secara nyata. Dan yang sangat diutamakan kala itu adalah persatuan, sehingga banyak ayat dan hadits memberi ancaman berat baik di dunia maupun akhirat, bagi siapa saja yang memisahkan dari kesatuan Islam.
Karena itu bila ke depan, umat ini ingin kembali maju dan jaya, salah satu kuncinya adalah kesatuan dan soliditas yang mantap. Kebangkitan umat ini tidak akan lahir hanya dengan menjadikan momentum abad l5 hijriah sebagai abad kebangkitan Islam, tanpa usaha ke sana. Nabi dan sahabat untuk bangkit tidak menggunakan momentum, melainkan usaha gigih, baik di tingkat wacana maupun jihad nyata.
Umat muslim di dunia dan Indonesia suka sekali membuat momentum, tapi tidak berbuat nyata untuk mengisi momentum tersebut. Tidak tampaknya kebangkitan Islam yang dicanangkan sejak awal abad ke-l5 H lalu, dan gagalnya reformasi sejak l998 adalah salah satu contoh tidak seriusnya usaha dalam menyukseskan momentum.
Bila diteliti kondisi umat di tanah air, tampak soliditasnya masih rapuh. Masih terdapat banyak partai Islam dan bernuansa Islam yang tidak kunjung bersatu karena menonjolkan egonya masing-masing. Dan aliran-aliran kegamaan pun tetap bertahan dan ramai bermunculan dengan segala eksklusivitasnya, sehingga umat Islam yang sebenarnya satu ini terlihat berwarna warni dan bercerai berai. Akibatnya kemampuannya untuk memberdayakan diri masih lemah dan kurang berwibawa di mata orang. Hamas, Houthi, Hizbullah dan Iran yang berani melawan Israel dan Amerika pun tidak didukung, bahkan ada saja yang mencurigai dan menyalahkan.
Organisasi-organisasi Islam masih belum mampu membawa umat ke arah eksistensi yang dikehendaki. Di tengah beratnya tantangan umat sekarang, baik internal maupun ekstenal, kedua organisasi ini mestinya berada di depan dalam membela dan mencarikan solusinya secara adil. Tanpa mengenyampingkan organisasi keislaman lainnya, harus diakui NU dan Muhammadiyah masih yang terbesar. Karena itu soliditas, sinergisme atau sebaliknya konflik keduanya akan banyak pengaruhnya terhadap kondisi , keutuhan dan kewibawaan umat ke dalam dan ke luar.
Saat keduanya bergandeng tangan kekuatan umat Islam Indonesia akan terlihat besar. Ini tampak misalnya saat perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, di mana kedua organisasi selain aktif membangun bangsa lewat pendidikan, juga gigih mengkaderkan para pemuda pejuang lapangan dan diplomasi. Tapi saat keduanya mempertajam nuansa konflik akibat masalah-masalah khilafiyah, meski sebatas wacana dan bukan konflik fisik, soliditas dan wibawa umat pun menjadi berkurang.