Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kala Anak Prasejahtera Menyambut Sekolah Rakyat

×

Kala Anak Prasejahtera Menyambut Sekolah Rakyat

Sebarkan artikel ini

Oleh : M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Pemerhati Pendidikan

Tidak ada sikap yang mencolok dan tingkah berlebihan ketika ratusan anak dari keluarga prasejahtera di Jakarta seketika memadati ruang kelas berlantai keramik yang mengilap di Pusdiklat Kesos milik Kementerian Sosial di Gandaria Selatan, Jakarta Selatan.

Kalimantan Post

“Gerombolan” remaja ABG itu tertib, dan seolah mengabaikan aroma menyengat dari cat dinding yang belum lama mengering dan lem meja belajar yang masih baru.

Kedatangan mereka bukan untuk mengikuti karyawisata, melainkan mengenal lebih dekat sejumlah bangunan megah yang akan menjadi rumah, dan ruang belajar bagi mereka sebagai calon siswa Sekolah Rakyat Berasrama, selama tiga tahun ke depan.

Pengenalan ini dilakukan calon siswa dalam rangkaian mengikuti sosialisasi program Sekolah Rakyat Berasrama tahap-1 yang dipimpin langsung oleh Menteri Sosial Syaifullah Yusuf, Rabu (25/6).

Di tengah tawa kecil dan langkah penuh rasa ingin tahu, para calon siswa berkeliling menengok ruang kelas, menyusuri lorong asrama, membuka lemari yang masih kosong, dan mencicipi duduk di kursi makan yang tertata rapi.

Mereka mengenakan pakaian kasual terbaik yang dimiliki. Ada yang mengenakan kaus sablon bertuliskan merek lokal hits, celana kargo oversize, sepatu sneakers putih menyala, hingga hoodie motif abstrak yang sering muncul di akun TikTok remaja ibukota.

Mayoritas menganggap ini merupakan pengalaman pertama melihat sekolah berasrama dengan fasilitas sekelas hotel bintang tiga. Sebagian hanya bisa terdiam, lainnya saling tatap, seolah tak percaya tempat seperti itu terbuka bagi mereka.

Seperti halnya Windi, gadis 15 tahun yang tinggal bersama orang tuanya di sebuah rumah sempit di lorong belakang kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Ia baru saja lulus dari SMP Negeri 226 Pangkalan Jati, dan hari itu adalah pertama kalinya sebagai calon siswa Sekolah Rakyat tingkat SMA, melihat sendiri fasilitas yang kelak mengubah hidupnya.

Ia berdiri terpaku di depan ruang kelas, menggenggam tas kecil berwarna hitam dengan sentuhan warna emas, satu-satunya tas yang telah menemaninya sejak duduk di kelas delapan.

Matanya menyapu ruangan, menatap deretan meja baru yang masih kosong. Di balik sikap tenangnya, terpancar karakter khas generasi alfa yang percaya diri, intuitif, dan terbuka pada teknologi.

Windi bukan anak yang banyak bicara, tapi ia menyimpan ketekunan. Ia senang membaca artikel pelajaran dari gawainya, menyimpan catatan soal manajemen dan pengembangan diri, dan belakangan ia memantapkan diri pada satu cita-cita menjadi direktur utama perusahaan.

Keinginan itu muncul bukan karena melihat tokoh di televisi atau konten media sosial, melainkan setelah mendengar cerita dari pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial tentang pemimpin yang bisa membuka lapangan kerja.

“Aku ingin jadi CEO, punya perusahaan sendiri. Biar bisa bantu banyak orang, termasuk keluarga,” kata dia dengan suara lembutnya.

Ayahnya, Toyib (55), berdiri di belakangnya. Separuh hidupnya ia habiskan sebagai sopir bus AKAP lintas Sumatera-Jawa, tidur di kursi kabin dan makan sekenanya di terminal. Kini, setelah tak kuat menyetir jauh, ia bekerja serabutan membuat interior rumah tangga dari kayu. Baginya tidak ada rasa minder meski pekerjaan ini pendapatannya sekadar cukup.

Baca Juga :  Sekolah Rakyat : Solusi Atau Sekedar Janji Politik?

Pria bersuara serak itu pun mendadak tertegun ketika mendengar gadis bungsunya yang kalem bagai seorang Raden Ayu pada lingkungan Keraton Jawa itu, memendam cita-cita jadi pemimpin perusahaan.

Hal itu adalah sebuah ungkapan hati dari sang buah hati yang belum pernah ia didengar sebelumnya. Ia berseloroh ketiga anaknya memang lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibunya, karena sebagai kepala keluarga ia harus mencari nafkah.

“Sebagai penerima manfaat PKH pastilah kami bersyukur, dan sama sekali tidak ada keraguan baik dari saya maupun ibunya menitipkan anak untuk di didik, dijadikan orang di sekolah ini,” kata Toyib

Dia menilai sekolah rakyat merupakan sebuah jawaban nyata dari Presiden Prabowo Subianto, dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka yang dibantu para menteri untuk memberikan kesempatan bagi anak dari keluarga berperekonomian rendah mengenyam pendidikan ketika semua biaya hidup serba mahal.

“Mulia sekali. Ini adalah keadilan. Semoga manfaatnya bisa terus dirasakan lebih banyak keluarga dan tidak ada praktik tercela yang menciderai kepercayaan publik,” katanya serius sembari melentingkan telunjuknya.

Bergeser ke ruang kelas di lantai dua gedung, Farel Ramadhan (15) tampak khusuk menyimak penjelasan dari pendamping PKH. Dia merupakan anak dari pasangan pengemudi ojek daring dan ibu rumah tangga.

Berbakti kepada orang tua baginya adalah suatu keharusan. Itu dibuktikan sejak kecil Farel sudah terbiasa mencuci pakaian sendiri, menjaga adiknya, dan membantu ibunya memasak ketika sedang sakit.

Farel adalah satu-satunya siswa MTs 22 Jakarta Timur yang lolos melanjutkan pendidikan menjadi calon siswa Sekolah Rakyat di Pusdiklat Kementerian Sosial ini.

Berbekal dukungan doa restu dari sang ayah dan bunda, ia optimistis cita-citanya menjadi pengembang bidang teknologi bisa tercapai, memanfaatkan segenap manfaat di bakal sekolah barunya.

“Saya bangga, saya siap, mau bantu orang tua jangan capek-capek kerja kasar. Cita -cita saya ini mahal ilmunya jadi hanya bisa didapatkan lewat pendidikan untuk mewujudkan semua harapan keluarga,” kata Farel yang gemar berolahraga ini.

Petugas memeriksa sebuah ruang kelas Sekolah Rakyat Berasrama tahap-1 di Pusdiklat Kesos milik Kementerian Sosial di Gandaria Selatan, Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (25/6/2025) (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo

Meski seluruh fasilitas Sekolah Rakyat sudah siap, kegiatan belajar baru akan dimulai pertengahan Juli 2025. Hari itu, anak-anak hanya dikenalkan pada lingkungan sekolah, mencium aroma kasur bersprey baru, dan mencoba duduk di ruang makan yang megah.

Di salah satu kamar asrama pria, beberapa anak pria tampak saling berbisik sambil menepuk kasur. “Ini benar kayak hotel ya,” celetuk seorang anak, disambut tawa kecil rekan di sebelahnya.

Menteri Saifullah berdiri di depan aula yang dipenuhi wajah-wajah muda penuh harapan. Tak ada podium tinggi, hanya sebuah mikrofon dan barisan kursi lipat. Ia menyampaikan bahwa pemerintah selalu berjuang mencerahkan masa depan anak-anak yang sering terpinggirkan.

Ia menyebut Sekolah Rakyat sebagai ikhtiar Presiden Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka untuk meretas ketimpangan antargenerasi. Menurutnya, membiarkan anak-anak tumbuh tanpa akses pendidikan yang layak sama saja membiarkan kemiskinan menjadi warisan.

Baca Juga :  DPR DAN DEMO, REALITA RAKYAT YANG TERLUKA

Sekolah Rakyat Berasrama tahap-1 di Jakarta ini tersebar tiga lokasi. Selain Pusdiklat, juga ada Sentra Mulyajaya dan Sentra Handayani. Masing-masing gedung Kementerian Sosial itu akan menampung 100 siswa yang tinggal dan belajar secara penuh selama tiga tahun, tanpa pungutan biaya apapun.

Sekolah ini memang dirancang setara dengan sekolah swasta modern. Ada kamar tidur bersih, ruang kelas ber-AC, perpustakaan, laboratorium, ruang makan, dan lingkungan yang aman. Mereka tidak hanya akan belajar akademik, tapi juga keterampilan hidup, pendampingan spiritual, dan pembentukan karakter.

Bagi Saifullah, kesuksesan Sekolah Rakyat tidak diukur dari nilai ujian, melainkan dari seberapa jauh hidup para siswa berubah. Ia membayangkan suatu hari ada anak dari sekolah ini yang berdiri di podium wisuda universitas, memegang ijazah, dan tahu bahwa mereka tak lagi dikungkung oleh nasib lama.

Ia meminta para guru dan pendamping memperlakukan anak-anak ini bukan dengan rasa sedih, tapi penghormatan karena mereka bukan penerima belas kasih, tapi pewaris masa depan yang berhak mendapat kesempatan.

Dibalik itu semua tersimpan proses seleksi siswa dilakukan secara ketat oleh para tenaga pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial.

Imam, seorang pendamping PKH di Jakarta Selatan, menyebut hanya 11 anak yang terjaring dari 10 kecamatan. Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) merupakan basis utama untuk menyaring calon siswa Sekolah Rakyat.

Setelah data terverifikasi dan dipastikan merupakan keluarga yang berada pada DSIL-1, tim pendamping melakukan juga kunjungan ke rumah-rumah calon siswa, melakukan wawancara mendalam, dan penilaian psikososial.

“Banyak orang tua awalnya ragu, khawatir melepas anak tinggal di asrama,” kata Imam. Hal ini sekaligus salah satu alasan bagi sejumlah orang tua bahkan menolak anaknya untuk bersekolah di Sekolah Rakyat.

Padahal dalam banyak kesempatan sudah dijelaskan oleh para pendamping bahwa fasilitas yang disediakan sangat mumpuni, seperti asrama yang terpisah antara siswa putra dan putri, ruang makan yang berbeda dan dalam pengawasan penuh petugas Kementerian Sosial.

Bahkan sebagaimana arahan Menteri Sosial, orang tua bisa kapan saja menjenguk anak mereka ke asrama bila memang tak bisa menahan rindu, hanya saja harus di luar aktivitas belajar-mengajar.

“Ya, memang ada yang ragu tapi gak masalah itu pilihan sebenarnya. Ini terjadi karena di Jakarta banyak program meringankan, seperti KIP atau KJP dari provinsi jadi tidak terlalu masalah, pendidikan anak-anak tetap terjamin,” kata dia.

Tidak hanya Jakarta, Program Sekolah Rakyat tahap pertama ini dirancang untuk menjangkau 100 lokasi di seluruh Indonesia dari ujung barat Aceh hingga timur Jayapura.

Pada tahap ini, program cepat pemerintah itu akan menampung 9.755 siswa, dibantu 1.554 guru dan 3.990 tenaga pendidikan.

Sekolah Rakyat memang tak menjanjikan masa depan dalam sekejap, tapi ia menyalakan lentera kecil dalam rumah-rumah yang gelap.

Bagi Windi, Farel, dan ratusan anak calon siswa lainnya di Jakarta, lentera itu cukup untuk menerangi jalan setapak menuju cita-cita dan harapan mengubah nasib keluarga lewat jalur pendidikan yang bermartabat.

Iklan
Iklan