Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Perundungan Anak Terus Berulang, Bukti Kegagalan Sistem Sekuler

×

Perundungan Anak Terus Berulang, Bukti Kegagalan Sistem Sekuler

Sebarkan artikel ini

Oleh: Risna Ummu Zoya
Aktivis Muslimah Kal-sel

Kasus perundungan anak kembali mencuat ke publik, menambah deretan bukti bahwa perlindungan terhadap generasi penerus bangsa masih sebatas ilusi dalam sistem sekuler hari ini. Di tengah maraknya slogan perlindungan anak, realitanya kekerasan fisik dan psikis terhadap anak terus berulang tanpa penyelesaian yang tegas dan tuntas. Fakta terbaru menunjukkan betapa lemahnya sistem perlindungan anak di negeri ini. 

Kalimantan Post

Seperti diberitakan Kompas pada 10 Juni 2025, seorang siswa SMP di Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat mengalami perundungan oleh rekan-rekannya yang berjumlah enam orang. Dalam video yang viral, korban dipukuli dan ditendang secara bergiliran oleh teman sebayanya, bahkan sempat diancam dengan obeng. Tindakan ini berlangsung di lingkungan sekolah dan terekam sangat jelas. Walau polisi sempat melakukan mediasi, pelaku bahkan mengulangi perbuatannya karena tidak terima dengan sanski wajib lapor. Hal ini menunjukkan bahwa respon aparat dan institusi sekolah terbukti kurang tegas, bahkan perundungan bisa diulang di belakang layar mediasi resmi.

Tak berselang lama, perundungan serupa terjadi di Ciparay, Kabupaten Bandung, seperti di lansir CNN Indonesia pada 26 Juni 2025. Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dipaksa meminum tuak, dipukuli, lalu diceburkan ke sumur oleh beberapa pelaku yang berusia 12 dan 13 tahun, bahkan melibatkan seorang pelaku dewasa berusia 20 tahun. Insiden ini baru mendapat perhatian serius setelah video kejadiannya viral di media sosial, sebelumnya aparat dan lembaga terkait nyaris tak bergerak. 

Fakta ini juga menunjukkan bahwa sistem perlindungan anak yang berjalan saat ini hanya reaktif, bergantung pada tekanan publik, dan tidak memiliki mekanisme pencegahan yang kuat. Dengan bertambahnya kasus perundungan setiap tahunnya makin memperlihatkan betapa fenomena ini tak ubahnya gunung es, yang terlihat di permukaan hanya sebagian kecil. Sementara potensi kasus serupa jauh lebih besar dan mengkhawatirkan. 

Baca Juga :  Anak Tidak Sekolah

Fenomena ini jelas menunjukkan rapuhnya sistem perlindungan anak yang selama ini digaungkan. Regulasi dan program pencegahan yang ada ternyata gagal mencegah perilaku perundungan, apalagi memberikan efek jera. Bahkan, definisi anak dalam sistem saat ini cenderung bias. Di satu sisi anak dianggap belum dewasa sehingga sulit diberi sanksi tegas, namun di sisi lain mereka sudah terpapar lingkungan yang rusak, termasuk pergaulan bebas, miras, hingga kekerasan. Tak kalah penting, kegagalan sistem pendidikan hari ini juga turut andil besar. Sistem pendidikan sekuler yang minim muatan moral dan akhlak Islam, justru menghasilkan generasi yang terjebak dalam krisis identitas dan kehilangan arah.

Jika ditelusuri lebih dalam, akar persoalan ini adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini hanya fokus pada keuntungan materi, sementara pembentukan karakter, kepribadian, dan akhlak generasi terabaikan. Selama paradigma hidup masyarakat diatur oleh aturan buatan manusia yang rapuh ini, perundungan, kekerasan, dan kerusakan moral akan terus berulang. Maka, solusinya bukan sekadar menambah aturan atau memperberat hukuman, tetapi membutuhkan perubahan total pada sistem kehidupan yang diterapkan negara.

Islam memiliki pandangan yang tegas tentang perundungan, baik secara verbal maupun fisik, adalah perbuatan yang haram. Apalagi jika disertai dengan penggunaan barang haram seperti miras, ini adalah pelanggaran besar dalam syariat Islam. Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya di hadapan Allah SWT. Dalam Islam, batas usia tanggung jawab syar’i adalah saat seseorang mencapai baligh, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW. 

Oleh karena itu, Islam mewajibkan sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, yang membekali anak-anak sejak kecil agar siap menjadi pribadi bertanggung jawab saat mereka mencapai usia baligh. Pendidikan ini bukan hanya tanggung jawab keluarga, tapi juga masyarakat, dan negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam merancang kurikulum pendidikan di seluruh level.

Baca Juga :  Program Swasembada Pangan: Janji Manis atau Bukti Nyata?

Negara dalam sistem Islam bahkan mengatur kurikulum pendidikan keluarga, agar orang tua mampu mendidik anak sesuai kepribadian Islam. Sistem informasi publik pun diarahkan untuk memperkuat nilai-nilai Islam, bukan justru mempromosikan budaya bebas yang merusak. Sistem sanksi dalam Islam juga menjadi pilar penegakan keadilan, sekaligus menjaga arah pendidikan generasi. Dengan demikian, hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah lahir generasi yang berkepribadian Islam, yang paham tanggung jawabnya, menjauhi perundungan, dan mampu menjadi bagian dari peradaban yang bermartabat.

Iklan
Iklan