oleh: Noorhalis Majid
MEMBICARAKAN demokrasi, seperti tidak ada habisnya. Semua tahu, demokrasi bukan barang sempurna. Demokrasi menyimpan banyak kelemahan. Bahkan banyak ahli berpendapat, demokrasi sudah cacat sejak dilahirkan. Dia hanya adil dari sisi kuantitas dan prosedur, namun tidak akan pernah adil secara kualitas dan substansi.
Seorang yang tidak pernah berpikir tentang arti penting memilih, dengan mudah menjual suaranya kepada yang mau membayar. Sementara yang sadar akan hak pilih, tidak mau menyia-nyiakan suara, akan berpikir keras dalam menyalurkan hak suaranya. Antara yang berpikir dan tidak berpikir, suaranya secara kuantitas dan prosedur, sama-sama bernilai satu suara. Sebab itu, kebodohan dan kemiskinan, menjadi lahan subur untuk memanipulasi demokrasi. Pada situasi kondisi warga rendah pendidikan dan kesadaran, ditambah miskin dan kesulitan ekonomi, demokrasi akan dibajak menggunakan money politik, akhirnya hanya yang berduitlah didukung, sementara yang tidak mau dan tidak mampu melakukan money politik, tidak akan pernah mendapat tempat dalam perhelatan demokrasi.
Berdasarkan substansi demokrasi itulah kami semua duduk lesehan melingkar di ruang Gramedia Veteran, mendiskusikan buku yang ditulis Dr Mohammad Effendy SH MH, berjudul Demokrasi di Atas Kapal Karam.
Dr Mohammad Effendy SH MH, seorang akademisi dan pernah menjadi komisioner KPUD Kalimantan Selatan, sekarang aktif di satu forum yang keritis menyoroti demokrasi, yaitu Ambin Demokrasi, rutin memperbincangkan berbagai fenomena dan praktik demokrasi. Melalui bukunya tersebut, yang berisi 52 tema artikel, ia mengilustrasikan keadaan demokrasi di Indonesia, seperti berada di atas kapal karam. Maksudnya, sebagus apapun aturannya, sebaik dan semumpuni apapun penyelenggaranya, ketika berada di atas kapal karam, semuanya menjadi panik, kalangkabut dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Apalagi ketika aturannya dimanipulasi, integritas penyelenggaranya payah dan meragukan, prosesnya disimpangkan sedemikian rupa. Bila kemudian segala aturan dan integritas penyelenggara dibeli, dibajak untuk tujuan tertentu, semakin kusutlah persoalan. Dan akhirnya demokrasi hanya memprioritaskan para penumpang utama, yaitu para elit oligarki yang bisa membayar segalanya agar bisa selamat di atas kapal karam.
Ilustrasi tentang demokrasi laksana berada di atas kapal karam ini, mendapat tanggapan yang sangat menarik dari peserta diskusi yang hadir. IBG Dharma Putra, seorang yang sarat pengalaman birokrasi. Berkomentar, kalau memang keadaannya seperti itu, lantas kenapa kita masih ngotot dengan demokrasi? Kalau demokrasi mudah dimanipulasi, mudah dibajak untuk kelompok tertentu dan hanya dikhususkan untuk memanjakan kelompok tertentu, kenapa demokrasi dipertahankan? Jangan-jangan ada sistem yang lebih oke ketimbang demokrasi? Kalau benar ada, kenapa tidak dicoba? Toh tujuan bernegara ini bukan untuk demokrasi, tapi untuk kesejahteraan dan kenyamanan bagi seluruh warga, yang berarti mengutamakan keadilan bagi semuanya. Demokrasi hanyalah cara untuk mewujudkan kesejahteraan, bukan tujuan.
Karena tetap mempertahankan demokrasi, wajar saja semua teori dan prosedur yang bagus-bagus menyangkut sistem demokrasi, dan terbukti praktiknya berjalan baik di negara lain, setelah diterapkan di Indonesia, kenapa justru kemudian menjadi buruk dan mudah dimanipulasi? Kenapa tidak mencoba sistem lain? Mungkin ada sistem yang membuat seluruh warga menjadi sejahtera? kata IBG Dharma Putra dengan penuh semangat.
Fahrianoor, Doktor komunikasi politik dari Fisip ULM, memberikan pendapat bahwa buku yang ditulis Mohammad Effendy, telah membantu memaparkan secara gamblang tentang praktik demokrasi yang berbeda dengan teori-teori di bangku-bangku kuliah, karena berangkat dari realita dan ternyata segala teori yang bagus tentang demokrasi tersebut, yang diajarkan dengan gagah di bangku kuliah, instrumen dan perangkatnya tidak cukup siap dalam memajukan demokrasi, apalagi untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Terutama menyangkut institusi demokrasi, dimana sebagian dari institusi yang semestinya bekerja mengawal dan menjalankan demokrasi, nyatanya korup dan sangat bermasalah.
Dengan segala keburukan situasi demokrasi, dengan segala persoalan yang begitu masif, kenapa Bapak Mohammad Effendy masih bisa santun dalam memberikan kritik? Mestinya dengan keadaan yang begitu buruk seperti ini, kemarahan bapak tergambar secara lugas dalam tulisan-tulisan ini. Buku ini menurut saya terlalu santun dalam mengkritik, padahal situasinya sangat mengecewakan, kata Naufal Lisna Reisya yang didaulat sebagai pemantik mewakili anak muda.
Sentilan Naufal Lisna Reisya seperti mewakili banyak anak muda yang tidak peduli demokrasi, dengan asumsi, toh siapa pun yang terpilih, hasilnya biasa saja, tidak ada perubahan yang lebih bermakna. Karena partai dan para politisi, juga tidak pernah memperbaiki kualitasnya, ketika sudah terpilih, tidak mampu menjalankan amanah tugasnya dengan baik. Sebab itu, kritik para akademisi dan pengamat seperti Mohammad Effendy, mestinya lebih lantang, agar tumbuh kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan untuk memperbaiki demokrasi.
Lain lagi dengan Dr Ratna Sari Dewi, seorang jurnalis yang baru saja meraih gelar Doktor ilmu komunikasi. Dia berpendapat, uraian yang disampaikan Mohammad Effendy memperlihatkan perasana beliau yang nyesek, terasa ada perasaan sangkal dalam hati. Hal tersebut juga tergambar dari judul pertama tulisan dari buku ini, bertema Independensi Penyelenggara Pemilu di Tengah Arus Besar Kekuasaan, seolah menegaskan bahwa biang segala persoalan demokrasi yang buruk ini, berasal dari sumber daya manusianya, yaitu penyelenggara pemilu. Seandainya penyelenggara pemilu berintegritas dan tidak tunduk pada kuasa modal, pastilah demokrasi, khususnya pemilu, masih bisa dikawal dengan baik. Pastilah Pemilu bisa dibenahi secara bertahap dan akhirnya terpilih pemimpin yang dapat menata bangsa ini dengan lebih baik dan adil.
Semua yang hadir dan memberikan pendapat, sepertinya sepakat bahwa demokrasi di Indonesia berjalan begitu buruk. Benar ada peraturan dan institusi demokrasi, namun semuanya tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Segalanya dengan mudah dimanipulasi, dipalsukan, dikacaukan untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk membangun kesejahteraan bersama.
Dalam situasi seperti ini, semua orang seperti berebut membajak demokrasi di atas kapal karam. Dan yang berhasil membajak, adalah yang mampu membeli segalanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya.
Diskusi-diskusi kecil menyangkut demokrasi dan memperbincangkan berbagai situasi negeri secara kritis seperti ini, bertujuan untuk memperbaiki kapal karam. Mungkin situasinya begitu sulit dan dilematis, namun jangan pernah berputus asa. Perubahan besar menyangkut demokrasi dan politik yang ada di dunia ini, termasuk segala bentuk revolusi dan reformasi di berbagai negara, dimulai dari diskusi-diskusi kecil yang mewadahi segala kegelisahan warga, yang kemudian berubah menjadi gerakan masyarakat sipil.
Sekiranya banyak kelompok diskusi tumbuh di tengah masyarakat, terutama di kampus-kasmpus, maka secara perlahan akan lahir kesadaran untuk memperbaiki keadaan, dan tidak mustahil demokrasi dapat dipulihkan, sebagaimana harapan para pendiri bangsa ketika memilih demokrasi sebagai suatu cara dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. (nm)