Oleh : Dyah Febria Wardhani
Pemerhati Pendidikan Kalimantan Selatan
Impian besar Indonesia Emas 2045 sebagai negara maju dan sejahtera tak akan terwujud tanpa pondasi keuangan negara yang kokoh. Ketahanan fiskal bukan sekadar urusan kas negara, melainkan jantung kemandirian ekonomi, penopang kesejahteraan sosial, dan kunci daya saing global kita.
Di tengah pusaran dinamika global yang tak menentu mulai dari gejolak geopolitik, disrupsi teknologi, hingga tantangan domestik seperti pembangunan infrastruktur dan pemanfaatan bonus demografi sehingga Indonesia wajib bergerak adaptif. Kuncinya? Peningkatan penerimaan negara dan efisiensi belanja. Sayangnya, kita masih berjibaku dengan rendahnya rasio pajak dan kepatuhan wajib pajak. Nah, di sinilah letak kuncinya: sinergi antara transformasi digital sistem penerimaan negara dan kontribusi strategis sektor pendidikan.
Era Baru Penerimaan Negara
Mari kita kilas balik sejenak. Dulu, sistem penerimaan negara kita ibarat labirin birokrasi, penuh kertas dan inefisiensi. Ruang manipulasi data dan praktik korupsi menganga lebar karena minimnya integrasi dan transparansi. Namun, terbitlah fajar digitalisasi, mengubah segalanya. Inovasi seperti e-filing dan e-billing bak sulap, menyederhanakan pelaporan dan pembayaran pajak, mempercepat layanan, sekaligus menekan biaya administrasi. Tak hanya itu, penerapan big data dan kecerdasan buatan (AI) seperti mata elang, mampu menganalisis data lintas sektor untuk menemukan potensi penerimaan baru, membongkar pola penghindaran pajak, dan meningkatkan akurasi pengawasan. Kolaborasi antar-instansi dan integrasi sistem pun semakin memantapkan transparansi dan efektivitas pemungutan. Hasilnya? Digitalisasi mendorong peningkatan kepatuhan, mempercepat deteksi pelanggaran, dan yang terpenting adalah membangun kembali kepercayaan publik terhadap sistem keuangan negara.
Pondasi Kesadaran
Sebagus apapun teknologi digital yang kita terapkan, keberhasilannya akan hampa tanpa kesiapan dan pemahaman masyarakat. Disinilah pendidikan mengambil peran sentral. Literasi fiskal yang baik tak hanya membuat masyarakat paham bahwa pajak bukan sekadar beban, melainkan kontribusi kolektif yang membiayai segala layanan public mulai dari jalan raya, sekolah, hingga rumah sakit. Kesadaran ini menumbuhkan rasa memiliki dan partisipasi aktif dalam pengawasan kebijakan. Sebaliknya, minimnya pemahaman bisa berujung pada ketidakpatuhan, persepsi negatif, dan kesalahan pelaporan. Lebih jauh, ini bisa menghambat keterlibatan masyarakat dan membuka pintu bagi hilangnya informasi.
Pendidikan bertindak sebagai katalisator perubahan perilaku fiskal melalui tiga pilar utama:
- Pendidikan Formal: Materi pengetahuan perpajakan dan literasi keuangan harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, mulai dari jenjang dasar hingga menengah. Tujuannya sederhana yaitu menanamkan pemahaman awal tentang peran dan fungsi pajak sejak dini.
- Pendidikan Non-Formal: Sosialisasi, kampanye publik, seminar, dan media massa menjadi jembatan untuk memperluas kesadaran pajak di masyarakat luas, meluruskan persepsi yang keliru, dan menyediakan informasi praktis yang mudah dicerna.
- Perguruan Tinggi: Kampus memegang peran strategis dalam pengembangan riset kebijakan fiskal, penyusunan kurikulum yang relevan dan update, serta pengabdian masyarakat sebagai sarana edukasi dan pendampingan langsung. Hal ini akan memperkuat ekosistem literasi fiskal nasional kita.
Sinergi Membangun Indonesia Emas
Ketahanan fiskal Indonesia 2045 hanya bisa dicapai melalui sinergi erat antara transformasi digital dan pendidikan. Keduanya akan membentuk ekosistem yang saling menguatkan antara teknologi dan literasi publik. Pendidikan mempercepat adopsi teknologi melalui pelatihan praktis bagi para pelaku UMKM dan pengenalan sistem digital perpajakan sejak usia sekolah. Sebaliknya, teknologi digital menyediakan sarana edukasi yang menarik seperti e-learning yang interaktif, simulasi, dan gamifikasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.
Sinergi ini punya satu tujuan mulia yaitu membentuk generasi Indonesia yang tak hanya cakap digital, tetapi juga memiliki kesadaran fiskal tinggi dan aktif berkontribusi terhadap pembangunan. Dengan digitalisasi yang menyederhanakan proses dan pendidikan yang membangun kesadaran, kita menciptakan siklus positif yang mendorong peningkatan penerimaan negara secara berkelanjutan dan memperkuat fondasi ketahanan fiskal nasional.
Menjelajahi Tantangan dan Meraih Solusi
Tentu, jalan menuju ketahanan fiskal ini tak selamanya mulus. Berbagai tantangan membentang di depan, mulai dari kesenjangan akses teknologi di berbagai pelosok, isu keamanan data dan privasi yang krusial, hingga resistensi terhadap perubahan baik dari birokrasi maupun masyarakat. Selain itu, kita juga menghadapi keterbatasan sumber daya manusia yang kompeten, serta kebutuhan akan kurikulum yang relevan dan responsif terhadap perkembangan zaman.
Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan solusi yang komprehensif seperti pemerataan infrastruktur digital, penguatan regulasi cyber, pelatihan dan sosialisasi berkelanjutan, kolaborasi lintas sektor, serta pengembangan kurikulum yang adaptif dan inovatif. Hanya dengan langkah-langkah ini, transformasi digital dan pendidikan benar-benar mampu menopang ketahanan fiskal secara inklusif dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, pencapaian ketahanan fiskal Indonesia 2045 sangat bergantung pada sinergi antara transformasi digital dalam sistem penerimaan negara dan peran strategis pendidikan sebagai pembentuk kesadaran publik. Digitalisasi menghadirkan sistem yang efisien, transparan, dan akuntabel, sementara pendidikan menumbuhkan pemahaman serta kepatuhan sukarela sebagai landasan partisipasi aktif warga negara. Mulai dari modernisasi administrasi perpajakan hingga penguatan literasi fiskal sejak usia dini, setiap inisiatif adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Dengan dukungan dan keterlibatan seluruh elemen masyarakat, kontribusi fiskal yang optimal akan menjadi fondasi kokoh bagi pembangunan berkelanjutan, mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 yang berdaulat secara ekonomi dan merata dalam kesejahteraan.