Oleh : Mariatul Adawiyah, ST
Aktivis Muslimah
Pemerintah Republik Indonesia memperkenalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak atau PP TUNAS sebagai model regulasi yang bisa menjadi acuan global dalam melindungi anak-anak di ruang digital kepada organisasi telekomunikasi internasional, yakni International Telecommunications Union (ITU).
“PP TUNAS mencerminkan komitmen Indonesia melindungi anak secara daring, demi kesehatan dan kesejahteraan generasi muda, ujar Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya dalam keterangannya terkait pertemuan dengan Sekretaris Jenderal International Telecommunications Union (ITU), Doreen Bogdan-Martin, di Jenewa, Swiss, pada Rabu (9/7/2025), dikutip dari (menpan.go.id).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi mengatakan, sebagian besar penyebab atau sumber dari kekerasan terhadap perempuan dan anak, dipicu oleh media sosial atau gadget. Menurutnya, fenomena ini menjadi perhatian serius mengingat tingginya keterpaparan anak terhadap dunia digital yang tidak disertai kontrol dan bimbingan yang memadai.
“Karena dari beberapa kekerasan yang dialami atau dilakukan kepada anak-anak hampir sebagian besar penyebabnya atau sumbernya dari pengaruh media sosial atau gadget. Selain faktor media sosial, faktor pola asuh turut mempengaruhi. Ia memaparkan kasus terhadap perempuan dan anak menunjukkan lonjakan dalam beberapa waktu terakhir. ” kata Arifatul di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, Kamis, 10 Juli 2025.
Ada 11.800 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 1 Januari hingga Juni 2025. Kemudian, dari awal Januari hingga 7 Juli 2025 totalnya sudah mencapai 13.000 kasus. Mengacu dari survei National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC), Indonesia saat ini menempati peringkat keempat secara global dan peringkat kedua di kawasan ASEAN dalam jumlah kasus pornografi anak di ruang digital, dikutip dari (tempo.co).
Banyak permasalahan yang muncul dan semakin masif di usia dini dapat menjadikan anak-anak semakin rentan terhadap ancaman siber. Apalagi ada banyak konten media sosial yang menjadi pemicu adanya kekerasan pada mereka. Selain itu, akibat kemajuan dunia digital dan penggunaan gawai yang tidak terkontrol yakni kasus pornografi. Salah satunya terkait kasus pornografi anak di ruang anak.
Hal ini adalah buah rendahnya literasi digital dan juga lemahnya iman akibat sistem pendidikan yang berbasis sekuler. Namun sayangnya negara tidak memberikan perlindungan yang nyata. Apalagi arus digitalisasi yang membawa banyak keuntungan materi, sehingga aspek keselamatan luput dari perhatian selama mendapatkan keuntungan. Inilah hasil penggunaan teknologi tanpa ilmu dan iman, satu konsekuensi dalam kehidupan sekuler kapitalisme. Ada bahaya lainnya yaitu Penguasaan atas dunia siber juga bisa menjadi alat untuk menguasai negara.
Negara wajib membangun sistem teknologi digital yang mandiri tanpa ketergantungan pada infrastruktur teknologi asing. Agar negara mampu mewujudkan informasi sehat bagi masyarakat, ruang siber syar’i dan bebas pornografi. Peran negara sebagai junnah (pelindung dan penjaga rakyat) sangat dibutuhkan, dan akan terwujud dengan tegaknya Khilafah. Negara Islam akan memberikan arahan pada pengembangan teknologi termasuk dunia siber. Sistem panduan dalam memanfaatkan semua itu untuk menjaga kemuliaan manusia dan keselamatan dunia akhirat.