Oleh : MAHPUJAH
Kasus terbaru perundungan siswa SMP di Ciparay, Kabupaten Bandung, mengejutkan publik. Seorang anak berusia 13 tahun dipaksa meminum tuak dan merokok, lalu ditendang hingga kepalanya berdarah, dan diceburkan ke dalam sumur sedalam tiga meter oleh teman-temannya, yang terekam dalam video dan viral di media sosial. (Cnnindonesia.com, 26/06/2025)
Namun fakta menunjukkan bukannya menurun, kasus-kasus ini terus berulang meskipun telah dilaporkan dan dimediasi.
Kita patut bertanya, dimana letak kegagalannya?
Ini menandakan bahwa regulasi yang ada belum efektif. Sanksi hukum belum memberikan efek jera. Bahkan definisi anak dalam sistem hukum saat ini, yang tidak mempertimbangkan kesiapan mental dan moral, kerap mengaburkan batas tanggung jawab. Di sisi lain, sistem pendidikan pun belum berhasil menanamkan nilai moral dan karakter mulia. Anak-anak tidak hanya gagal menginternalisasi nilai, tetapi juga cenderung meniru perilaku kekerasan yang ada di lingkungan dan media sosial.
Persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari akar sistemik yang lebih dalam yaitu sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang menafikan peran agama dalam kehidupan publik. Sistem ini membentuk masyarakat yang permisif terhadap nilai-nilai kebebasan tanpa batas, tetapi abai terhadap pembentukan moral dan karakter. Arah kiblat mereka adalah perilaku Barat yang menjadi pusat kapitalisme. Asas kebebasan berperilaku tanpa adanya batasan. Tanpa ada standar baku yaitu halal-haram.
Rapuhnya peran keluarga sebagai benteng terakhir dari bangunan masyarakat. Keluarga sebagai tempat pembentukan aqidah pertama bagi anak harusnya mampu membentuk pribadi yang berakhlak baik. Saling berkasih sayang terhadap muslim. Dan menjauhkan diri dari perbuatan haram.
Islam memandang perundungan dalam bentuk apa pun sebagai tindakan haram. Baik secara verbal, fisik, maupun yang melibatkan hal-hal haram seperti minuman keras. Dalam Islam, setiap manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sejak ia baligh. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad SAW, yang menjadikan baligh sebagai titik awal seseorang memikul amanah hukum.
Sistem pendidikan Islam dibangun di atas asas akidah Islam, yang bertujuan menyiapkan anak-anak menjadi pribadi mukallaf-yang siap memikul tanggung jawab sebagai manusia dewasa. Pendidikan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga, tetapi juga masyarakat dan negara. Negara bertugas menyusun kurikulum yang membentuk kepribadian Islam, bahkan sampai pada pendidikan dalam keluarga.
Tak hanya itu, sistem informasi dalam masyarakat juga diarahkan untuk mendukung pembentukan karakter Islam. Sanksi dalam Islam pun bukan semata-mata bersifat hukuman, tetapi memiliki aspek preventif dan edukatif, yang menjaga masyarakat dari perilaku menyimpang sejak dini.
Sudah saatnya kita berhenti mencari solusi tambal sulam. Kasus-kasus perundungan ini harus menjadi momentum untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem kehidupan yang kita jalankan. Karena perundungan anak bukan sekadar persoalan individu, melainkan sinyal dari kegagalan sistemik yang menuntut perubahan mendasar menuju sistem yang benar-benar membentuk manusia, bukan sekadar mengaturnya.
Perundungan bukan sekadar tindakan remaja nakal, ia adalah panggilan mendesak untuk perombakan paradigma. Reformasi total diperlukan, bukan hanya sekedar regulasi. Regenerasi karakter bangsa dimulai dari pendidikan berlandaskan akidah, yang bukan hanya mengajar apa yang pantas, tetapi juga menanamkan jiwa dan keberanian moral.