Oleh : Sala Nawari
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang, turun sekitar 0,2 juta dibandingkan September 2024. Sementara itu, jumlah penduduk miskin ekstrem juga menurun menjadi 2,38 juta orang, turun 0,40 juta dari periode sebelumnya. Secara persentase, angka kemiskinan ekstrem terhadap total penduduk mencapai 0,85 persen, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya.
Sekilas, penurunan angka ini memberikan kesan bahwa kondisi masyarakat kian membaik. Namun, benarkah demikian? Apakah penurunan angka kemiskinan ini benar-benar mencerminkan kesejahteraan masyarakat?
Kemiskinan
BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Angka ini mencakup kebutuhan dasar, terutama makanan dan sebagian kecil kebutuhan non-makanan. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah angka ini realistis dalam menghadapi realitas harga kebutuhan pokok yang terus meningkat? Dan lebih jauh lagi, apakah standar ini mampu menggambarkan kondisi hidup yang layak?
Kemiskinan sejatinya bukan sekadar persoalan statistik atau angka pengeluaran. Ia adalah masalah struktural yang berkaitan dengan sistem ekonomi dan kebijakan yang diterapkan dalam sebuah negara. Maka, untuk mengukur kesejahteraan sejati, perlu dilihat apakah kebutuhan dasar masyarakatsandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamananbetul-betul terpenuhi secara merata dan layak.
Akar Masalah
Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini berperan besar dalam menciptakan kemiskinan yang bersifat struktural. Kekayaan yang seharusnya menjadi milik bersama, seperti sumber daya alam, justru dikuasai oleh segelintir pihak swasta, bahkan asing. Negara dalam sistem ini lebih berperan sebagai regulator, bukan penanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan rakyat. Hal ini berdampak pada ketimpangan distribusi kekayaan, keterbatasan akses terhadap layanan dasar, serta beban hidup yang makin berat.
Pajak diberlakukan bahkan kepada masyarakat berpenghasilan rendah, sementara lapangan pekerjaan yang layak sulit diakses. Akibatnya, rakyat kecil terjebak dalam siklus kemiskinan yang tidak mudah diputus.
Solusi Sistemik
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang pengurusan urusan rakyat sebagai tanggung jawab negara. Sistem ekonomi Islam tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian integral dari sistem kehidupan Islam secara keseluruhan. Dalam sistem ini, negara berperan aktif dan langsung dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu rakyat.
Islam menetapkan bahwa kekayaan milik umum, seperti tambang, hutan, air, dan energi, tidak boleh diserahkan kepada swasta atau asing. Negara wajib mengelolanya untuk kemaslahatan seluruh rakyat, dan hasilnya dikembalikan dalam bentuk layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan keamanan, yang terjangkau atau bahkan gratis.
Negara juga berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Bagi mereka yang tidak mampu bekerja karena uzur syar’i, negara memberikan santunan dan jaminan hidup.
Ukuran kemiskinan dalam Islam tidak ditetapkan dengan angka tertentu, melainkan berdasarkan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Selama kebutuhan pokok tersebut belum terpenuhi secara layak, maka tanggung jawab negara belumlah tuntas.
Peran Pemimpin dalam Islam
Rasulullah bersabda, “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem pemerintahan Islam, khalifah adalah pemimpin yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat. Ia tidak sekadar mencatat data, tetapi hadir sebagai pelayan masyarakat, yang memastikan setiap individu mendapatkan hak dasarnya.
Penutup
Kemiskinan tidak cukup diselesaikan dengan pendekatan statistik dan program-program parsial. Ia membutuhkan perubahan menyeluruh pada sistem yang mendasari kebijakan ekonomi dan pengurusan rakyat. Sistem Islam telah memberikan solusi yang komprehensif, adil, dan manusiawi dalam mengatasi kemiskinan secara tuntas.
Sudah saatnya umat kembali melihat Islam sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh yang tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah, kesejahteraan sejati dapat diwujudkan. Wallahu a’lam bisshawab.