Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kemiskinan dalam Permainan Standar Ala Kapitalisme, Islam Wujudkan Kesejahteraan Hakiki

×

Kemiskinan dalam Permainan Standar Ala Kapitalisme, Islam Wujudkan Kesejahteraan Hakiki

Sebarkan artikel ini

Oleh : Siti Sabariyah
Aktivis Muslimah

Indonesia diklaim berhasil menurunkan angka kemiskinan, namun kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Klaim-klaim tersebut tidak berdiri di atas realitas, tetapi di atas definisi yang terus dimanipulasi. Kemiskinan tidak benar-benar berkurang, melainkan didefinisikan ulang dengan standar yang semakin rendah. Angka yang tampak baik di atas kertas bukan cermin kesejahteraan rakyat, melainkan strategi citra di tengah sistem kapitalisme yang menjadikan statistik lebih penting daripada hak rakyat atas hidup layak.

Kalimantan Post

Dilansir oleh CNN Indonesia (25/07/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar Rp20.305 per hari. Artinya, jika seseorang memiliki pengeluaran lebih dari jumlah tersebut, maka dianggap tidak miskin. Standar ini mengacu pada definisi internasional kemiskinan ekstrem (USD 2,15 PPP 2017), yang jelas tidak relevan dengan kondisi harga kebutuhan pokok di Indonesia hari ini. Dengan standar serendah itu, wajar jika angka kemiskinan “turun” secara statistik, namun kesejahteraan rakyat tetap jauh dari harapan.

Dalam laporannya juga, CNBC Indonesia (25/07/2025) mengangkat pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa angka kemiskinan mengalami penurunan, meskipun sedang terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini jelas menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana mungkin kesejahteraan meningkat ketika justru ribuan orang kehilangan pekerjaan? Hal ini memperkuat dugaan bahwa statistik kemiskinan hanya digunakan untuk kepentingan politik dan pencitraan belaka, bukan untuk mencerminkan penderitaan nyata rakyat.

Dikutip juga dari BeritaSatu (24/07/2025), Kabupaten Indramayu yang dikenal sebagai penghasil padi dan garam terbesar di Indonesia masih dililit kemiskinan. Banyak warga di daerah tersebut masih sulit memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Ironis, di tengah kekayaan sumber daya alam dan produksi melimpah, warganya justru hidup dalam kemiskinan. Ini menunjukkan kegagalan distribusi kekayaan dan pengelolaan sumber daya oleh negara yang tunduk pada mekanisme pasar bebas.

Baca Juga :  Pelayanan Publik di Usia RI Ke-80 Tahun

Tiga fakta di atas memperjelas bahwa kemiskinan hari ini bukan karena malas atau bencana semata, melainkan buah dari sistem kapitalisme yang cacat sejak akarnya. Sistem ini menempatkan negara hanya sebagai fasilitator pasar, bukan pelayan rakyat. Pemerintah lebih sibuk memperindah angka, bukannya memastikan setiap warga terpenuhi kebutuhan dasarnya.

Dalam kapitalisme, kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite, sementara mayoritas rakyat dibiarkan bersaing dalam sistem yang tidak adil. Pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang seharusnya menjadi hak, berubah menjadi komoditas mahal. Sumber daya alam dikuasai swasta dan asing, bukan dimanfaatkan untuk rakyat.

Alih-alih menyelesaikan akar masalah, solusi yang ditawarkan negara hanya menyentuh permukaan—BLT, pelatihan UMKM, dan bansos sesaat. Sistem ekonomi yang menjunjung kebebasan kepemilikan dan minim peran negara dalam distribusi kekayaan justru melanggengkan kemiskinan.

Islam memandang bahwa kemiskinan adalah masalah yang wajib diselesaikan oleh negara secara sistemik, bukan sekadar dikelola dalam statistik. Dalam sistem Islam (Khilafah), negara wajib menjamin kebutuhan dasar seluruh rakyatnya—pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan—tanpa syarat pasar dan tanpa diskriminasi.

Allah SWT berfirman, “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (QS. Al-Isra: 26)

Rasulullah SAW bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Khilafah, negara memegang tanggung jawab penuh dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai milik umum, bukan milik individu atau korporasi. Seluruh hasil dari pengelolaan tersebut digunakan sepenuhnya untuk membiayai kebutuhan rakyat, seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur dasar, tanpa mekanisme privatisasi yang menyengsarakan. Negara juga menerapkan sistem zakat secara menyeluruh dan terorganisir. Zakat ini dikumpulkan dari masyarakat yang mampu, lalu didistribusikan langsung kepada para mustahik, termasuk fakir dan miskin, sebagaimana dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 60. Dengan mekanisme ini, kebutuhan dasar rakyat—terutama mereka yang lemah secara ekonomi—dijamin sepenuhnya oleh negara, bukan bergantung pada bantuan sukarela atau program karitas.

Baca Juga :  Tanah Terlantar Diambil Negara, Akankah Dikelola Untuk Rakyat?

Negara dalam Islam tidak akan membiarkan satu pun rakyatnya kelaparan, kehilangan tempat tinggal, atau hidup dalam penderitaan akibat kemiskinan. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang bangun pagi dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar—keamanan, kesehatan, dan makanan—adalah standar minimal kesejahteraan yang harus dijamin negara. Oleh karena itu, Khilafah bukan hanya menjamin angka statistik ekonomi, tetapi menjamin kehidupan nyata yang layak dan bermartabat bagi seluruh warganya.

Khilafah tidak menggunakan standar buatan lembaga internasional (seperti PPP) dalam mengukur kemiskinan. Yang menjadi tolok ukur adalah apakah setiap individu telah terpenuhi kebutuhan dasarnya secara layak atau belum. Jika belum, maka negara wajib turun tangan secara langsung.

Permainan standar kemiskinan ala kapitalisme hanyalah upaya mempercantik wajah sistem yang sejatinya gagal mensejahterakan rakyat. Statistik bisa direkayasa, tapi derita rakyat tak bisa ditutupi. Klaim penurunan kemiskinan hanyalah ilusi, jika standar hidup layak justru semakin tak terjangkau.

Islam tidak hanya datang dengan retorika, tapi menawarkan sistem ekonomi alternatif yang adil, manusiawi, dan terbukti sukses selama berabad-abad. Jika ingin keluar dari lingkaran kemiskinan, perubahan sistem bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan. Hanya sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah yang mampu menjamin kesejahteraan nyata, bukan semu. Allahu A’lamu bi?-?awab.

Iklan
Iklan