oleh: Noorhalis Majid
MENULIS dan membaca sejarah sangatlah penting. Sukarno mengatakan, belajar sejarah itu seperti menarik anak panah. Semakin kuat dan dalam kita menariknya, anak panah akan melesat jauh kedepan. Artinya, semakin mendalam dan jauh melihat sejarah, maka akan dapat menjawab segala persoalan masa depan. Bila kemampuan menarik anak panah tidak terlalu kuat, yang berarti kurang membaca dan mempelajari sejarah, sulit pula menjawab tantangan masa depan.
Sebuah buku baru berisi sejarah tokoh lokal, pejuang pemberani yang dikenang sepanjang masa, Demang Lehman. Ditulis sejarawan muda, Mursalin dan Mansyur. Didiskusikan di forum bulanan Gramedia Veteran, menghadirkan penulis buku Mursalin dan Mansyur, serta akademisi dan pengamat sejarah lokal, Ahmad Muhajir, dan aktivis pergerakan, Berry Nahdiah Furqon.
Buku ini bagian dari epik sejarah panjang perang Banjar, terjadi pada tahun 1859 hingga 1864. Suatu peperangan yang begitu lama, menelan banyak jiwa. Karenanya Mursalin dan Mansyur menggambarkan buku ini sebagai lukisan perjuangan Panglima Perang Banjar.
Tokoh ini sangat fenomenal, kepalanya dibawa ke Belanda sebagai bukti bahwa ia berhasil dikalahkan. Menggambarkan begitu berhargannya orang ini. Tidak semua pejuang yang mati terbunuh atau dibunuh di tiang gantungan, kepalanya diabadikan pada museum. Demang Lehman ceritanya dikisahkan dari generasi ke generasi, sebagai pembelajaran bahwa orang Banjar sangatlah berani. Berani mati mengorbankan jiwa raga melawan penjajahan.
Dalam buku ini diceritakan tentang tiga orang pengikut setia Hidayatullah, pangeran Banjar yang kedudukan dan tahtanya diambil Belanda. Tiga orang tersebut antara lain Demang Lehman, Penghulu Rasyid, dan Mangun Yuda. Ketiga orang tersebut kepalanya dipenggal, dibawa ke Belanda.
Demang Lehman salah satunya yang sangat fenomenal, karena tidak pernah hilang ketokohan dan kepahlawanannya di tengah masyarakat Banjar. Sosoknya diceritakan dari generasi ke generasi. Perang Banjar itu sendiri tidak seperti perang-perang yang digambarkan dalam film-film. Perang Banjar tersebut adalah perang bubuhan. Perang yang hanya melibatkan para bubuhan, digerakkan oleh seorang tokoh dari bubuhan tersebut. Bukan perang sebagaimana lazimnya. Buktinya tidak ada tempat atau daerah yang dianggap sebagai lokasi produksi senjata. Kalau pun ada Nagara di Hulu Sungai Selatan, tempat pengrajin senjata, tapi tidak pernah dikisahkan sebagai tempat untuk memproduksi senjata bagi kebutuhan perang.
Loyalitas bubuhan disatukan oleh seorang yang dianggap paling berani. Bubuhan itu sendiri adalah struktur dalam masyarakat Banjar yang memiliki satuan ikatan pemukiman. Perang Banjar menampilkan banyak tokoh yang memiliki wibawa dan mampu menggerakkan bubuhannya.
Demang Lehman, seorang berperawakan halus tapi mahing. Dia juga seorang ahli agama. Selalu membawa tasbih. Bahkan beliau mampu membuat wafak, satu kearifan tentang membuat ajimat dari ayat-ayat Al Quran. Menggambarkan kealiman dalam ilmu agama. Meratus adalah kawasan persembunyian beliau. Kampung-kampung di Meratus, menjadi wadah konsolidasi gerakan perlawanan.
Memilih cara kematian yang berbeda dibandingkan tokoh-tokoh pejuang lainnya. Semua tokoh pejuang mati atau gugur, tapi Demang Lehman memilih mati di tiang gantungan pada 27 Februari 1864. Bukti bahwa dia tidak mau menyerah. Meninggal, digantung di tengah kota Banjarmasin. Kepalanya dibawa, dikoleksi dan disimpan pada Museum Anatomi Balanda. Kematian seperti itulah yang dipilih Demang Lehman.
Memang sangat minim data menyangkut ketokohan Demang Lehman, sebab beliau hanya dari kalangan jaba, kemudian menjadi Lalawangan, suatu jabatan di bawah pembakal. Namanya Soelehman atau Lehman, dia mengabdi kepada Hidayatullah. Membersamai perjuangan Hidayatullah melawan Belanda.
Kisah penangkapannya sangat menarik, ada cerita mistis dan yang terpenting, ada kisah penghianatan. Ia bersedia difoto saat menjelang vonis di tiang gantungan, terjadi di awal Ramadhan, 27 Februari 1864. Bahkan saat itu orang tidak tahu wajah Demang Lehman. Orang hanya tahu namanya. Tersohor dalam pergerakan melawan Belanda. Hanya sedikit yang kenal wajahnya. Karenanya sebelum divonis, dicari orang yang tahu dan mengenal wajah Demang Lehman. Dia memilih dihukum mati di Banjarmasin, bukan di Martapura.
Sebelumnya tidak ada yang tahu apakah kepalanya dibawa atau dikubur. Baru setelah ada jurnal ilmiah yang terbit tahun 1930, yang memuat tentang 3 tengkorak orang Banjar di Museum Anatomi Belanda, ditulis oleh Arthur Japin, seorang penulis novel, barulah diketahui bahwa ternyata benar tengkorak kepala Demang Lehman dibawa ke Belanda.
Harga kepala Demang Lehman dibayar kepada seorang penghianat bernama Syarif Hamid, yang mendapat imbalan karena membantu menangkap Demang Lehman. Hadiahnya berupa wilayah atau kawasan bernama Batulicin. Syarif Hamid, karena memiliki kawasan yang sangat luas, kemudian menjadi Raja Batulicin.
Saat eksekusi tidak dihadiri oleh keluarganya, bahkan Belanda tidak pernah memberikan laporan kepada pihak keluarga. Tidak banyak catatan menyangkut peristiwa ini. Termasuk kenapa setelah digantung kepalanya harus dipotong dan dibawa ke Belanda. Mungkin Belanda tidak mau membayar ganti rugi kalau suatu waktu dituntut oleh pihak keluarga.
Perlawanan Demang Lehman, suatu gambaran tentang perjuangan menjaga identitas, dalam hal ini tentu saja identitas etnis Banjar dan agama. Keduanya hampir tidak dapat dipisahkan.
Dua strategi Belada yang lajim diberlakukan kepada lawan-lawannya; pertama adalah kooptasi dan yang kedua adalah konfrontasi. Terhadap Demang Lehmah, terjadi konfrontasi, sehingga dia diburu, dicari hingga dapat. Penghianatan adalah satu cerita yang selalu diingat, bahwa Demang Lehman tertangkap oleh Belanda karena adanya penghianatan.
Dalam diri Demang Lehman tergambar kepemimpinan kharismatik. Bukankah beliau hanya dari kalangan jaba. Kalau bukan karena kharismatik, tidak mungkin bisa menggerakkan warganya yang disebut dengan bubuhan tadi untuk juga melakukan perlawanan kepada Belanda.
Memori terkait Demang Lehman sangat terbatas. Memori dapat diabadikan melalui tulisan. Buku ini mencoba untuk memperpanjang memori orang Banjar, tentang tokoh kharismatik yang mengorbankan dirinya di tiang gantungan.
Kisah Demang Lehman merupakan cerita gerakan perlawanan kaum tertindas. Waktu itu Kerajaan Banjar keberadaannya dicampuri oleh Belanda, sehingga terjadi konflik. Terjadi delegitimasi politik, peran Sultan Banjar dianggap tidak ada. Dalam banyak kasus gerakan sosial, peralihan politik selalu melahirkan perlawanan. Terjadi mobilisasi sumber daya dari kampung-kampung di Pegunungan Meratus. Mulai Kotabaru wilayah pesisir sampai di gunung-gunung. Juga mobilisasi logistik. Jihad dan harga diri, itulah yang mengobarkan semangat Demang Lehman. Kenapa ia harus melawan Belanda? Karena ia melihat ketidakadilan di depan mata.
Posisi pegunungan Meratus yang telah menjadi arena perlawanan, mestinya menjadi motivasi dan semangat untuk terus menjaga kawasan pegunungan Meratus. Menjaga Meratus, berarti menjaga sejarah, agar tetap lestari sebagai satu kawasan pergerakan perjuangan.
Ingatan orang Martapura pada Demang Lehman begitu kuat. Azim Ariadi, pernah menulis naskah drama yang mencukil beberapa ucapan Demang Lehman, dan ucapan atau petuah tersebut didapat dari memori orang Martapura yang tidak pernah lupa terhadap Demang Lehmah. Pun Atum Artha, seorang tokoh pers dari Martapura, mengutarakan berbagai ucapan Demang Lehman yang kemudian menjadi slogan dan motivasi dalam perlawanan orang Banjar.
Berbagai wilayah perjuangan di kawasan Pegunungan Meratus, dapat menjadi napak tilas sejarah untuk mengenang Demang Lehman. Sejarah penghianatan selalu saja ada, bukan hanya Syarif Hamid, tapi Tumenggung Gamar yang telah diberikan kekuasaan sebagai Tumenggung juga berkhianat. Sebabnya sepele, silau pada jabatan Regen Martapura. Menariknya, penghianatan yang telah dilakukan pada Demang Lehman, justru dipakai untuk menarik simpatik dan menguatkan semangat bubuhan untuk terus menngelorakan perjuangan melawan Belanda. (nm)