Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kotabaru, Belajar Pengendalian Banjir Era Kolonial

×

Kotabaru, Belajar Pengendalian Banjir Era Kolonial

Sebarkan artikel ini

oleh: Noorhalis Majid

“Semua sungai yang disediakan alam arusnya menuju ke laut, tapi rumah-rumah menghalanginya”. Begitulah gambaran Kotabaru, khususnya di Kecamatan Pulau Utara, yang setiap kali hujan di wilayah gunung, selalu dilanda banjir mendadak.

Kalimantan Post

Banjirnya memang tidak lama, namun debit airnya banyak dan deras. Akan semakin tinggi, manakala bertemu air laut pasang dalam.

Jangan anggap remeh, lantas tidak ada tindakan ekstrim yang dilakukan. Sekedar memperbaiki gorong-gorong di kiri dan kanan jalan, apalagi gorong-gorongnya tertutup trotoar yang sempit, tindakan itu tidak akan mengubah apapun. Bahkan percuma, hanya menghabiskan anggaran semata.

Belajarlah pada Banjir yang menimpa Bali baru-baru tadi. Bali seperti juga Pulau Laut, sama-sama pulau dikelilingi laut. Padahal Bali memiliki sistem persawahan sekaligus pengatur air tradisional berbasis hukum adat, yang disebut dengan Subak. Bukan saja berfungsi mengairi sawah, tetapi juga sebagai organisasi sosial dan keagamaan. Fungsinya dalam mengatasi banjir adalah dengan mengatur aliran air secara teratur dan adil melalui jaringan irigasi yang kompleks. Memastikan pasokan air merata ke semua sawah, dan mencegah genangan air yang dapat menyebabkan banjir.

Dikarenakan sistem Subak sudah tidak berfungsi sebagai penampung dan mengatur sistem pengairan, akhirnya banjir tak terhindarkan. Lahan Subak yang subur, sudah banyak yang beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Terutama akibat pariwisata dan pembangunan yang gegap gempita. Sawah sudah berganti dengan hunian villa, sehingga sistem nilai dan segala kearifan lokal yang berkelanjutan, seketika hilang tak berbekas.

Banjir sebagaimana terjadi di Bali, sangat mungkin pula terjadi di Kotabaru Pulau Laut. Apalagi tidak ada sistem tradisional berbasis adat, sebagaimana Bali memiliki Subak. Walau pembangunan atau pembabatan hutan di gunung Sebatung, tidak sehebat pengrusakan Subak di Bali. Namun kerentanan itu juga sangatlah besar.

Pasti tidak ada yang salah dengan hujan dan air pasang. Sejak dahulu kala sudah terjadi, tapi banjir baru sekitar 10 tahun ini, dan kondisinya semakin parah.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan agar tidak menjadi bencana? Tidak ada salahnya untuk belajar pada era Kolonial. Tengok saja ke wilayah gunung, entah di hulu sungai Baharu atau Mandin – hulu dari sungai yang mengalir membelah kota, dahulu kolonial telah membangun DAM – tempat penampungan air. Mungkin jejak dan bekas bangunannya masih ada hingga sekarang.

Baca Juga :  SPIRIT PERJUANGAN

Fungsinya selain menampung air, juga menstabilkan arus dan tekanan agar tidak terjadi banjir. Air disalurkan melalui sistem perpipaan ke berbagai pemukiman wilayah publik, sehingga kebutuhan warga kota, termasuk perkantoran, industri serta pertanian, terpenuhi oleh air yang ditampung pada waduk. Pertanyaan mendasar yang boleh kita ajukan, adakah Dam-Dam yang sudah ditinggalkan era kolonial tersebut diperbaiki, direnovasi atau fungsinya dimoderenkan, sehingga berfungsi sebagai pengendali banjir dan waduk cadangan air.

Selain memperbaiki sistem Dam sebagai penampung air, langkah berikutnya yang tidak kalah penting adalah dengan melakukan reboisasi di wilayah gunung Sebatung, seraya menghentikan segala bentuk aktivitas yang mengeksploitasi alam, termasuk tambang dan perkebunan besar. Dan yang paling urgen, membebaskan sungai dari segala rintangan, agar air dari gunung mengalir bebas menuju laut. Bila di pegunungan Sebatung tesebut tidak terdapat hunian penduduk, boleh juga diusulkan menjadi Taman Nasional dengan fungsi yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal.

Era kolonial, tentu tidak ada bangunan di bantaran sungai, sebab mereka paham bahwa sungai tidak boleh diganggu oleh bangunan apapun. Lihat saja, tidak ada jejak bahkan rekam sejarah ada bangunan era kolonial di sepanjang Sungai Baharu hingga pasar.

Jadi bukan sekedar memperbaiki gorong-gorong, harus dilakukan tindakan ekstrim untuk membebaskan sungai dari segala rintangan hunian, supaya air yang meluber sejak di hulu, mengalir bebas menuju laut.

Kemauan untuk membebaskan sungai dari segala rintangan, terutama rintangan berupa hunian, memerlukan ketegasan pemerintah dan kesadaran serta kerelaan dari seluruh warga yang tinggal di sepanjang bantaran sungai, untuk mengalah dan mengutamakan normalisasi fungsi sungai.

Bila sungai Baharu yang alirannya melewati Agussalim, Patmaraga, Sungai Warik, Kampung Kuin hingga pasar, dapat dibebaskan dari segala rintangan, sebagian besar dari problem banjir tak terkendali di wilayah Agus Salim dan sekitarnya, pasti akan teratasi.

Baca Juga :  Energi Cinta dalam Agama

Seluruh bangunan yang menutupi lebar sungai, mesti dibongkar tanpa kecuali. Dasar sungai dikeruk, agar kedalamannya bertambah dan daya tampungnya meningkat. Pulihkan kondisi sungai seperti dahulu kala, agar kapasitasnya lebih dalam dan lebar, sehingga memungkinkan Jukung Tiung dapat lewat, yang berarti kondisinya pulih sebagaimana dahulu kala.

Kenapa parameternya Jukung Tiung? Perlu diketahui, dahulu Jukung Tiung bisa masuk melewati sungai-sungai tersebut saat air pasang, membawa berbagai jenis dagangan, termasuk buah-buhan untuk ditawarkan kepada warga. Mereka bisa membawa barang jualannya dari pasar menuju kampung-kampung, melewati sungai warik, hingga mendekati kampung Baharu, hulu dari sungai yang begitu elok kala itu.

Seandainya sungai Baharu bisa dipulihkan, kota ini akan semakin cantik, karena sungai yang membelah kota ini sangat unik, mempertemukan air gunung dan air laut, sehingga rasanya sering kali payau dan kalau kondisinya bersih, akan menjadi kolam renang terpanjang setiap datang air pasang, tempat anak-anak bermain dengan suka cita, sambil melunta iwak bulanak.

Begitu juga sungai lainnya, mulai dari Kampung Bakti, Pal Satu, Dirgahayu, hingga Sungai Taib, ditata dan remajakan, agar mampu menampung luapan air. Bebaskan dari segala rintangan hunian. Didik warga untuk tertib, tidak “mengakat” sempadan sungai, apalagi badan sungai untuk kebutuhan menambah panjang hunian rumah.

Namun, bila tidak ada kemauan dan kesadaran, pastilah banjir akan terus terjadi. Kondisinya bahkan terus meningkat dari waktu ke waktu, seiring dampak dari perubahan iklim. Apalagi penebangan dan perusakan hutan di gunung tidak bisa dicegah.

Belajar dari peristiwa banjir di Bali, dan menggali serta melestarikan pengendalian banjir era kolonial, adalah langkah cerdas yang harus dilakukan. Harus disadari, bencana banjir yang pernah terjadi pada suatu waktu, sangat mungkin terjadi kembali dan bahkan lebih dahsyat apabila tidak ada upaya apapun yang bersifat ekstrim untuk memperbaikinya. Banjir harus dimaknai sebagai peringatan alam atas pengelolaan lingkungan yang tidak berkelanjutan. Tugas manusia memperbaiki segala kebijakan dan tindakan, agar alam kembali lestari, memberikan keadilan lintas generasi. (nm)

Iklan
Iklan