Oleh : AHMAD BARJIE B
Spirit perjuangan bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan Portugis, Belanda dan Jepang, sampai kepada kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan, tidak terlepas dari peran umat Islam yang dipimpin para ulama dan tokoh Islam. Mereka juga berperan dalam dunia perdagangan, politik dan kebudayaan.
Ada beberapa kutipan yang memperkuat hal ini, di antaranya. EFE Doewes Dekker, tokoh Belanda yang memihak Indonesia menyatakan, “…djika tidak karena sikap dan semangat perdjuangan para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalamai kemusnahan”.
George McTurnan Kahin dalam Nationalisme and Revolution in Indonesia menyatakan, Islam menyatukan 90 persen penduduk sebagai simbol kelompok dalam melawan penjajah asing. Bersama Bahasa Melayu, Islam mematahkan nasionalisme sempit. Denis Lombad menyatakana, Islam dan ulamanya berfungsi sebagai ideological weapon bagi persatuan perjuangan Indonesia.
Nakahara dalam Muslim Merchants in Islam in Asia mengatakan, pedagang muslim mendominasi perdagangan maritim dan membentuk komunitas di berbagai belahan Asia. Ketika Islam berkembang melampaui posisinya dari terisolasi sebagai agama para pedagang asing di komnitas minoritas mereka dan menjadi agama para penguasa dan penduduk asli, Islam mengubah dirinya sendiri dan menjadi faktor sosial dan politik yang penting dalam masyarakat Asia Tenggara.
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sejumlah ulama mendirikan organisasi pendidikan dan pergerakan. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, KH Abdul Karim Amarullah (HAKA/Haji Rasul, ayah Buya Hamka) dkk mendirikan perguruan Sumatra Thawalib, H Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto mendirikan Syarikat Islam dilanjutkan KH Agus Salim. Kemudian KH Wahid Hasyim, KH Bagus Hadikusumo berperan dalam BPUPKI dan PPKI, Mohammad Natsir dalam Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dan banyak lagi.
Tidak terkecuali di Kalimantan Selatan, banyak ulama dan pemuka agama yang mengambil peran. Setelah Perang Banjar dan sebelum meletusnya Perang Kemerdekaan 1945-1949, sejumlah ulama dan tokoh juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam. KH Abdul Rasyid dkk mendirikan Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah di Amuntai, KH Kasyful Anwar dkk mendirikan Pesantren Darussalam di Martapura (sebelumnya bernama Madrasatul ‘Imad fi Ta’ilimil Awlad), KH Muhammad Hanafie Gobit dkk mendirikan SMIP 1946 di Banjarmasin, Khatib Syarbaini dkk mendirikan Normal Islam di Rantau, KH Muchtar Yahya (Haji Kabau) mendirikan Madrasah Muallimin di Barabai dan masih banyak lagi.
Para aktivis pergerakan dan lulusan lembaga pendidikan Islam di atas di kemudian hari ada yang menjadi pemimpin lembaga/organisasi keislaman, ada yang menjadi tokoh pejuang, tokoh politik, tokoh pendidik dan sebagainya. Mereka semua berkontribusi dalam perjuangan dan pengabdian Indonesia sesudah berdeka, dalam berbagai aspeknya. Banyaknya laskar pejuang seperti Hizbullah, Saifullah, Sabilillah dan lain-lain, yang kemudian sebagian berfusi ke dalam BKR, TKR, TRI (TNI sekarang), menunjukkan pula peran tersebut.
Jadi, Islam, ulama dan Indonesia merdeka tidak terpisahkan. Mereka berjuang dan mengabdi, tidak hanya di tataran semangat dan pemikiran, tapi juga aksi nyata. Semoga peran mereka yang tanpa pamrih mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah swt, dan kiprahnya dapat diteruskan oleh generasi sekarang dan akan datang.