Oleh: Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel
Di tengah hiruk-pikuk demo tempo hari dan setelahnya, muncul beberapa kalangan yang menarik dicermati. Ada yang mengusulkan agar semua anggota DPR(D) harus berpendidikan tinggi, minimal S2 dan S3 yang diperoleh secara benar melalui kuliah reguler atau pendidikan berjenjang, bukan jalan pintas atau kelas eksekutif, dan pandai berbahasa Inggris. Alasannya, anggota DPR harus pintar dan cerdas di atas rerata rakyat, agar mampu melaksanakan tugas dengan baik. Rakyat saja melamar kerja di instansi swasta dan pemerintah, yang gajinya tidak seberapa besar, dipersyaratkan berijazah S1.
Ada pula yang mengusulkan agar gaji dan tunjangan DPR tidak boleh terlalu jauh melampaui Upah Minimum Regional (UMR) yang biasa diterima rakyat yang bekerja di sektor swasta, atau relatif sama dengan gaji PNS golongan III dan IV saja. Alasannya, DPRD mengabdi untuk rakyat, mewakili rakyat, jadi mereka harus hidup seperti yang dirasakan rakyat kebanyakan. Kalau usulan di atas dapat diterapkan, diyakini kecemburuan dan demo-demo yang ditujukan kepada DPR akan berkurang, dan anggota DPR akan dicintai rakyat.
Berat dan Kompleks
Usulan ini memang baik, namun sama-sama absurd (mustahil) dijalankan. Pendidikan penting, dan anggota DPR seyogianya berpendidikan di atas rerata rakyat. Tetapi kita lihat realpolitik politik praktis tidak demikian adanya. Betapa banyak orang berpendidikan S2 dan S3 dalam dan luar negeri, tetapi mereka lebih mengabdi sebagai guru, dosen atau guru besar di perguruan tinggi.
Mereka ini tidak terjun ke dunia politik, karena politik berbiaya mahal. Di tengah masyarakat yang sudah menganggap biasa politik uang, untuk mencari suara tentu sulit kalau tidak punya uang. Seorang kawan mengatakan, untuk dapat 10 ribu suara saja, dan satu suara dibeli Rp 100 ribu, dana yang dikeluarkan sudah miliaran rupiah. Belum lagi dana untuk partai, sosialisasi, media, promosi, kampanye dan tim sukses.
Usulan agar DPR bergaji kecil juga mustahil. Selain mereka perlu mengembalikan modal besar waktu pemilu, DPR sekarang juga memiliki banyak kewenangan. Mereka berkuasa di bidang anggaran (budgeting) yang dulu hanya kewenangan eksekutif. Biasanya mereka baru menyetujui suatu anggaran pembangunan, jika alokasi anggaran untuk DPR sendiri juga besar dan disediakan lebih dahulu secara lancar. Itu sebabnya untuk keperluan DPR(D) dananya selalu ada dan cepat dipenuhi, tapi giliran keperluan rakyat terasa alot.
Belum lagi proyek-proyek lain, pembuatan UU/Perda, pengangkatan pejabat dan komisi-komisi dan sejenisnya, dimana DPR(D) penentu kelulusan seseorang, semua bisa jadi sumber pemasukan kalau mereka mau bermain. Dana kunjungan kerja, studi banding, reses, serap aspirasi dan sebagainya, kalau ingin menyunatnya juga serba mungkin. Ahmad Sahroni yang ketiban apes demo kemaren menyatakan, hampir semua anggota DPR bermain.
Mereka memiliki hak istimewa. Di tengah kebijakan efisiensi anggaran oleh Presiden Prabowo Subianto yang menimpa hampir semua kementerian termasuk alokasi dana pemerintah daerah, DPR tetap aman bahkan mengalami peningkatan, bersama kepolisian, kejaksaan, dan pertahanan. Jadi, percuma berteriak agar tunjangan DPR diturunkan. Meski mungkin dikabulkan, tapi di saat yang sama celah untuk mendapatkan penghasilan lebih tetap terbuka lebar.
Anggota DPR di negara kita bukan kalangan orang yang sudah selesai dalam urusan materi seperti di negara maju, sehingga fokus mengabdi rakyat. Di sini profesi sebagai anggota dewan umumnya untuk mengumpul kekayaan. Tapi kita jangan lupa, penghasilan anggota DPR yang besar itu banyak pula dibagi untuk pendukung, konstituen, sahabat, kerabat, teman, tim kerja, tim sukses dan sebagainya. Paling separohnya yang masuk kantong pribadi.
Berlandaskan hal di atas, saran yang lebih masuk akal, kita tidak usah menuntut tunjangan anggota DPR diturunkan, tetapi penghasilan rakyat lah yang penting dinaikkan, supaya tercipta keseimbangan dan kesejahteraan untuk semua.
Caranya, pertama, kebutuhan dasar rakyat harus dipenuhi dan terjangkau. Harga beras dan sembako lain harus murah. Agar murah, semua kegiatan produksi dan perdagangan bebas pajak. Perusahaan dan perdagangan barang dan jasa yang tidak dibebani pajak, otomatis harga produknya murah, mereka mampu membayar upah layak bagi pekerja dan seterusnya. Mengapa di luar negeri barang murah, bahkan harga mobil separoh dari Indonesia, itu karena tidak dibebani pajak.
Kedua, kebutuhan dasar lain yaitu listrik, air leiding, BBM, pendidikan dan kesehatan, telpon dan internet harus dibebaskan, atau berharga murah. Ketiga berbagai pajak lain yang selama ini dikeluhkan, perlu dibebaskan. Jika semua kebutuhan dasar terpenuhi dan tidak terbebani pajak, otomatis penghasilan rakyat meningkat, ekonomi biaya tinggi bisa diturunkan, margin keuntungan setiap usaha juga meningkat.
Lantas, dari mana pemerintah mendapatkan uang untuk menggaji biokrasi dan membiayai pembangunan?. Tentu dari hasil SDA yang melimpah. Negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Brunei, serta Iran, Irak, Libya sebelum perang, mampu menyejahterakan rakyatnya dari hasil SDA, khususnya minyak, sekaligus membebaskan pajak. Selain itu mengoptimalkan keuntungan BUMN/D, dengan menempatkan para profesional sebagai pimpinan dan karyawan. Bukan bagi-bagi kekuasaan dan balas jasa.
Warisan Belanda
Indonesia merdeka kelihatannya mewarisi Belanda dalam hal mencari penghasilan, yaitu dari pajak. Belanda memang memungut aneka pajak dari rakyat sehingga memberatkan. Itu karena Belanda negara dagang, bukan negara industri. Mereka mengandalkan pajak dari rakyat jajahan untuk memperkaya negerinya, membiaya pembangunan, sekaligus membiayai perang.
Di masa Belanda belum ada hasil SDA yang digali, kecuali hanya minyak dan batubara di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, itu pun banyak yang tutup karena tidak aman atau tidak efisien. Jadi, wajar pajak sangat diandalkan guna mengisi kas negara.
Celakanya Indonesia sekarang juga menjadikan utang luar negeri untuk membiayai pembangunan, yang terbukti sangat membebani APBN. Sebagian APBN sudah terkuras untuk membayar utang dan bunganya.
Indonesia punya SDA yang melimpah. Menurut Abraham Samad dan Mahfud MD, sekiranya dari batubara saja dikelola secara benar, hasilnya mampu menggaji 250 juta rakyat Rp20 juta perorang perbulan tanpa kerja. Belum hasil lain seperti kayu, nikel, emas, tembaga, minyak dan gas bumi, hasil laut dan SDA lain.
Sekarang pemerintah lebih mengandalkan pajak, sebab pajak menyumbang 85% biaya pembangunan dan birokrasi, dan hanya 15% dari SDA. Harusnya dibalik, 15% dari pajak dan 85% SDA. Jelas terjadi mismanajemen pengelolaan SDA selama ini. Ini tampak dari kajian disertasi para doktor dan ahli, bahwa peraturan perundangan tentang SDA jauh dari semangat negara kesejahteraan (welfare state) yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Regulasi dan implementasinya lebih bersifat transaksional, menguntungkan oligarki, korporasi dan segelintir pejabat saja.
Pendiri bangsa merumuskan sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 bukan untuk diucapkan dan dijadikan hiasan kertas, tetapi benar-benar diwujudkan secara nyata. Tugas DPR dan pemerintah memastikan agar semua peraturan bermuara pada kesejahteraan dan keadilan rakyat. Kalau negara adil dan sejahtera, tentu persatuan semakin mantap, negara aman, kriminalitas menurun, dan tidak ada lagi demo berjilid-jilid yang membahayakan pendemo dan kepolisian sendiri. Wallahu A’lam.