Oleh : Zaymah Bubiyah
Mahasiswi FEB ULM Banjarmasin, peserta magang di Ombudsman Kalsel
Agustus di Kalimantan Selatan bukan hanya tentang bendera merah putih yang berkibar di setiap sudut, tetapi juga tentang hiruk-pikuk perayaan yang menggugah rasa bangga daerah. Dari gemerlap Kalsel Expo di Banjarbaru hingga riuhnya lomba jukung hias di Pasar Terapung, antusiasme masyarakat berpadu dengan semangat memamerkan potensi lokal. Namun, di tengah gegap gempita itu, masih ada cerita di jalanan yang tak seindah pesta; ketika warga memilih travel ilegal karena merasa transportasi publik belum mampu menjadi jawaban.
Kondisi kendaraan umum seperti angkot kuning yang lusuh, panas, berbau bensin, serta jalur yang tidak menentu membuat masyarakat seolah tidak punya pilihan lain. Sementara itu, layanan Bus Trans Banjarbakula, yang awalnya diperkenalkan sebagai simbol pembaruan transportasi publik; belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Beberapa halte tidak disinggahi oleh sopir, dan informasi yang tidak merata membuat penumpang sering kebingungan, bahkan merasa dirugikan. Ini bukan sekadar kendala teknis, melainkan gambaran lemahnya komitmen terhadap pelayanan publik dan manajemen yang belum akuntabel.
Namun, menyalahkan masyarakat yang memilih jalur “ilegal” tidaklah adil. Masalah utamanya tidak sesederhana pilihan pribadi masyarakat, melainkan kegagalan sistemik: transportasi publik belum benar-benar hadir sebagai layanan yang inklusif, layak, dan manusiawi. Dalam kerangka pembangunan, mobilitas merupakan hak dasar setiap warga negara. Ketika negara gagal menyediakan akses yang memadai, masyarakat akan mencari solusi mereka sendiri, meskipun harus menempuh cara di luar aturan yang berlaku.
Transportasi seharusnya tidak dilihat semata sebagai urusan teknis. Dalam konteks pembangunan ekonomi, transportasi adalah infrastruktur utama yang mendukung proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Ketika desa dan kota terhubung dengan baik, akses ke pasar pun menjadi lebih mudah. Pelajar dari daerah pelosok bisa menempuh pendidikan tanpa hambatan. Pekerja informal dapat tiba tepat waktu tanpa terbebani ongkos tinggi. Jaminan mobilitas seperti ini akan berdampak langsung pada peningkatan produktivitas, perluasan lapangan kerja, dan pemerataan pertumbuhan ekonomi.
Salah satu persoalan krusial di daerah adalah tercampurnya fungsi kendaraan. Tidak jarang pedagang kecil membawa barang dagangannya dalam kendaraan yang sama dengan pelajar, mahasiswa, atau pekerja. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan, bahkan mengganggu kebersihan. Karena itu, penting untuk membedakan jenis layanan: kendaraan khusus angkutan barang kecil seperti ke pasar, dan transportasi khusus penumpang umum. Pemisahan fungsi ini akan membuat layanan lebih tertib dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pengguna.
Tanpa banyak gembar-gembor, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan kini sedang menjalankan transformasi transportasi yang strategis dan terarah. Salah satunya adalah pengembangan sistem Trans Banjarbakula, transportasi massal berbasis klaster yang kini mulai merambah wilayah Banua Anam dan Saijaan Bersujud. Sistem ini tak hanya memindahkan orang, tetapi juga membuka konektivitas potensi ekonomi antarwilayah. Pembangunan infrastruktur kini menjangkau daerah rawa, desa terpencil, hingga kawasan industri.
Pembangunan infrastruktur transportasi publik di Banjarmasin mulai menunjukkan kemajuan nyata. Halte sungai baru seperti di Nol Kilometer dan depan RSUD Sultan Suriansyah kini menjadi titik integrasi antara moda darat dan air, lengkap dengan fasilitas seperti musala dan toilet. Warga mengapresiasi kenyamanan ini, namun dari segi jumlah, shelter air masih jauh dari target 100 titik yang dibutuhkan untuk membuat layanan transportasi sungai benar-benar memadai. Selain dermaga di Sungai Lulut hingga Trisakti Basirih, pemerintah juga berupaya menghidupkan kembali jalur sungai sebagai alternatif bebas macet, sembari menghubungkannya dengan rute darat menuju pusat kota dan bandara.
Langkah ini juga ditopang oleh kerangka hukum. Beberapa Peraturan Daerah telah disahkan untuk memperkuat fondasi legal, termasuk harmonisasi regulasi seperti yang dilakukan di Kabupaten Banjar. Semua ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur urusan transportasi secara mandiri, terpadu, dan berkelanjutan.
Meski demikian, tantangan besar masih membayangi. Kendala bukan hanya pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada persepsi masyarakat terhadap transportasi publik itu sendiri. Banyak yang masih menganggapnya lambat, tidak nyaman, bahkan tidak layak. Fasilitas pendukung belum tersebar merata, armada yang beroperasi sebagian besar sudah tua, dan banyak yang belum diperbarui. Alhasil, meskipun mereka telah mencoba beralih ke layanan resmi, banyak masyarakat justru merasa kelelahan karena sistem yang tidak praktis, berbanding terbalik dengan pengalaman mereka menggunakan transportasi ilegal yang lebih cepat dan fleksibel.
Koordinasi antarlembaga juga masih lemah. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan operator seringkali tidak sejalan, menyebabkan banyak kebijakan berhenti di tengah jalan. Di sisi lain, subsidi belum menyasar kelompok yang benar-benar membutuhkan, pengawasan publik belum berjalan optimal, dan sistem layanan masih belum transparan. Ini semua menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk diselesaikan.
Solusi terhadap persoalan ini tidak bisa setengah-setengah. Digitalisasi layanan transportasi perlu dipercepat sebagai langkah strategis menuju sistem yang lebih modern dan efisien. Mulai dari penerapan tiket elektronik, pelacakan trayek secara waktu nyata (real-time), hingga sistem pembayaran non-tunai berbasis aplikasi lokal, semua ini harus segera diintegrasikan ke dalam layanan publik. Di sisi lain, edukasi kepada masyarakat harus dilakukan secara masif agar budaya baru dalam menggunakan transportasi publik dapat terbentuk, khususnya di kalangan generasi muda. Inovasi sosial seperti program “tukar sampah jadi tiket” pun layak diperluas, karena mampu menjawab dua persoalan sekaligus: pengelolaan sampah dan peningkatan aksesibilitas transportasi.
Kemitraan antara warga, koperasi, dan pelaku usaha lokal dapat menjadi kunci membangun transportasi publik yang lebih adaptif dan sesuai kebutuhan nyata masyarakat. Di Banjarmasin, pembangunan dermaga dan halte sungai seperti di Nol Kilometer hingga Trisakti Basirih menunjukkan langkah maju, namun target shelter air masih jauh dari tercapai dan integrasi antara moda darat dan sungai belum optimal. Ke depan, kita memerlukan sistem transportasi yang tidak hanya berjalan, tetapi berputar mulus layaknya roda yang menggerakkan Banua; nyaman, terjangkau, ramah lingkungan, dan menjadi kebanggaan bersama. Karena di setiap roda yang berputar, tersimpan harapan pemerataan ekonomi dan masa depan yang lebih adil bagi seluruh warga.