Oleh : Pita
Aktivis Muslimah
Genosida yang berlangsung cukup lama di Gaza Palestina sampai hari ini sudah semakin diluar batas kemanusiaan dan tentu kondisi tersebut bagi kita tidaklak mudah menghadapinya . Upaya yang dilakukan Zionis terus menerus dilakukan untuk mengosongkan Gaza dengan berbagai macam cara. Pengeboman yang setiap hari terjadi didepan mata, tidak hanya rumah-rumah bahkan fasilitas umum ikut serta menjadi sasaran, penyiksaan, pembunuhan dan pelaparan massal dengan sengaja dilakukan untuk membunuh tanpa menyentuh sekalipun ikut serta dilakukan. Sungguh kejam para Zionis yang sudah diluar ambang batas kemanusiaan. Setiap hari bahkan setiap detik nyawa orang tua, bahkan anak-anak Gaza menghilang.
Namun di sisi lain di tengah genosida yang ada, anak-anak Gaza tetap teguh, bahkan tetap belajar, berprestasi dan tidak kehilangan impian mereka untuk menjadi seperti apa. Anak-anak Gaza menjadi bukti bagi kita, ditengah gelapnya kehidupan, bahkan di bawah reruntuhan, mereka masih punya cahaya dalam menjalani kehidupan. Keterbatasan yang ada tidak menghalangi mereka untuk tetap belajar dan berkarya. Bahkan dibalik reruntuhan mereka tetap bermain seperti biasanya. Apa yang membuat anak-anak Gaza tetap teguh berdiri dihadapan penjajah padahal mental, fisik, mereka luar biasa diterpa?
Sementara itu, di sisi lain dibalik keteguhan anak-anak Gaza ini ada fenomena duck syndrome yang berjangkit pada mahasiswa yang digambarkan sebagai kondisi mahasiswa Universitas Stanford yang tampak tenang tetapi sebenarnya sedang berada di bawah tekanan besar.
Kondisi yang sama tentang fenomenal duck syndrome juga merambah di seluruh kampus dunia, termasuk di Indonesia, yang dimana rata-rata mahasiswa berupaya memenuhi ekspektasi mereka yang tinggi terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Akibatnya tekanan mental pun terjadi namun keadaan diri tidak sanggup menghadapi. Akibatnya di balik tampilan baik-baik saja ternyata mengalami tekanan, stres, dan kelelahan emosional. Ditambah ekspektasi tinggi dari orang lain yang membuat semua harus diikuti, budaya hidup yang harus ideal, kesuksesan berdasarkan materi, dan tekanan akademik serta persaingan ini mengakibatkan tidak ada standar dari diri sendiri tetapi dari orang lain.
Namun hari ini kita saksikan ditengah-tengah keterbatasan anak-anak Gaza semangat belajar menjadi generasi yang gemilang itu tetap selalu ada. Pembentukan generasi penjaga masjid Al Aqsa tetap dilakukan oleh para orang tua, para ibu-ibu bahkan nenek-nenek di Gaza. Pendidikan Qur’ani yang diberikan oleh para ibu di Gaza akan membentuk generasi yang berkepribadian Islam penjaga Al Aqsa terus diupayakan. Ketika dunia mereka dengan kehancuran di depan mata namun dengan keteguhan dan kekuatan para ibu di Gaza menjadi menteng pertahanan anak-anak mereka.
Tidak hanya itu, dalam keterbatasan yang ada anak-anak tetap melakukan kewajiban dalam kondisi apapun. Perang yang terjadi bukan sebuah alasan untuk meninggalkan kewajiban. Perang bukan juga alasan untuk berhenti belajar seperti yang lain, bahkan anak-anak di Gaza berhasil menyelesaikan pendidikan tanpa didampingi orangtua mereka yang telah syahid.
Kondisi yang dialami anak-anak Gaza berbanding terbalik dan sangat jauh berbeda pada mahasiswa yang berada dalam kondisi dalam tekanan sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme tuntutan dalam keberhasilan dalam hidup sebagai standar yang harus dipenuhi dan itu tidak jauh-jauh dengan keberhasilan materi semata. Maka kondisi ini membuat kalangan anak muda yang dijerat oleh sistem kapitalisme banyak mengalami stress maupun depresi.
Ditambah dengan kondisi lemah iman, dan tidak adanya pemahaman tentang hakikat hidup (dari mana, untuk apa, dan akan kemana), begitu pula tentang prioritas amal, bahkan rendahnya kesadaran politik bahwa sistem sekuler Kapitalisme hari ini yang menjadikan krisis multidimensi sehingga tidak bisa dihadapi secara individual.
Sistem kapitalisme menjadikan manusia yang bersifat individualisme, tidak peka terhadap lingkungan sekitar yang tidak baik-baik saja. Kapitalisme menjadikan standar kebahagiaan adalah dari keberhasilan meraih materi sebanyak-banyaknya. Sehingga hal ini membuat manusia sibuk dengan dunianya.
Berbeda dengan sistem Islam, dalam sistem Islam dengan pemahaman aqidah yang kuat serta paham tujuan hidup yang sesungguhnya sesuai tujuan penciptaan, kebahagiaan tertinggi bukan untuk meraih materi sebanyak-banyaknya tetapi tujuan hidup yang sesungguhnya mencari ridho Allah. Tujuan bahwasanya seorang muslim hidup didunia untuk beribadah kepada Allah.
Allah SWT berfirman, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz Dzariyat : 56)
Dengan adanya sistem islam maka penyatuan kekuatan kaum muslimin untuk mengakhiri perang di Gaza akan segera tiba, yang dimana sistem islam mampu mengomando tentara kaum muslimin untuk berjihad demi mengakhiri Zionis AS. Begitupula dengan anak-anak yang ada di Gaza, mereka akan merasakan kembali kehidupan yang indah dalam naungan syariat Islam, oleh karena itu perlu adanya perjuangan untuk menegakkan khilafah.
Khilafah dalam sistem Islam mampu menjaga umat ini dari musuh-musuh islam, tidak ada lagi yang namanya penindasan, karena khilafah sebagai perisai umat yang siap sedia menjaga. Sehingga dengan begitu perjuangan ini membutuhkan dukungan umat, termasuk para pemuda/mahasiswa muslim
untuk ikut serta membangkitkan perisai tersebut.
Ketangguhan anak-anak Gaza hari ini harus menjadi inspirasi bagi mereka yang terkena duck syndrome, dari ketangguhan mereka ini tentu menjadi bukti nyata ketinggian Islam dalam membina generasi.
Generasi yang tangguh terhadap badai apapun yang menerpa. Bahkan membuat kita sadar bahwa berpacu pada sistem kapitalisme hari ini dengan standar keberhasilan manusia akan membuat kita setres bahkan depresi. Sehingga semua itu membutuhkan penyadaran politik dan adanya kebutuhan perubahan sistem Islam sebagai solusi krisis multidimensi termasuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Zionis.
Karena sistem islamlah yang sudah terbukti mampu mengatasi semuanya.