Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

Atap Kalsel di Ujung Tanduk: Antara Proteksi atau Arogansi

×

Atap Kalsel di Ujung Tanduk: Antara Proteksi atau Arogansi

Sebarkan artikel ini
IMG 20250928 061629
Forum Diskusi Publik bertajuk “Taman Nasional: Arogansi atau Proteksi untuk Meratus?” yang digelar Sabtu malam (27/9/2025). (Kalimantanpost.com/Zahidi)

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Rencana penetapan Pegunungan Meratus sebagai kawasan taman nasional kembali menuai sorotan tajam. Dalam Diskusi Publik bertajuk “Taman Nasional: Arogansi atau Proteksi Untuk Meratus?” yang digelar Sabtu malam (27/9/2025) di Kopi Tradisi Banjarmasin, berbagai kalangan mengutarakan pandangannya. Forum ini dihadiri akademisi, aktivis lingkungan, praktisi hukum, dan perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan.

Diskusi dipandu oleh Ir. Sukhrowardi, M.AP., yang membuka forum dengan pemantik awal mengenai posisi penting Pegunungan Meratus. Ia menjelaskan pengetahuan dasar terkait Meratus sebagai bentang alam yang menyuplai air, menyimpan keanekaragaman hayati, serta menjadi ruang hidup masyarakat adat.

Kalimantan Post

Sukhrowardi juga memaparkan latar belakang rencana pembentukan Taman Nasional Meratus oleh pemerintah pusat. Menurutnya, wacana ini membawa harapan sekaligus kecemasan: apakah benar-benar untuk melindungi atau justru menjadi pintu masuk kepentingan lain yang berpotensi mengorbankan masyarakat adat.

Direktur Walhi Kalsel, Raden Rafiq S.F.W., menegaskan bahwa proyek taman nasional sarat kepentingan bisnis elite. Alih-alih memberi perlindungan, ia menilai kebijakan justru akan merugikan masyarakat adat.

“Kami sudah mengkaji, banyak dampak negatifnya. Masyarakat akan terusir, masyarakat adat akan terkriminalisasi oleh hak ulayatnya sendiri. Kalau pemerintah benar-benar bicara proteksi, seharusnya masyarakat adat dilibatkan, bukan malah dikorbankan,” tegasnya.

Praktisi hukum Dr. Frans S.H., M.H. mengingatkan bahwa pembahasan taman nasional tidak boleh hanya berpijak pada kepentingan manusia. Ia menekankan bahwa isu lingkungan harus dilihat dari sudut pandang ekosentris.

“Kembalikan ke dasar adanya republik ini. Sekarang zaman sudah berubah, sudah ekosentris. Bicara lingkungan pasti tidak bisa lepas dari environmental ethic. Alam adalah korban utama dari keserakahan manusia. Kita belum pernah merasa berdosa merusak hutan,” ujarnya.

Baca Juga :  Diskominfo Kalsel dan 13 Kabupaten/Kota Teken Komitmen Bersama, Dorong Pelayanan Publik Digital

Aktivis lingkungan, Kisworo Dwi Cahyo, menegaskan bahwa Meratus merupakan bentang ekologis yang menyatukan sembilan kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. “Meratus itu tidak bisa dipandang hanya HST, Tanbu, atau Kotabaru. Versi Walhi, Meratus ada di 9 kabupaten/kota. Bagi kami, Meratus adalah atap Kalsel. Kalau atap ini bocor, seluruh ruang Kalsel akan terkena dampaknya. Karena itu asas tertinggi perjuangan Walhi adalah keadilan,” jelasnya.

Dari kalangan akademisi, Siti Mauliana Hairini S.IP., M.A. dari FISIP ULM menyoroti soal melemahnya kewenangan daerah. Ia menyebut otoritas pemerintah daerah kini semakin tereduksi akibat dominasi pemerintah pusat.

“Otoritas pemerintah daerah mulai direbut oleh pemerintah pusat. Padahal otoritas ini penting untuk melambangkan kedekatan masyarakat dengan pemerintah. Kalau daerah tidak lagi punya otoritas, maka masyarakat daerah, termasuk masyarakat adat, akan sulit berkomunikasi dengan pemerintah pusat,” paparnya.

Kondisi memprihatinkan juga diungkapkan Dr. Muhamad Pazri, S.H., M.H., Presiden Direktur Borneo Law Firm. Ia menilai proyek taman nasional rawan penyimpangan. “Mark up proyek sudah di atas 50 persen. Saya sepakat Meratus adalah atap Kalsel. Walhi secara akademik sudah dekat dengan masyarakat Meratus, tapi yang kita butuhkan sekarang adalah legal standing, misalnya berupa perda. Itu penting sebagai landasan hukum agar ketika terjadi persoalan, kita benar-benar punya kekuatan,” tegas Pazri.

Ia menambahkan, pemerintah harus jujur dan melibatkan semua pihak. “Kalau semua kalangan dilibatkan, saya setuju taman nasional. Tapi faktanya, konsep taman nasional yang ada justru cenderung mengusung konsep asing. Oligarki masuk, asing masuk, karena pemerintah sendiri tidak cukup modal. Demi keadilan, legal standing ini harus segera didorong di era gubernur sekarang,” ujarnya.

Diskusi publik yang berlangsung hangat itu menegaskan bahwa Meratus tidak boleh hanya menjadi proyek simbolis pemerintah. Semua narasumber sepakat, proteksi sejati hanya terwujud jika masyarakat adat dilibatkan, otoritas daerah diperkuat, dan ada landasan hukum yang jelas. Suasana diskusi di Kopi Tradisi malam itu mencerminkan kepedulian kolektif masyarakat sipil terhadap nasib Meratus. Dari nada tegas hingga argumentasi akademis, semua berpadu dalam satu benang merah: menjaga hutan bukan semata demi manusia, melainkan juga demi alam semesta yang terus terancam keserakahan.

Baca Juga :  Kalsel Raih Apresiasi Nasional, Provinsi Kedua Tercepat Bangun Tim Siber Lengkap‎‎

Di penghujung acara, Ir. Sukhrowardi, M.AP. selaku moderator sekaligus pemandu diskusi menutup dengan sebuah refleksi.

“Meratus adalah atap Kalsel. Pertanyaannya sekarang, apakah atap ini akan benar-benar diproteksi atau justru roboh karena arogansi? Tugas kita bersama untuk memastikan Meratus tetap kokoh, untuk manusia, masyarakat adat, dan alam semesta,” pungkasnya disambut tepuk tangan audiens. (Sfr/KPO-1)

Iklan
Iklan