Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

Jejak PKI di Kalimantan Selatan: Riak yang Reda di Bumi Antasari

×

Jejak PKI di Kalimantan Selatan: Riak yang Reda di Bumi Antasari

Sebarkan artikel ini
IMG 20250930 WA0033 1 e1759222126451

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Pada dekade 1950-an hingga awal 1960-an, Kalimantan Selatan menjadi salah satu daerah di luar Jawa yang merasakan kuatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dari kota hingga pelosok desa, struktur organisasi partai ini terbentuk rapi. Suasana politik Banua kala itu pun ikut mewarnai masa demokrasi yang masih muda.

Kalimantan Post

Sejarawan Kalsel, Dr. Mansyur, MHum, menjelaskan, PKI memang memiliki basis cukup besar di Bumi Antasari. Mereka tidak hanya mengandalkan partai, tetapi juga membangun organisasi sayap untuk masuk ke berbagai lapisan.

“PKI punya cara khas, yakni melalui ormas seperti SOBSI untuk buruh, BTI untuk petani, Pemuda Rakyat, Gerwani, hingga Lekra di bidang budaya,” tutur Mansyur.

Dengan strategi itu, PKI meraih simpati luas. Dalam Pemilu 1955 memang belum dominan, tetapi pada pemilihan DPRD berikutnya suara mereka meningkat.

Bahkan, menurut catatan Mansyur, separuh dari 849 desa di Kalsel sudah memiliki comite PKI. “Itu menunjukkan PKI sempat berada di masa keemasan di Banua,” tambahnya.

Namun, geliat itu memunculkan keresahan. Sebagian masyarakat menilai ideologi komunis bertentangan dengan nilai agama dan budaya Banjar.

Kekhawatiran itu akhirnya terjawab pada 22 Agustus 1960, ketika Panglima Kodam X Lambung Mangkurat Kolonel Hasan Basry mengambil langkah tegas membekukan aktivitas PKI dan organisasi afiliasinya di Kalimantan Selatan.

Langkah Hasan Basry sempat mendapat teguran dari Presiden Soekarno, tetapi ia tetap pada pendiriannya.

Menurut Dr. Mansyur, sikap Hasan Basry berangkat dari kesadaran historis Banua yang religius.

“Hasan Basry melihat, jika PKI terus dibiarkan berkembang, bisa menimbulkan benturan dengan kultur lokal. Itu sebabnya ia berani mengambil keputusan, meski bertentangan dengan pusat,” ujarnya.

Ketika peristiwa G30S pecah pada 1 Oktober 1965, kondisi Kalsel relatif aman. Tidak ada pembantaian massal seperti di Jawa dan Bali. Situasi ini, kata Mansyur, tidak lepas dari langkah Hasan Basry yang lebih dulu membatasi ruang gerak PKI. “Jadi ketika 1965 meledak, basis PKI di Kalsel sudah lemah,” jelasnya.

Baca Juga :  Komdiphoria 2025 Jadi Ajang Kreatif dan Edukatif, Diskominfo Kalsel Gandeng Generasi Muda Banua

Peran tokoh agama juga ikut meredam. KH Idham Chalid, ulama NU asal Amuntai sekaligus tokoh politik nasional, menjadi figur yang menenangkan. Kehadirannya menjaga agar percaturan politik di Banua tetap terkendali, tanpa harus jatuh dalam konflik berdarah.

Akhirnya, jejak PKI di Kalsel surut, meninggalkan catatan sejarah yang berbeda dari daerah lain.

“Banua punya dinamika sendiri. Meski PKI pernah jaya, peran tokoh lokal membuat gelombangnya cepat reda,” tutup Dr. Mansyur. (sfr/KPO-4)

Iklan
Iklan