Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Simbiosis Manusia dan Bumi : Oase Solusi di Tengah Krisis Iklim

×

Simbiosis Manusia dan Bumi : Oase Solusi di Tengah Krisis Iklim

Sebarkan artikel ini
IMG 20251007 WA0031

Oleh : Eddy Rusman, SP, MP, CRP
Praktisi Keberlanjutan, Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute.

Emisi GRK dan Krisis Iklim Global

Kalimantan Post

Sejak manusia hadir di bumi, hubungan atau simbiosis antara manusia dan bumi pun dimulai. Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia hingga memasuki revolusi industri, maka hubungan yang terjadi pun sudah semakin tidak seimbang karena pengerukan sumber daya alam secara besar-besaran seperti deforestasi dan perubahan tata guna lahan, eksploitasi energi fosil (batu bara, minyak, mineral-mineral lainnya), pertanian dan peternakan yang intensif serta pengelolaan limbah yang buruk, yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya keseimbangan alam hingga meningkatnya produksi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mendorong terjadinya kerusakan iklim bumi.

Tercatat bahwa kenaikan rata-rata suhu global pada tahun 2024 mencapai 1,560C -1,60C (Copernicus Climate Change Service (Jan 2025). Bahkan menurut Laporan Emissions Gap Report 2024 (UNEP, Mei 2025) menunjukkan bahwa dunia masih berada pada jalur menuju kenaikan suhu antara 2,60C hingga 3,10C pada akhir abad ini, yang mengindikasikan bahwa emisi GRK global masih jauh dari tingkat yang diperlukan untuk mencapai target Perjanjian Paris sebesar 1,50C -2,00C. Dengan jumlah emisi GRK global tahun 2024 mencapai rekor tertinggi, diperkirakan 53,2 Gigaton (Gt) CO2 ekuivalen (CO2eq) (tidak termasuk penggunaan lahan), dimana menurut laporan JRC (Sept 2025) Indonesia masuk dalam ranking 6 dari 8 besar (Tiongkok, AS, India, Uni Eropa, Rusia, Indonesia, Brasil, dan Jepang), dengan jumlah emisi GRK yang dilaporkan terakhir (2023) sebesar 1.360,35 juta ton CO2 ekuivalen (CO2eq) (KLHK). Sehingga krisis iklim sudah menjadi masalah yang urgen, karena sudah menjadi realitas yang hadir di depan mata dan ancaman di masa depan semakin terbuka.

Tren dan Terjadinya Bencana

Peningkatan suhu global yang terus memecahkan rekor, badai yang makin mematikan, serta kekeringan ekstrem yang meluas adalah manifestasi dari kegagalan kolektif manusia dalam menjaga keseimbangan planet ini. Hubungan manusia dan bumi (alam) telah lama bergeser dari simbiosis mutualisme menjadi parasitisme, dan berdampak terhadap terjadinya: (1) Bencana Hidrometeorologi: Gelombang panas ekstrem, seperti yang melanda Eropa dan Asia Tenggara, kini semakin sering dan intens. Laporan dari Global Water Monitor 2024 menyebutkan bahwa miliaran orang di lebih dari 100 negara terpapar dampak cuaca ekstrem. Banjir bandang, kekeringan berkepanjangan, dan tanah longsor telah menewaskan ribuan jiwa dan memaksa puluhan juta orang mengungsi, dengan kerugian ekonomi yang mencapai ratusan miliar dolar AS. (2) Pemanasan yang Melampaui Batas Kritis: Para ilmuwan memperingatkan bahwa pemanasan di atas 1,5°C dalam jangka panjang akan memicu bencana besar pada sistem alam. Kenaikan permukaan air laut terus mengancam wilayah pesisir dan negara-negara kepulauan, termasuk sebagian besar wilayah di Indonesia. Dan (3) Ancaman Kesehatan dan Ketersediaan Pangan: Suhu yang lebih panas dan pola cuaca yang tak menentu mengganggu produksi pangan (misalnya, penurunan hasil panen jagung akibat kekeringan di Afrika) dan memperburuk masalah kesehatan publik, termasuk meningkatnya polusi udara dan penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor. Bahkan kerugian Indonesia karena cuaca ekstrim mencapai Rp. 100 triliun dan terus meningkat hingga mencapai 40% PDRB 2030 (BI dan Menko Marvest, 2024).

Baca Juga :  AYO BONGKAR!

Pandangan Pakar

Para pakar dan ilmuwan iklim, baik di tingkat global maupun nasional, sepakat bahwa situasi saat ini adalah “kode merah” untuk kemanusiaan.

Profesor Albert van Dijk (Pemimpin Studi Global Water Monitor) menekankan bahwa perubahan iklim telah mengganggu siklus air global secara signifikan, menyebabkan hujan lebat yang mematikan dan kekeringan yang parah. Ia menegaskan, “Perubahan iklim telah memperburuk intensitas siklon tropis dan kekeringan. Hujan lebat dan badai kini menjadi lebih sering dan mematikan.”

Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati di Indonesia, berulang kali memperingatkan bahwa kita “berpacu dengan waktu.” Ia mencontohkan, lonjakan suhu yang terjadi dalam kurun 30-40 tahun saat ini setara dengan perubahan suhu yang terjadi dalam jutaan tahun pada kepunahan dinosaurus. Analisisnya menegaskan bahwa kolaborasi dan kecepatan bertindak adalah kunci untuk menyelamatkan masyarakat dari dampak terburuk krisis iklim.

Analisis dari pandangan ini menunjukkan konsensus: bahwa ancaman sudah nyata, dan tindakan mitigasi serta adaptasi harus segera ditingkatkan secara drastis, jauh melampaui komitmen yang ada saat ini.

Sehingga respon penting terhadap kondisi di atas dan menjadi faktor kunci yang mendesak adalah dengan beralih ke model atau gaya hidup yang berkelanjutan bukan lagi menjadi pilihan namun sebuah taruhan bagi kelangsungan peradaban manusia untuk masa yang akan datang.

Simbiosis: Konsep dan Praktik

Untuk keluar dari krisis iklim, manusia harus kembali membangun simbiosis dengan Bumi sebagai suatu hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme) di mana aktivitas manusia seharusnya mendukung sistem alam, alih-alih merusaknya. Sebuah konsep simbiosis iklim yang berarti memahami bahwa kesehatan ekosistem adalah prasyarat untuk kesejahteraan manusia serta praktik hidup berkelanjutan adalah implementasinya, seperti:

(1) Transisi Energi: Beralih total dari bahan bakar fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti surya, angin, dan panas bumi.

(2) Ekonomi Sirkular: Menggantikan model ambil-buat-buang (take-make-dispose) dengan sistem yang memprioritaskan daur ulang, perbaikan, dan pengurangan limbah.

(3) Restorasi Ekosistem: Mengembalikan fungsi hutan, mangrove, dan lahan basah sebagai penyerap karbon alami.

(4) Implementasi Praktis: Di tingkat individu, ini berarti menghemat air dan listrik, mengurangi konsumsi daging, menggunakan transportasi publik, serta memilah dan mengurangi sampah. Di tingkat korporasi dan pemerintah, ini berarti investasi masif pada teknologi hijau, regulasi dan aktivitas operasional yang mendukung net-zero emissions.

(5) Emisi GRK sebagai driver kinerja: Penurunan emisi GRK tidak hanya sebagai slogan institusi, namun lebih dalam lagi perlu simasukan sebagai KPI target sehingga tidak hanay terukur namun juga berdampak (baik dalam kontribusi terhadap kebijakan Pemerintah juga dapat mendorong aksi carbon offset dan carbon trading).

Baca Juga :  DPR dan Luka Kolektif Rakyat: Jabatan is Privilege

Bentuk Inisiatif Nyata

Beberapa inisiatif nyata telah menunjukkan bagaimana simbiosis manusia-bumi dapat diwujudkan, diantaranya:

Rehabilitasi Mangrove: Indonesia menargetkan rehabilitasi ratusan ribu hektar mangrove, yang terbukti lebih efisien dalam menyerap karbon daripada hutan tropis biasa. Program ini tidak hanya berfungsi sebagai mitigasi iklim, tetapi juga sebagai adaptasi dengan melindungi wilayah pesisir dari abrasi dan naiknya permukaan air laut, sekaligus meningkatkan mata pencaharian masyarakat lokal.

Inisiatif Transisi Energi PLN: PT PLN (Persero) berupaya menjalankan transisi energi menuju target Net Zero Emission (NZE) dengan mengurangi ketergantungan pada batu bara dan meningkatkan suplai dari pembangkit EBT baru, menunjukkan komitmen sektor energi pada mitigasi iklim.

Bahkan juga Komitmen Global: semakin banyak negara yang memperbarui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) mereka, dengan menaikkan target penurunan emisi (Indonesia, misalnya, menargetkan penurunan emisi hingga 43,2% di 2030). Selain itu, kemajuan teknologi AI mulai digunakan oleh badan seperti BMKG untuk meningkatkan akurasi prediksi cuaca ekstrem, membantu adaptasi dan sistem peringatan dini.

Tantangan dan Peluang

Upaya membangun simbiosis ini tidak bebas dari rintangan atau tantangan, namun juga membuka peluang besar.

Tantangan dan peluang tersebut dalam hal:

  • Regulasi & Kebijakan: Keterbatasan dana dan ketidakpastian kebijakan yang menghambat investasi hijau.
  • Teknologi & Infrastruktur: Kesenjangan dalam adopsi teknologi EBT dan kurangnya infrastruktur pendukung (misalnya, jaringan listrik pintar).
  • Budaya & Kesadaran: Kurangnya kesadaran masyarakat akan urgensi krisis iklim dan resistensi terhadap perubahan gaya hidup.
  • Kreatif & Inovatif: Kreativitas dan inovasi pengusaha dalam membuat formula aktivitas ekonominya masih belum memperhatikan keselarasan dengan keterbatasan sumber serta potensi dampak terhadap alam sekitarnya.

Penutup

Krisis iklim adalah ujian terbesar kemanusiaan abad ini. Data telah berbicara bahwa Bumi telah mencapai titik didih. Kita tidak bisa lagi melanjutkan relasi parasitisme yang menghabiskan sumber daya alam secara rakus. Solusinya terletak pada pembangunan kembali simbiosis sejati dengan planet (bumi) ini, di mana setiap tindakan manusia didasarkan pada prinsip keberlanjutan dan keadilan.

Setiap perubahan besar pasti dimulai dari tindakan kecil dan keputusan Kita hari ini dapat dimulai dengan menyalakan lampu seperlunya, menggunakan air secukupnya, memilih untuk menggunakan energi bersih, meninggalkan kebiasaan menggunakan bahan-bahan yang tidak dapat terurai hingga mendukung kebijakan ramah lingkungan, akan menjadi kontribusi vital. Kolaborasi antara stakeholder (pemerintah, sektor swasta, ilmuwan, dan Masyarakat, dll) adalah solusi terbaik. Mari Kita jadikan krisis ini sebagai momentum untuk bertransformasi: dari penghuni yang merusak, menjadi penjaga yang berkesadaran, demi masa depan Bumi yang layak huni bagi semua, terutama untuk memenuhi kebutuhan generasi anak-cucu penerus kehidupan kita.

Iklan
Iklan