Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

“Menu Belasan Ribu Tak Mungkin Bergizi”, Akademisi Poltekin Kritik Kebijakan MBG

×

“Menu Belasan Ribu Tak Mungkin Bergizi”, Akademisi Poltekin Kritik Kebijakan MBG

Sebarkan artikel ini
IMG 20251014 WA0053
KRITISI MBG - Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Bunga Kalimantan Banjarmasin, H Rusdiansyah dan Dr. Muhammad Uhaib As’ad mengkritisi program MBG. (Kalimantanpost.com/zahidi).

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Dua akademisi dari Politeknik Indonesia Banjarmasin (Poltekin) melontarkan kritik keras terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat.

Mereka menilai, kebijakan tersebut lemah dari sisi konsep, pengawasan mutu, hingga keamanan pangan, bahkan cenderung berisiko bagi keselamatan anak-anak sekolah.

Kalimantan Post

Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Bunga Kalimantan Banjarmasin yang menaungi Poltekin, H Rusdiansyah menegaskan pentingnya sertifikasi dan kompetensi penyaji agar tidak terjadi kesalahan fatal dalam pengolahan makanan.

“Pertama, setiap penyaji harus punya sertifikasi, dan itu harus dikeluarkan Dinas Kesehatan atau BPOM. Penyaji juga sebaiknya lulusan tata boga agar memahami teknik pengolahan dan penyajian yang benar,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemahaman jarak antara pengolahan dan penyajian, seleksi bahan baku yang ketat, serta kebersihan dapur dan peralatan merupakan prasyarat utama dalam penyajian makanan bergizi.

“Kalau semua aspek ini dipenuhi, saya yakin tidak akan ada masalah dalam penyajian MBG,” tegasnya.

Sementara itu, Dr. Muhammad Uhaib As’ad, pakar kebijakan publik dan akademisi Poltekin Banjarmasin, menilai kebijakan MBG terlalu disederhanakan dan tidak menyentuh akar persoalan peningkatan kualitas SDM.

“Saya sejak awal menilai program ini tidak terlalu urgent. Kecerdasan anak bangsa tidak hanya ditentukan oleh gizi, tetapi juga faktor lingkungan dan finansial keluarga,” ujarnya.

Menurut pria yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur Politeknik Indonesia Banjarmasin tersebut, pemerintah terlalu menitikberatkan pada aspek gizi tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan geografis masyarakat.

“Ambil contoh anak-anak di Pulau Sembilan atau Masalembu. Setiap hari mereka makan ikan segar, gizinya jauh melampaui standar pemerintah. Jadi bagi mereka, program seperti ini tidak relevan,” katanya.

Uhaib juga mempertanyakan standar gizi yang dapat dicapai dari menu senilai Rp10 ribu sampai 15 ribu per anak per hari.

Baca Juga :  Iffah Ainur Sebut MBG, Cermin Politik Pencitraan Bukan Pengurusan Umat

“Ini sangat absurd. Apakah dengan nominal segitu bisa memenuhi standar gizi nasional?,” katanya.

“Tidak mungkin Negara mengeluarkan ratusan triliun untuk program ini, tapi baru beberapa bulan sudah muncul kasus keracunan massal. Ini kebijakan yang perlu dihentikan dan dievaluasi total,” tegasnya.

Ia menyerukan agar pemerintah menghentikan sementara program MBG dan mengonversi anggarannya menjadi bantuan langsung kepada orang tua siswa agar pengelolaan gizi dilakukan sesuai kebutuhan keluarga.

“Kalau dibiarkan terus, ini bisa menjadi Indonesia Darurat SDM,” ujarnya.

Di akhir pernyataannya, Uhaib mengingatkan agar pemerintah tidak menutup mata terhadap potensi kepentingan lain di balik kebijakan ini.

“Bisa saja ada kepentingan terselubung atau bahkan pengaruh luar yang bermain. Pemerintah harus tegas sebelum semakin banyak korban,” tutupnya. (sfr/KPO-4)

Iklan
Iklan