Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Derap Nusantara

Media, Pesantren, dan Luka Kebudayaan

×

Media, Pesantren, dan Luka Kebudayaan

Sebarkan artikel ini
IMG 20251015 WA0041

Oleh : Oleh Dr Eko Wahyuanto *)

BELAJAR di pesantren bukanlah sekadar menempuh ilmu dalam institusi pendidikan, tetapi panggilan jiwa spiritual untuk dapat menghadapi tantangan kerusakan moral di tengah gempuran modernitas.

Kalimantan Post

Pesantren adalah ruang sakral pembelajaran dalam format inklusif, untuk mendalami ilmu agama, dan memupuk mimpi menjadi manusia yang lebih utuh. Sebab pesantren adalah benteng moral bangsa, tempat lahirnya tokoh-tokoh besar, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), hingga KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).

Belajar melalui pesantren bukan hanya soal mengejar ilmu, tetapi juga adab, nilai yang kini kian terkikis di tengah hiruk-pikuk urban.

Kesalahan Pandang

Hari ini kita disuguhi tema tentang pesantren yang memicu polemik di ruang publik. Tagar #Boikot Trans7 di platform X, melalui episode Xpose Uncensored di Trans7 mengundang berbagai pandangan. Bagaimana seharusnya media merumuskan agenda setting-nya, sehingga melahirkan karya jurnalistik yang mengedukasi, bukan justru menjurus pada pelecehan budaya.

Media, termasuk stasiun televisi, tidak seharusnya mengumbar narasi sensasionalitas, mengejar rating, tetapi mengorbankan kehormatan sebuah tradisi yang telah berabad-abad menjadi pilar budaya bangsa.

Filsuf komunikasi Jürgen Habermas pernah memperingatkan bahwa media yang kehilangan etika publik hanya akan menghasilkan “distorsi komunikatif.” Alih-alih mencerahkan, media semacam ini justru merusak ruang publik, memicu polarisasi, dan mengkhianati tanggung jawabnya sebagai pilar demokrasi.

Media yang melakukan kesalahan dengan agenda setting ceroboh, maka “luaran produk” kontennya bisa menjelma menjadi pesan yang “agitatif”. Narasi seperti itu bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya, karena berpotensi merendahkan institusi, seperti pesantren, yang telah terbukti melahirkan pemimpin-pemimpin besar bangsa. Media yang gagal memahami konteks budaya lokal hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan publik.

Nyawa Media

Sebagaimana makna yang ditegaskan dalam Undang-Undang Pers Nomor 4 tahun 1999, sensasionalisme bukanlah kebebasan pers, tetapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai jurnalisme itu sendiri. Maka, media harus memahami prinsip fundamental dalam menjalankan fungsinya sebagai alat penyebarluasan konten pendidikan yang mencerahkan publik.

Baca Juga :  Pelindo Regional 3 Sub Regional Kalimantan Dorong Generasi Cerdas Melalui Program Pelindo Mengajar

Kejadian seperti itu bukanlah yang pertama di dunia. Di India, pada 2019, sebuah stasiun televisi swasta memicu kontroversi serupa, dengan menayangkan dokumenter yang menggambarkan madrasah sebagai sarang ekstremisme. Hasilnya, protes massal meletus di berbagai kota, diikuti boikot terhadap stasiun tersebut dan pengiklan yang mendukungnya. Pemerintah India, bahkan membentuk komite investigasi untuk meneliti pelanggaran etika media.

Kasus ini menunjukkan bahwa ketika media mengabaikan sensitivitas budaya, dampaknya bukan hanya kemarahan publik, tetapi juga hilangnya legitimasi institusi media itu sendiri. Seluruh media di Indonesia, seharusnya belajar dari kasus ini.

Di Indonesia, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan tegas melarang konten yang menghina nilai budaya dan agama. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 4, juga menegaskan tanggung jawab media untuk menghormati keberagaman budaya dan agama.

Kedua regulasi itu seharusnya dipahami sebagai “nyawa bagi media” yang harus terus dirawat. Kejahatan narasi seringkali terjadi bukan hanya pada kontennya, tetapi juga pada kegagalan untuk berpikir kritis tentang dampaknya. Seperti yang pernah dikatakan filsuf Hannah Arendt, bahwa kejahatan sering kali terjadi bukan karena niat jahat, tetapi karena absennya refleksi kritis.

Media tidak boleh gagal merenungkan konsekuensi dari kebijakan redaksional yang mereka susun, agar tidak menuai kontroversi.

Permintaan maaf karena telah terbukti melakukan kesalahan harus dalam bentuk klarifikasi di ruang terbuka dan melibatkan para pihak, sehingga dapat meredam gelombang protes susulan yang berakibat lebih runyam.

Aksi boikot semacam ini bukan ledakan dangkal sebuah kemarahan, tetapi sekaligus simbol kekecewaan kolektif, yang harus menjadi pelajaran bahwa media harus mampu menghormati adab, sebagaimana pesantren telah mengajarkannya selama berabad-abad.

Seperti yang diingatkan oleh Marshall McLuhan, “medium adalah pesan.” Jika pesan yang disampaikan media adalah penghinaan, maka kehormatan publik adalah harga yang harus dibayar.

Kebebasan Beradab

Apalah makna kebebasan berekspresi jika hanya digunakan untuk merendahkan? Media, sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki tanggung jawab untuk membangun, bukan menghancurkan.

Baca Juga :  Kualifikasi Piala Dunia 2026: Indonesia Juru KunciKlasemen Sementara

Pesantren, dengan segala kekurangannya, telah terbukti sebagai institusi yang mampu bertahan di tengah gempuran zaman. Ia mengajarkan adab, kesederhanaan, dan keteguhan hati, nilai-nilai yang kini justru dibutuhkan di era digital yang penuh hiruk-pikuk ini.

Kasus Trans7 telah mengingatkan kita bahwa media bukan sekadar penyampai informasi, tetapi juga penjaga moral publik. Jika media gagal menjalankan peran ini, maka ia tidak lebih dari “amplifier” yang bising, tanpa makna.

Kasus ini juga mengajak kita merenungkan peran kita sebagai konsumen media. Boikot bukanlah penyelesaian akhir, tetapi harus menjadi titik awal dari kesadaran kolektif bahwa kita memiliki kuasa untuk menuntut akuntabilitas. Seperti yang pernah dikatakan oleh filsuf Prancis Michel Foucault, kekuasaan bukan hanya milik mereka yang berada di atas, tetapi juga mereka yang memilih untuk bersuara.

Publik Indonesia telah menunjukkan bahwa suara mereka bukan hanya teriakan keras, tetapi gema dari nilai-nilai luhur yang ingin mereka pertahankan. Pesantren, dengan segala simbolismenya, adalah bagian dari identitas bangsa. Merendahkannya sama dengan merendahkan diri kita sendiri.

Di tengah kemelut ini, kita diajak untuk kembali pada esensi adab, bahwa menghormati yang berbeda, merenung sebelum bertindak, dan memahami sebelum menilai hal penting dalam merumuskan kebijakan.

Dari kegagalan ini, kita dapat belajar bahwa media, seperti manusia, harus terus-menerus belajar untuk menjadi lebih baik. Karena pada akhirnya, seperti yang pernah dikatakan oleh filusuf Jawa, Ronggowarsito, “sing sapa salah, bakal seleh”, siapa yang salah, akan terbukti kalah. Dan kekalahan stasiun televisi akibat kasus pemberitaan mengenai pesantren ini bukanlah pada boikot, tetapi pada kehilangan kepercayaan publik, sesuatu yang jauh lebih mahal dari sekadar rating. (Antara/Tim Kalimantampost.com)

*) Dr. Eko Wahyuanto, Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Yogyakarta

Ilustrasi – sejumlah santri beraktivitas di area pondok pesantren yang ada di wilayah Kabupaten Tangerang, Banten. (Antara)

Iklan
Iklan