Oleh : Nikmah Faizah, S.Pd
Pemerhati Pendidikan
Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu program unggulan Presiden terpilih telah berjalan sejak awal 2025 lalu di beberapa daerah. Banyak pro kontra terkait program ini, termasuk banyak hal yang menjadi koreksi setelah berjalannya MBG. Tidak hanya terkait dana, tetapi ada masalah-masalah lain yang hadir mengiringi program MBG. Salah satu yang menjadi perhatian khususnya di kabupaten Banjar baru-baru ini adalah terjadinya kasus keracunan dibeberapa sekolah.
Sebanyak 133 pelajar diduga keracunan dari program Makanan Bergizi Gratis (MBG) pada jum’at 10 Oktober 2025 pukul 10.30 Wita dan dilarikan ke RSUD Ratu Zalecha Martapura. Sampai esok paginya masih ada puluhan siswa yang kembali berdatangan ke IGD rumah sakit tersebut. (Kumparan.com/ Sabtu, 11 Oktober 2025).
Kejadian yang sebelumnya hanya terjadi diluar banua, sekarang juga kita alami. Gubernur Kalimantan Selatan, Muhidin, mengingatkan agar seluruh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) tidak abai terhadap standar kebersihan dapur dan peralatan masak. Evaluasi menyeluruh akan dilakukan dan pemerintah daerah akan memberikan sanksi tegas bagi penyedia MBG yang lalai menjaga kebersihan dan keamanan pangan. (tribunnews.com/ Sabtu, 11 Oktober 2025).
Keracunan akibat mengkonsumsi MBG tidak hanya satu dua kali terjadi, Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, diantaranya terkontaminasi oleh mikroorganisme baik bakteri, virus dan mikroba lain, maupun karena manajemen proses yang buruk serta kontaminasi zat kimia. Hal ini rentan terjadi karena setiap SPPG rata-rata harus menyiapkan 3.000 porsi per hari. Dengan jumlah porsi yang sangat besar, rentang waktu antara makanan dimasak, packing dan pengantaran hingga akhirnya dikonsumsi menjadi lebih lama.
Selain itu, saat sistem yang diterapkan saat ini menjunjung tinggi materialisme, dimana segala sesuatu diukur dari segi materi. Maka kita tidak bisa menapikkan SPPG yang dikelola pebisnis ‘nakal’ ingin meraih profit dengan prinsip mengeluarkan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Akhirnya kualitas makanan terbaik bukanlah menjadi prioritas utama.
Peran negara saat ini juga semakin kerdil. Fungsinya telah direduksi menjadi sekedar regulator administratif, bukan penjaga yang benar-benar serius menjamin keamanan pangan rakyatnya. Buktinya, nyawa rakyat hanya menjadi angka statistik dalam laporan. Bahkan Presiden mengklaim bahwa kasus keracunan MBG hanya 0,0017 persen. Tentu saja komentar ini menuai protes, karena seharusnya pemerintah fokus pada keselamatan anak-anak yang menjadi korban, bukan pada angka statistik yang mengecikan masalah.
Berbeda dalam sistem islam, negara tidak hanya sebagai regulator. Fungsi ri’ayah atau mengurusi setiap urusan rakyatnya menjadi prioritas yang utama. Setiap pengaturan yang dilakukan akan berstandar pada aturan Allah swt, Tuhan pencipta alam semesta. Allah telah memberikan seperangkat aturan dengan sangat sempurna untuk hal-hal yang kecil seperti adab makan dan lain sebagainya, hingga untuk perkara besar seperti pengaturan dalam bernegara.
Negara dan produsen makanan bertanggung jawab untuk memastikan setiap makanan yang beredar tidak hanya halal tetapi juga thoyyib. Dengan ketaqwaan individu yang terus ditanamkan negara agar tertancap kuat disetiap rakyat, termasuk juga pebisnis, akan menjadikan sikap berhati-hati dan tidak curang karena Allah maha mengetahui segalanya. Termasuk keyakinan bahwa setiap individu akan mempertanggung jawabkan apa-apa saja yang dilakukannya. Walaupun lepas dari pengawasan manusia, tetapi tidak dari pengawasan Allah SWT, sehingga mengejar profit tetapi tidak menghalalkan segala cara.
Didalam Islam masyarakat juga mempunyai peran kontrol. Ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar yang membuat masyarakat tidak akan tinggal diam jika mengetahui ada pelanggaran terhadap hukum syara dan hal-hal yang merugikan masyarakat umum. Mereka akan aktif mengingatkan atau melaporkan jika ada pihak-pihak yang lebih mengutamakan keuntungan dalam bisnisnya dibandingkan kejujuran.
Negara juga akan bergerak aktif mengawasi melalui Qadhi Hisbah agar tidak terjadi kecurangan dan memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat. Negara tidak menunggu terjadi kasus terlebih dahulu, apalagi sampai kasus yang sama berulang beberapa kali, tetapi negara akan berusaha mencegah sebelum terjadi. Tidak menunggu banyak korban keracunan dulu baru bertindak, tetapi sebelum keracunan terjadi negara akan meneliti dan menganalisa hal-hal yang bisa memberikan dampak negatif pada rakyat. Karena keselamatan atau nyawa seorang manusia itu dalam pandangan Islam bahkan lebih berharga dari dunia dan seisinya.
Jika terjadi pelanggaran, maka Qadhi hisbah berwenang menjatuhkan hukuman Ta’zir, yakni hukuman yang jenis hukumannya ditentukan oleh hakim dan tidak ditentukan oleh syari. Dengan sanksi hukum yang tegas dan tidak berbelit-belit, akan dapat mewujudkan keadilan dengan fungsi hukum islam sebagai pencegah dan penebus, yakni mencegah oranglain melakukan kesalahan yang sama dan menjadi penebus dosa bagi pelaku.
Dengan sistematika seperti ini, kasus keracunan karena pangan akan dapat dicegah sejak dini. Masyarakat tidak akan merasa was-was dalam mengkonsumsi makanan yang beredar ditengah-tengah mereka karena yakin makanan tersebut halal dan thoyyib dengan pengawasan yang ketat oleh negara untuk melindungi rakyatnya. Wallahu A’lam bi ashshowab.












