Oleh: Dr. Agatha Jumiati, S.H, M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh berita robohnya bangunan pondok pesantren di sejumlah daerah. Santri luka-luka, beberapa bahkan meninggal dunia. Setelah diselidiki, diketahui bahwa bangunan tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) yang kini dikenal sebagai Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan dibangun tanpa melibatkan penyedia jasa konstruksi bersertifikat sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Tragedi ini bukan sekadar musibah, melainkan konsekuensi langsung dari ketidaktaatan terhadap hukum. Bukan hukum yang gagal melindungi manusia, tetapi manusialah yang gagal menghormati hukum.
UU Jasa Konstruksi secara tegas mengatur bahwa setiap pembangunan harus dilakukan oleh tenaga ahli bersertifikat dan memenuhi standar keselamatan. Pasal 24 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung juga mewajibkan setiap pembangunan memperoleh IMB (kini PBG) sebelum dilaksanakan.
Tanpa izin tersebut, tidak ada jaminan bahwa: 1. Struktur bangunan dirancang oleh insinyur yang memahami daya dukung tanah dan material; 2. Proses pembangunan diawasi oleh pengawas teknis; 3. Bangunan memenuhi standar keselamatan publik.
Ketika ketiga syarat ini diabaikan, pondok pesantren yang mestinya menjadi tempat menanamkan nilai ketaatan malah menjadi simbol pelanggaran.
Dalam konteks hukum publik, setiap bangunan pendidikan adalah objek kepentingan umum, bukan urusan privat yayasan semata. Maka, ketika pengelola pesantren mengabaikan izin dan aturan teknis, hal itu bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga pengabaian terhadap hak keselamatan warga negara (para santri) sebagaimana dijamin Pasal 28G UUD 1945: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.”
Ketidaktaatan terhadap hukum pembangunan bukan hanya menunjukkan lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah daerah, tapi juga rendahnya kesadaran hukum masyarakat religius.
Padahal, dalam ajaran Islam, ketaatan pada peraturan yang sah termasuk bagian dari taat kepada ulil amri (pemimpin yang sah) selama tidak bertentangan dengan syariat.
Kasus robohnya bangunan pesantren memperlihatkan bahwa fungsi pengawasan pemerintah daerah masih sangat lemah. Padahal, Undnag-Undnag Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa urusan perizinan dan pengawasan konstruksi adalah kewenangan wajib pemerintah daerah.
Kita patut bertanya: Mengapa bangunan bisa berdiri tanpa izin? Di mana aparat yang seharusnya memantau pembangunan tersebut? Mengapa baru bergerak setelah tragedi terjadi?
Ketika pengawasan lemah dan penegakan hukum hanya reaktif, maka negara ikut berkontribusi dalam setiap korban yang jatuh.
Pesantren adalah pusat pendidikan moral dan etika. Ironis bila lembaga yang mendidik tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya justru abai terhadap ketaatan kepada hukum negara.
Padahal, hukum positif dibuat untuk menjaga maslahah (kemaslahatan umum), yang juga menjadi prinsip dasar dalam fikih Islam.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain.” (La dharar wa la dhirâr).
Mendirikan bangunan tanpa izin dan tanpa perencanaan aman sama saja menimbulkan bahaya bagi orang lain. Karenanya, ketaatan hukum bukanlah beban birokrasi, melainkan bentuk nyata dari tanggung jawab sosial dan religius.
Tragedi ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola pembangunan lembaga keagamaan di Indonesia. Beberapa langkah hukum dan kebijakan yang perlu segera dilakukan antara lain: 1. Pendataan Nasional Bangunan terhadap Pesantren dan Madrasah oleh Pemerintah daerah bersama Kementerian Agama yang belum memiliki izin bangunan; 2. Bantuan Legal dan Teknis untuk PBG kepada banyak pesantren yang tidak paham prosedur perizinan; 3. Audit Keselamatan Konstruksi Bangunan Pendidikan Agama yang melibatkan asosiasi profesi teknik (INKINDO, LPJK, Persatuan Insinyur Indonesia) untuk memeriksa keamanan bangunan; 4. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu sekalipun milik lembaga keagamaan dikarenakan Ini berhubungan dengan keselamatan rakyat.
Tragedi pesantren roboh bukan sekadar bencana fisik, melainkan bencana moral dan hukum.
Ketika hukum diabaikan atas nama niat baik, maka niat itu kehilangan makna. Pesantren seharusnya menjadi mercusuar akhlak, bukan contoh kelalaian. Bangunan tanpa izin bisa berdiri tinggi, tapi tanpa dasar hukum dan moral, ia pasti akan runtuh cepat atau lambat. Sudah saatnya pesantren di Indonesia bukan hanya mengajarkan taat kepada Tuhan, tetapi juga taat kepada hukum negara, karena keduanya adalah fondasi keselamatan bersama.












