Oleh : Ade Hermawan
Dosen FISIP Uniska MAB
Berdasarkan Undang-Undang Polri, Anggota Polri adalah pegawai negara pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memiliki status sebagai aparat penegak hukum dan pelindung, pengayom, serta pelayan masyarakat. Anggota Polri harus memiliki keahlian dan pengetahuan teknis kepolisian yang didapat melalui pendidikan dan pelatihan, serta menjunjung tinggi etika profesi. Anggota Polri harus bersikap netral dalam kehidupan politik, tidak menggunakan hak memilih dan dipilih, serta dilarang menjadi anggota/pengurus partai politik. Anggota Polri terikat pada sistem komando dan hierarki yang ketat, serta tunduk pada hukum disiplin dan kode etik profesi.
Tugas anggota Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) seperti melakukan pencegahan tindak pidana, pembinaan masyarakat, dan penanggulangan gangguan keamanan. Menegakkan Hukum seperti melakukan penyidikan dan penyelidikan tindak pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat seperti menjamin rasa aman bagi masyarakat, memfasilitasi kebutuhan publik, dan bertindak sebagai penolong yang siap sedia.
Berdasarkan Undang-Undang TNI, Anggota TNI atau yang disebut sebagai Prajurit TNI, adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan. TNI adalah angkatan bersenjata yang profesional, yang dilatih dan dididik untuk melaksanakan tugas pertahanan negara, bukan untuk berpolitik. Prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis, tidak menggunakan hak memilih dan dipilih, serta dilarang menjadi anggota/pengurus partai politik. TNI berpegang teguh pada hierarki dan komando militer, serta terikat pada disiplin keprajuritan yang sangat tinggi. Anggota TNI mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.
Jabatan sipil adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai dalam suatu satuan organisasi sipil milik negara. Jabatan sipil di Indonesia merujuk pada posisi yang diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Jabatan sipil berada dalam struktur organisasi Kementerian, Lembaga Pemerintahan Non-Kementerian, Pemerintah Daerah, dan Lembaga Non-Struktural yang bersifat sipil. Jabatan sipil memerlukan keahlian di bidang tata kelola pemerintahan, administrasi publik, pelayanan masyarakat, dan manajemen yang didasarkan pada prinsip meritokrasi, netralitas, dan profesionalisme. Lingkup wewenang dan tanggung jawabnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan administrasi publik dan etika pemerintahan sipil. Pemegang jabatan sipil, sebagai ASN, diwajibkan untuk bersikap netral dari pengaruh semua partai politik dan dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Ketika anggota TNI atau Polri menduduki jabatan sipil, mereka sesungguhnya memasuki ranah pekerjaan yang seharusnya diatur oleh UU ASN dan dijalankan dengan prinsip-prinsip birokrasi sipil yang netral dan profesional. Praktik ini, meskipun dilindungi oleh payung hukum tertentu, selalu memicu perdebatan sengit mengenai konsistensi reformasi sektor keamanan dan kualitas birokrasi sipil pasca Orde Baru.
Inti dari reformasi yang berkenaan dengan hal ini adalah menghapus dwifungsi TNI/POLRI. Pemisahan tegas antara peran militer/polisi sebagai alat pertahanan dan keamanan negara dengan peran sipil sebagai penyelenggara pemerintahan sipil adalah pilar utama demokrasi. Ketika anggota aktif TNI/POLRI mengisi posisi seperti direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau bahkan direktur di lembaga sipil, batas pemisahan itu menjadi kabur, dan mengkhianati semangat reformasi yang telah diperjuangkan.
Penempatan anggota TNI/POLRI aktif pada jabatan-jabatan sipil merusak Reformasi karena, Pertama, Merusak Profesionalisme Militer dan Polisi. TNI dan POLRI adalah institusi yang didesain untuk pertempuran, penegakan hukum, dan pemeliharaan keamanan. Keahlian mereka bersifat spesifik dan komando. Jabatan sipil, sebaliknya, memerlukan keahlian manajerial publik, negosiasi politik, dan tata kelola yang berbeda. Penempatan anggota aktif yang belum memasuki masa pensiun di jabatan sipil berarti mereka meninggalkan ‘barak’ dan tugas utama mereka dalam kondisi fit dan siap tempur. Hal ini tidak hanya mengganggu regenerasi dan jalur karier internal di institusi tersebut, tetapi juga berpotensi mencederai profesionalisme mereka saat kembali ke kesatuan.
Kedua, Militerisasi Birokrasi Sipil. Kehadiran personel aktif di lingkungan sipil, dengan latar belakang komando dan hierarki militer/polisi, rentan menciptakan budaya kerja yang kaku dan otoriter. Birokrasi sipil seharusnya menjunjung tinggi akuntabilitas publik, transparansi, dan partisipasi. Campur tangan budaya komando dapat menghambat inovasi, melemahkan fungsi kontrol sipil, dan pada akhirnya, mengurangi kualitas pelayanan publik.
Ketiga, Mempersempit Peluang Karier Sipil. Negara telah berinvestasi besar dalam sistem pendidikan dan pelatihan Aparatur Sipil Negara/ Pegawai Negeri Sipil (ASN/PNS) melalui jalur karier dan diklat kepemimpinan. Ketika jabatan-jabatan strategis direbut oleh personel aktif yang ‘dititipkan’ dari institusi TNI/ POLRI, motivasi dan jalur karier para PNS yang telah mengabdi puluhan tahun menjadi terhambat. Ini menciptakan ketidakadilan dan potensi frustrasi dalam birokrasi.
Kembali ke Barak atau Pensiun Dini
Solusi untuk menjaga integritas reformasi dan profesionalisme institusi keamanan adalah dengan memberlakukan prinsip yang tegas. Anggota aktif TNI/POLRI harus tetap di barak (bertugas sesuai fungsinya) atau memilih pensiun dini jika ingin meniti karier di jabatan sipil (sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi).
Jika seorang perwira tinggi memiliki kompetensi dan minat di sektor sipil, ia harus melepaskan statusnya sebagai anggota aktif melalui mekanisme pensiun dini. Dengan status sipil penuh, ia dapat bersaing secara setara dengan PNS lainnya, tanpa membawa otoritas komando atau fasilitas dari institusi asalnya. Mekanisme ini memastikan bahwa setiap individu yang menduduki jabatan sipil adalah subjek dari hukum dan etika sipil sepenuhnya.
Pengecualian hanya dapat ditoleransi pada lembaga-lembaga yang secara fundamental dan jelas memerlukan keahlian keamanan, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), atau Kementerian Pertahanan. Namun, bahkan di sana, harus ada batasan waktu dan pertimbangan yang ketat agar tidak mendominasi struktur kepegawaian.
Penempatan anggota aktif TNI/POLRI di jabatan sipil adalah kemunduran yang berbahaya bagi konsolidasi demokrasi dan reformasi birokrasi. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus memastikan bahwa regulasi yang ada tidak menjadi celah untuk praktik dwifungsi gaya baru. Membiarkan praktik ini berlanjut sama dengan mempertaruhkan masa depan birokrasi sipil yang profesional dan demokratis. Sudah saatnya kita kembali pada konsensus reformasi. Tidak ada ruang untuk dwifungsi TNI/ POLRI. Hanya ada dua pilihan, bagi anggota yang tetap aktif di TNI/ POLRI wajib kembali ke barak, atau pensiun dini jika ingin berkarier di ranah sipil.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Keputusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang anggota aktif POLRI yang menduduki jabatan sipil. Putusan ini pada intinya memperkuat prinsip profesionalisme dan netralitas aparatur negara pasca-Reformasi.
Implikasi dari Keputusan Mahkamah Konstitusi ini adalah bahwa Anggota Polri aktif secara mutlak harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian jika ingin menduduki jabatan di luar institusi kepolisian yang bersifat sipil. Penempatan anggota aktif Polri di jabatan sipil tidak lagi dapat dibenarkan hanya dengan dasar “penugasan dari Kapolri”. Frasa tersebut dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil.
Pertimbangan utama MK dalam memutus perkara ini adalah berlandaskan pada prinsip-prinsip konstitusional yaitu Kepastian Hukum yang Adil. MK menilai praktik penugasan anggota aktif di jabatan sipil tanpa melepas statusnya bertentangan dengan semangat reformasi, yang menjamin netralitas aparatur negara dan menghilangkan praktik dwifungsi. Praktik ini juga dinilai menghilangkan hak dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, serta memberikan keistimewaan khusus (hak istimewa) bagi anggota Polri aktif, sehingga mencederai prinsip meritokrasi dalam pelayanan publik.
Meskipun putusan secara spesifik menguji UU Polri, banyak pihak menilai putusan ini juga harus menjadi acuan dan memiliki semangat yang sama untuk anggota aktif TNI. Baik TNI maupun Polri adalah alat negara di bidang pertahanan dan keamanan. Prinsip-prinsip Reformasi dan larangan Dwi Fungsi harusnya berlaku konsisten pada kedua institusi. Isu penempatan anggota aktif TNI di jabatan sipil juga sering menjadi objek uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Meskipun demikian, putusan final tentang TNI mungkin memiliki nomor perkara dan amar yang berbeda, namun semangatnya cenderung mengarah pada pembatasan ketat untuk mencegah kembalinya Dwi Fungsi.
Putusan MK ini secara definitif memerintahkan pengakhiran praktik penempatan anggota aktif Polri di jabatan sipil hanya dengan surat penugasan. Mereka yang ingin menduduki jabatan sipil harus memilih untuk kembali ke Barak atau pensiun atau mengundurkan diri dari dinas kepolisian.











