Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Mengenang Ulama dan Tokoh Banjar”
Ketokohan seseorang dibatasi oleh fisik dan usia. Sesauai hukum alam dan kalau sudah sampai umurnya, manusia bisa berhalangan, sakit, uzur, dan meninggal dunia. Tidak mungkin orang tampil prima seumur hidupnya. Karena itu setiap orang perlu sekali memikirkan dan melakukan kaderisiasi, agar apa yang sudah baik yang dilakukannya dapat diteruskan oleh generasi selanjutnya. Di antara aspek kehidupan yang perlu sekali pangkaderan adalah dalam hal keulamaan atau kaderisasi dakwah.
Idham Chalid adalah tokoh yang memahami bahwa ketokohan seseorang ada masanya. Ucapan beliau yang terkenal: ”Setiap tokoh ada masanya, dan setiap masa ada tokohnya”. Karena prinsip itu maka di berbagai aspek beliau mengkaderkan orang-orang untuk meneruskan kiprahnya. Banyak tokoh nasional dan lokal lahir dan dipengaruhi oleh pemikiran dan kebijakan Idham Chalid. Termasuk di Kalsel, tidak sedikit tokoh dan politisi yang berkiprah di tingkat nasional dan daerah juga merupakan “kader” Idham Chalid. Di antaranya Pak Syafriansyah, Ahmad Makkie, Zurkani Jahja, Ma’wah Masykur, Husin Kasah, Hamdani Khalid, Husairi Abdi, Syaifullah Tamliha dan masih banyak lagi.
Terutama sekali beliau menyiapkan kaderisasi melalui lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya. Banyak ulama yang lahir, baik dari Perguruan Darul Ma’arif Jakarta, Darul Quran Bogor, termasuk tentunya dari Pesantren Rakha Amuntai yang pada masanya juga mendapat sentuhan dari Idham Chalid, dan sebagainya. Beberapa tokoh terkenal seperti KH Zainuddin MZ, KH Abdul Hakim, KH Ahmad Fatin Naim, dan Hj Saidah Said juga berguru kepada Idham Chalid. Zainuddin MZ mengaku gaya ceramahnya banyak menggabungkan antara gaya orasi Bung Karno dengan pendekatan logika Idham Chalid.
Banyak alumnus Darul Maarif setelah pulang ke daerah masing-masing menjadi ulama, dai dan pemuka masyarakat, dan banyak pula yang bertahan di Jakarta karena pengabdiannya dibutuhkan.
Sedikit Contoh
KH Syukron Ma’mun, seorang ulama vokal dan militan juga mengaku besarnya peran Idham Chalid dalam membina dan membesarkan namanya. Di sini penulis kutip ceramah KH Syukron Ma’mun sendiri dalam suatu acara haulan memperingati wafatnya DR KH Idham Chalid, yang menurut beliau jarang sekali diungkapkannya ke tengah publik.
Syukron Ma’mun kelahiran Madura 1941, setelah menamatkan sekolah di Gontor mulanya menjadi guru pesantren di Madura, milik ayah dan kakeknya. Suatu hari Idham Chalid datang ke Madura dan mengajaknya ke Jakarta. Syukron muda sangat terkejut mendengar Jakarta, kota besar yang tidak terbayangkan olehnya sebagai orang desa. Setelah minta izin kepada kedua orangtua, ternyata orangtuanya sangat bangga dan bersyukur, karena yang mengajak adalah Idham Chalid.
Semula, Syukron Ma’mun mengira dirinya akan dijadikan guru di Darul Ma’arif. Ternyata oleh Idham Chalid disuruh tinggal di rumah Jalan Mangunsarkoro, menjadi bagian dari keluarga, makan-minum dan istirahat di rumah, bahkan saking akrabnya dengan ibu (istri Pak Idham almh) Syukron ngobrol di kamar tidur. Begitulah dijalani oleh Syukron Ma’mun selama 4 tahun. Beliau mengajar di Darul Ma’arif, tapi tinggal di rumah. Tidak pernah diberi honor, tetapi setiap malam Jumat selalu diberi uang yang lebih dari sekadar honor, sehingga Syukron tidak penah merasa kesulitan uang.
Idham Chalid selalu mengajaknya untuk menghadiri berbagai acara dan kegiatan, khususnya di lingkungan NU. Dari sinilah Syukron banyak belajar dan menempa diri. Apa saja dari pengetahuan, penampilan dan kepribadian Pak Idham selalu diperhatikan dan diteladani oleh Syukron Ma’mun, seperti gaya pidato dan ceramahnya, logikanya, humornya, juga akhlaknya yang sangat terpuji, yang terakhir ini tidak banyak orang bisa meneladaninya.
Suatu kali di tahun 1968, Syukron disuruh oleh Idham Chalid untuk berpidato di Pandeglang atas nama Idham Chalid. Karena sudah belajar pidato saat di Pondok Gontor, maka Syukron pun memberanikan diri. Begitulah seterusnya, Syukron sering disuruh tampil di acara-acara besar mewakili orang-orang besar. Misalnya, ia pernah disuruh ke Banjarmasin Kalimantan Selatan, mewakili Idham Chalid dalam posisi sebagai Menteri Negara. Tahun 1971, saat pemilu pertama di era Orde Baru, Syukron sering disuruh pidato kampanye mewakili para tokoh yang kebetulan berhalangan. Disuruh berpidato ke Pekanbaru Riau untuk mewakili Subchan Zainuri Ehsan (ZE) sebagai Ketua MPR, mewakili KH Achmad Syaichu (Ketua DPR) di Jatim, mewakili KH Saifuddin Zuhri (Menteri Agama) di Jawa Tengah dan lain-lain. Jurkam yang ahli dalam memprovokasi massa saat itu (dalam arti positif) adalah KH Syukron Ma’mun dan KH Hasyim Adenan. Semua ulama Betawi kompak berdiri di barisan NU, sehingga Partai NU menang di Jakarta, juga di beberapa daerah lainnya. Di m
asa-masa-masa awal PPP yang merupakan fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, Perti dan sebagainya sempat berjaya di Jakarta.
Saat itu Syukron masih guru Ushul Fikih di Darul Maarif, merasa sebagai orang kecil, tapi karena yang diwakili orang besar, maka ia jadi ikut besar. Karena ada kemampuan pidato yang diperoleh saat mondok di Gontor dan hasil bimbingan Idham Chalid, maka tugas-tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik. Di sinilah menurut Syukron perlunya memadukan antara kemampuan dengan kesempatan. Kalau kemampuan ada kesempatan tak ada, maka keahlian jadi nganggur, tidak fungsional. Kalau kesempatan ada tapi tidak ada kemampuan, juga susah, kedodoran.
Organisasi Dakwah
Pelajaran lainnya, Syukron juga didorong untuk selalu berorganisasi dan dibimbing cara berorganisasi yang baik oleh Idham Chalid. Karena itu Syukron Ma’mun sering terpilih menjadi ketua beberapa organisasi Islam, seperti Rabithah Al-Maarif, Ittihadul Muballighin, Ketua Lembaga Dakwah NU, Ketua Syuriah PBNU dll., semuanya terpilih secara aklamasi, tidak pernah pakai duit dan rekayasa. Bahkan ada yang diketuainya hingga 10-20 tahun, sampai beliau sendiri memaksa mengundurkan diri. Caranya meniru Pak Idham berorganisasi. Syukron Ma’mun mengakui, kalau tidak karena bimbingan Pak Idham Chalid, dirinya mungkin tidak akan seperti sekarang.
Selain Darul Ma’arif, Idham Chalid juga mendirikan Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) di Bandung bersama dengan tokoh dan ulama lainnya seperti Subhan ZE, KH Ahsin, KH Usman al-Aydarus, KH EZ Muttaqin dan lain-lain. Secara resmi UNNU berdiri pada 30 November 1950, dimaksudkan untuk mencetak para sarjana yang berhaluan Ahlus-Sunnah wal-Jamaah. Belakangan pada tahun 1969, UNNU melakukan merger dengan sejumlah universitas lain, yaitu Universitas Muhammadiyah dan Universitas Ibnu Khaldun, maka jadilah namanya Universitas Islam Nusantara (UNINUS) yang sekarang kampusnya terletak di Jalan Soekarno-Hatta Bandung. Sekarang UNINUS cukup terkenal dan besar dengan memiliki sejumlah fakultas dan program pendidikan, dari S1 hingga S3. Banyak urang Banjar menyelesaikan studi S2 dan S3 di UNINUS ini, di antaranya Drs H Abdurrahman Ghani, MMPd, Dr H Muhammad Tambrin, MMPd, Prof Dr H Ridhani Fidzi, MPd, Dr H Anang Rahmani, MAg, Dr HM Fauzan Saleh, MAg, Dr H Zainal Ilmi SAg MPdI, dan banyak lagi.
Komitmen Idham Chalid untuk memajukan agama melalui lembaga pendidikan agama banyak didukung dan didorong oleh para ulama. Hal ini karena kebutuhan masyarakat Jakarta dan sekitarnya terhadap lembaga pendidikan agama sangat besar. Bahkan banyak warga Banjar dan warga Nahdliyin dari luar daerah ikut mengirimkan putra/putrinya untuk belajar ke Perguruan Darul Maarif, termasuk dari Kalsel, Kalteng dan sebagainya.
Kita berharap para ulama, tokoh, pejabat dan pemimpin masyarakat sekarang berusaha menyiapkan kader-kadernya, bisa lewat lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah, sekolah dan perguruan tinggi, organisasi, mendukung pemikiran dan pendanaan dan sebagainya. Jangan ingin besar sendiri, tampil sendiri, dan seolah tidak tergantikan. Diharapkan dari pengkaderan itu akan lahir para ulama, dai, tokoh dan pemimpin masyarakat. Dakwah dalam arti seluas-luasnya akan terus berlanjut dan merata sampai ke pedalaman. Jangan sampai ada daerah dan desa kekurangan juru dakwah, akibat kelangkaan dan kurangnya kaderisasi. Wallahu A’lam.










