Oleh: Noorhalis Majid
Budayawan
Keren, expo religi yang diselenggarakan secara mandiri tersebut, sudah berlangsung sebanyak 10 kali. Tahun ini, expo tersebut diselenggarakan di Nol KM Kota Banjarmasin, pada 14-16 November 2025. Dan yang lebih keren lagi, kegiatan ini diorganisir oleh anak-anak muda kreatif. Setidaknya lebih dari 30 anak muda lintas agama, bekerja bersama-sama mempersiapkan expo. Mereka berdiskusi, berdebat, bersepakat, bergerak mencari sponsor dan pendukung, mengundang partisipan dan mitra, mempersiapkan tempat, merancang acara dan lomba-lomba, menyusun tata letak stand dan dekor panggung, hingga pada waktu yang sudah ditetapkan, expo pun dibuka oleh pejabat dan para tokoh.
Hal keren lainnya yang ada pada expo ini adalah, menghadirkan 34 stand pameran dari berbagai agama dan aliran keagamaan. Semua stand yang pada dasarnya berbeda tersebut, saling berdampingan, saling memperkenalkan aktivitasnya, serta saling berdialog mempromosikan betapa pentingnya merawat keragaman.
Ada pula stand UMKM yang mempromosikan dan menjual produknya. Khusus UMKM yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah UMKM yang menjadi dampingan LK3 melalui Koperasi Jalujur Banua Bawarna (KP-JBB). Satu koperasi lintas iman yang dibentuk oleh LK3 dan GKE, untuk mewadahi dan memberdayakan UMKM lintas iman. Ada dua komunitas dalam UMKM di koperasi ini, yaitu komunitas kuliner yang diberi nama Warung Rukun, dan komunitas kerajinan yang Bernama Borneo Braid. Terdapat 10 stand diberikan kepada UMKM, dan mereka dapat melayani para pengunjung yang ingin berbelanja, mencici kuliner atau sekedar mengenal giat dari koperasi.
Terdapat panggung budaya, yang diisi oleh semua agama dan aliran agama. Tidak kurang dari 500 penampil bergantian mengisi panggung tersebut, dan jadilah arena panggung sebagai wahana hiburan gratis yang memukau, karena setiap agama dan aliran agama tanpa ragu menyuguhkan hiburannya kepada semua yang hadir. Tampil secara sukarela, tanpa dibayar, tanpa diberikan imbalan honor apapun, namun maksimal memberikan yang terbaik.
Juga ada lomba-lomba, membuat expo semakin semarak. Lomba bakisah bahasa banjar tentang keragaman. Lomba mewarna untuk ibu dan anak. Dan lomba yang paling ditunggu-tunggu tiap tahun adalah lomba busana adat Nusantara. Pada lomba busana ini, semua peserta tampil dengan pakaian adatnya masing-masing, berlenggak-lenggok di hadapan dewan juri. Catwalknya adalah jalan di tengah arena stand dari expo religi itu sendiri. Bisa dibayangkan, betapa ramainya suasana, ribuh dengan apresiasi dan tepuk tangan.
Tema expo religi ke10 kali ini adalah “merawat alam dan keragaman”. Tema ini diangkat, karena alam memerlukan perhatian serius, termasuk oleh agama-agama. Alam setiap hari telah diexploitasi secara gegap gempita, sehingga daya dukungnya semakin berkurang. Bencana dalam berbagai bentuk, mengancam dan datang setiap waktu, karena alam sudah berubah sedemikian rupa. Gunung tidak lagi menjadi pasak kehidupan. Hutan tidak berfungsi lagi sebagai penyangga alam. Dan sungai serta danau, sudah tidak mampu menampung air hujan dan rob.
Anak-anak muda lintas agama tersebut menemukan tema ini sebagai wujud kegelisahan, bahwa alam harus dirawat, sebagaimana keragaman juga harus dirawat. Sangat strategis bila agama-agama, bahu-membahu mengkampanyekan perawatan alam dari segala ancaman kerusakan. Daya ingat manusia semakin pendek, baru sadar dan menghujat exploitasi alam yang membabi buta, mana kala bencana terjadi. Namun setelah bencana berlalu, exploitasi kembali dilanjutkan dan pada saat bencana kembali datang, bentuk dan wujudnya lebih dahsyat dari sebelumnya. Terus berulang setiap waktu. Manusia yang pada dasarnya mengaku beragama tersebut, ternyata sebagian juga menjadi pelaku exploitasi alam yang tidak bertanggung jawab.
Banyak pesan yang sampaikan dalam setiap expo di gelar. Tahun ini pesan tentang penolakan Taman Nasional Meratus. Kenapa harus ditolak? Banyak orang yang bertanya seperti itu. Bukankah taman nasional justru bertujuan menyelamatkan lingkungan dan alam? Ditolak karena konsep Taman Nasional tersebut belum tentu ramah terhadap masyarakat adat yang sudah beratus tahun menjaga dan merawat hutan.
Bukankah masyarakat adat sudah berpengalaman merawat hutan melalui adat dan budayanya, sebab itu hutan dibagi dalam berbagai fungsi, ada hutan adat, hutan keramat, hutan larangan, hutan untuk berburu dan bercocok tanam. Konsep tersebut sudah hidup secara turun temurun. Dengan memiliki kekayaan konsep tentang pengelolaan hutan, lantas kenapa harus menyerahkan kewenangan tersebut kepada satu otorita yang disebut Taman Nasional? Bukankah exploitasi yang selama ini terjadi justru sebabnya karena borosnya perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah? Bukankah pemerintah dan aparat yang justru mengawal segala bentuk exploitasi dan pengrusakan yang dilakukan atas alam? Jadi, menolak Taman Nasional, suatu bentuk kepercayaan diri, bahwa kita bisa mengelola kawasan hutan jauh lebih baik dan arif dari mereka, asalkan pemerintah tidak mengeluarkan izin apapun untuk merusak dan mengesplotasi alam. Karenanya tidak perlu menyerahkan pengelolaan Meratus pada orang lain yang bernama otorita Taman Nasional. Maka, yang harus sada
r dan berefleksi tentang kerusakan alam, mestinya justru pemerintah dan aparat, bukan masyarakat, apalagi masyarakat adat dengan segala perangkat adatnya yang semuanya justru bergantug pada alam.
Pesan lainnya yang terus disuarakan dalam setiap kali expo religi, tentu saja pesan tentang pentingnya merawat keragaman. Bukan sekedar disadari dan diakui, bahwa keragaman ini suatu sunatullah, kehendak Allah. Namun hendaknya, keragaman tersebut dirayakan dan kampanyekan, agar ruang publik semakin sadar dan ramah pada pentingnya merawat keragaman.
Stand dan panggung budaya yang digelar sepanjang hari penyelenggaraan expo, terus mempromosikan keragaman. Puluhan anak muda yang menjadi panitia, juga mengenakan adat busana yang unik, sebagai ekpresi dari keragaman itu sendiri. Simbol-simbol agama, digantung menghiasi arena expo, sehingga para pengunjung semakin sadar bahwa keragaman agama ternyata dapat berdampingan dan bekerjasama dalam memajukan peradaban.
Seandainya kegiatan expo religi ini diduplikasi di banyak tempat, tentu promosi dan kampanye tentang pentingnya merawat keragaman akan lebih semarak dan meluas. Giatnya dapat dikolaborasikan dengan budaya dan gelar kesenian, serta yang lebih penting, melibatkan anak muda sebagai pemilik masa depan.










