Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Santri dalam Arus Moderasi : Potensi Sebagai Agen Perubahan Dibajak?

×

Santri dalam Arus Moderasi : Potensi Sebagai Agen Perubahan Dibajak?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

Beberapa waktu terakhir, dunia pesantren dan santri menjadi sorotan luas. Mulai dari musibah ambruknya gedung pesantren di Jawa Timur, tayangan stasiun TV yang merendahkan adab santri terhadap ulama hingga perayaan Hari Santri Nasional. Tahun ini Hari Santri Nasional, yaitu pada 22 Oktober lalu dilaksanakan dengan serangkaian seremonial, dari upacara, kirab, baca kitab sampai festival sinema.

Kalimantan Post

Tema tahun ini adalah “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”. Presiden Prabowo Subianto mengajak para santri menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan. Dia menyinggung Resolusi Jihad yang dipelopori oleh ulama sekaligus tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari (kompas.com, 25/10/2025).

Pujian soal peran santri dalam jihad melawan penjajah di masa lalu tidak sejalan dengan berbagai kebijakan dan program menyangkut santri dan pesantren di masa kini. Santri justru dimanfaatkan untuk menjadi agen moderasi beragama dan agen pemberdayaan ekonomi. Pesantren dalam pengurusan moderasi beragama inilah yang harus menjadi perhatian dan dikritisi.

Apakah moderasi beragama ini berfaedah atau sebaliknya menimbulkan bahaya besar bagi santri dan pesantren, yang berikutnya berdampak bagi kehidupan umat yang sedang terpuruk?

Moderasi: Kepentingan Barat

Poin kritis mendasar tentang moderasi beragama adalah bahwa moderasi ini merupakan proyek barat terhadap dunia Islam termasuk kaum muslimin di Indonesia. Meskipun moderasi ini dinarasikan untuk kebutuhan politik lokal, yaitu untuk kerukunan dalam keberagaman, namun Barat yang dipimpin AS-lah yang berkepentingan. Adalah RAND Corporation, sebuah lembaga nirlaba think tank AS yang merekomendasikan strategi penguatan moderasi beragama yang harus dilakukan AS terhadap dunia Islam. Rekomendasi ini tertuang dalam buku ‘Building Moderate Muslim Networks’. Mereka menginginkan Islam dan muslim ala Barat, muslim yang ramah terhadap barat dan menerima pemikiran dan nilai-nilai Barat yang sekuler dan kapitalis. Mereka mendefinisikan bahwa muslim moderat adalah muslim yang memiliki dan menyebarkan dimensi-dimensi kunci budaya demokratis. Ini termasuk dukungan pada demokrasi dan hak-hak manusia yang diakui secara internasional termasuk kesetaraan gender, kebebasan beribadah, menghargai keberagaman dan penerimaan terhadap sumber hukum non sektarian dan penentangan terhadap terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan yang tidak sah.(Building Moderate Muslim Networks, 66).

Baca Juga :  HIDUPKAN TRADISI MENDENGAR KRITIK

Dokumen RAND Corporation tersebut dikonfirmasi oleh pemerintah AS. Dalam laporan The US Department of State’s Bereau of Counterterrorism (2022) disebutkan bahwa Indonesia menjadi mitra penting dalam upaya Amerika mempromosikan apa yang mereka sebut “moderate Islam” (Islam moderat) untuk melawan radikalisme. Secara lebih jelas, lembaga ini menegaskan: “Amerika Serikat mendukung upaya Indonesia untuk mempromosikan Islam moderat melalui keterlibatan pesantren dan para ulama.” (Sumber: state.gov/reports/country-reports-on-terrorism-2022).

Sayangnya, sadar atau tanpa sadar pemerintah melayani agenda AS. Berbagai program moderasi dideraskan pada lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren. UU Pesantren juga menegaskan program moderasi.

Target AS terhadap ulama dan pesantren bisa dipahami. Pesantren adalah bagian dari kearifan lokal Indonesia sekaligus menjadi episentrum (titik pusat) dakwah. Pesantren berperan menjaga Islam dan umat melalui dicetaknya generasi yang faqih fiddin, ulama dan pendakwah Islam.

Kepentingan AS dalam moderasi adalah mempertahankan hegemoni dan dominasi alias penjajahan. Muslim khususnya generasi muda termasuk santri akan menerima penjajahan dengan sukarela karena mereka kehilangan daya pikir dan daya kritis mereka yang diarahkan Islam politis dan ideologis. Padahal akidah dan syariat Islam yang kaffah yang bersumber dari Al Quran, as-sunnah, Qiyas dan Iijma sahabat dan yang telah dijabarkan dengan detail oleh ulama dalam turats (khasanah ilmu Islam dalam kitab-kitab) seharusnya menjadi hidup dalam medan kehidupan. Islam mestinya menjadi arah berpikir dan bersikap serta menyelesaikan masalah secara praktis bukan diperlakukan sebagai sekedar teori-teori dan informasi belaka. Terlebih Islam pernah diterapkan secara nyata dalam kehidupan sebagai ideologi dalam negara Islam, yaitu sistem Khilafah dalam tentang 13 abad.

Dengan moderasi yang men-sekuler-kan, santri menjadi kontraproduktif dengan gambaran mulia di masa lalu yang disebutkan Presiden. Santri tidak diarahkan memiliki visi dan misi jihad melawan penjajahan gaya baru dengan menjaga umat dan syariat. Peran strategis santri dan pesantren justru dibajak untuk kepentingan mengokohkan sistem sekuler kapitalisme.

Baca Juga :  Angka Bunuh Diri Meningkat, Cermin Gagalna Sistem Pendidikan Sekuler

Para ulama dan faqih fiddin sangat besar dalam menjaga umat dan mewujudkan peradaban Islam cemerlang, yaitu dengan menjadi agen perubahan menegakkan syariat Islam.

Negara menjadi penanggungjawab utama untuk mewujudkan eksistensi pesantren dengan visi mulia mencetak para santri yang siap berdiri di garda terdepan melawan penjajahan dan kezaliman. Umat Islam termasuk penguasa negeri ini harus mengkritisi dan menolak proyek moderasi yang ditargetkan oleh negara adidaya AS.

Umat harus kembali pada Islam kaffah yang memberi kekuatan spiritual dan mewujudkan kekuatan politik hakiki yang melawan hegemoni imperialisme. Untuk itu jaringan Islam kaffah harus dikuatkan termasuk kerjasama dan ukhuwah para ulama, santri dan kaum muslimin seluruhnya.

Kembali pada Islam kaffah adalah solusi hakiki serta garansi kebangkitan dan kemuliaan Islam dan umat Islam. Wallahu alam bis shawab.

Iklan
Iklan