Oleh : Nova A
Aktivis Muslimah
Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia kembali diguncang oleh kasus bunuh diri yang melibatkan pelajar. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat setidaknya dua kasus dugaan bunuh diri pelajar yang terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat, dan di Sukabumi, Jawa Barat. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa persoalan kesehatan mental di kalangan remaja masih membutuhkan perhatian serius. KPAI menilai bahwa setiap kasus anak yang kehilangan harapan hidup menunjukkan masih lemahnya sistem deteksi dini terhadap masalah psikologis di sekolah dan keluarga.
Sebagai langkah pencegahan, KPAI mendorong dibangunnya early warning system atau sistem deteksi dini di lingkungan pendidikan dan komunitas. Sistem ini diharapkan dapat membantu guru, teman sebaya, serta orang tua mengenali tanda-tanda stres, depresi, atau tekanan emosional yang dialami anak sejak awal. KPAI juga menekankan pentingnya pelatihan bagi guru Bimbingan Konseling (BK) serta pembentukan jejaring antara sekolah, puskesmas, dan dinas terkait agar penanganan bisa dilakukan lebih cepat dan tepat.
Selain itu, dukungan psikologis awal juga menjadi faktor penting dalam upaya pencegahan bunuh diri di kalangan pelajar. Menurut KPAI, pendampingan oleh psikolog sekolah atau tenaga kesehatan mental harus segera diberikan ketika gejala gangguan emosional mulai terlihat. Keterlibatan keluarga dalam proses pemulihan anak pun tidak kalah penting, karena lingkungan rumah yang hangat dan terbuka dapat menjadi tempat aman bagi anak untuk bercerita. Sejumlah media nasional juga melaporkan bahwa dalam sepekan terakhir, dua anak di Jawa Barat diduga mengakhiri hidupnya karena tekanan psikologis yang berat. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa pencegahan bunuh diri di kalangan pelajar bukan hanya soal kesehatan mental, tetapi juga soal kepedulian dan sistem sosial yang perlu diperkuat bersama.
Kesehatan Mental Anak
Bunuh diri sebenarnya adalah tanda bahwa seseorang sudah sampai pada titik paling berat dari masalah kesehatan mental yang ia alami. Gangguan mental sendiri bisa muncul karena banyak hal, bukan hanya karena faktor medis. Ada remaja yang merasa stres karena masalah ekonomi keluarga, ada yang harus menghadapi pertengkaran orang tua atau bahkan perceraian, dan ada juga yang merasa terbebani oleh tuntutan hidup dan persaingan yang semakin tinggi. Dalam sistem kehidupan sekarang, orang sering diukur dari pencapaian dan keberhasilan siapa yang paling sibuk, paling pintar, atau paling sukses. Tekanan seperti ini membuat banyak anak muda merasa tidak cukup baik, apalagi jika mereka gagal memenuhi harapan orang lain. Dari perasaan tertekan itu, bisa muncul stres, rasa cemas, dan akhirnya depresi yang berat. Kalau tidak ada tempat untuk bercerita atau bantuan dari orang sekitar, kondisi ini bisa berkembang sampai ke pikiran untuk mengakhiri hidup.
Selain tekanan dari kehidupan nyata, media sosial juga punya pengaruh besar terhadap kesehatan mental remaja. Dunia maya sering kali menampilkan kehidupan orang lain yang terlihat sempurna selalu bahagia, sukses, dan punya segalanya. Padahal, yang terlihat di layar belum tentu sama dengan kenyataannya. Tapi karena terus-menerus melihat perbandingan seperti itu, banyak remaja jadi merasa hidupnya tidak sebaik orang lain. Yang lebih berbahaya, sekarang juga mulai banyak konten dan komunitas di media sosial yang membahas soal bunuh diri secara tidak bijak. Beberapa ybahkan terlihat seperti mendukung tindakan itu atau menganggapnya hal biasa. Hal-hal seperti ini bisa memicu remaja yang sedang sedih untuk berpikir melakukan hal yang sama. Tanpa pengawasan orang tua atau pemahaman yang cukup, media sosial bisa menjadi tempat yang berisiko bagi anak muda yang sedang rapuh.
Kesejahteraan Umat
Dalam pandangan Islam, pendidikan tidak hanya berfokus pada pengetahuan akademik, tetapi juga pada pembentukan kepribadian yang kokoh dan berakhlak mulia. Tujuan utama sistem pendidikan Islam adalah membentuk pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Dengan begitu, seorang siswa tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki arah hidup yang jelas, berpegang pada keimanan, dan mampu menilai setiap perbuatan dengan pandangan syariat. Kepribadian Islam yang terbentuk dari proses pendidikan ini menjadi benteng kuat bagi siswa dalam menghadapi tekanan hidup, termasuk gangguan mental dan krisis identitas yang marak terjadi pada generasi muda saat ini.
Islam tidak hanya memberikan panduan ibadah, tetapi juga menawarkan sistem kehidupan yang menyeluruh termasuk solusi untuk menjaga kesehatan mental. Dalam sistem Islam, setiap individu dijamin kebutuhan dasarnya, seperti sandang, pangan, dan papan. Negara juga memastikan terbentuknya keluarga yang harmonis melalui aturan pernikahan dan peran masing-masing anggota keluarga yang sesuai syariat. Selain itu, Islam menanamkan pemahaman tentang makna hidup dan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Kesadaran inilah yang membuat seorang muslim memiliki arah hidup yang jelas dan tidak mudah terombang-ambing oleh tekanan dunia. Dengan sistem seperti ini, Islam mampu mencegah munculnya gangguan mental sejak awal bukan sekadar mengobati gejalanya, tetapi menata akar persoalan dari sisi spiritual dan sosial sekaligus.
Dalam sistem Islam kurikulum pendidikan disusun untuk memadukan dua hal penting: penguatan kepribadian Islami (syakhsiyyah islamiyyah) dan penguasaan ilmu pengetahuan yang luas. Artinya, murid tidak hanya dibekali kemampuan berpikir kritis dan akademik, tetapi juga dibentuk agar mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan dengan cara pandang yang sesuai syariat. Melalui pendidikan semacam ini, siswa tidak mudah goyah oleh pengaruh negatif dari lingkungan atau media sosial, karena mereka memiliki landasan iman yang kuat dan pola pikir Islami dalam menyikapi setiap persoalan. Inilah bentuk pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menenangkan hati dan menumbuhkan keteguhan jiwa sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk mencegah krisis mental di kalangan pelajar.











