Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Sekarang Air Sudah Menjadi Bisnis, Bukan Kebutuhan Umum Lagi

×

Sekarang Air Sudah Menjadi Bisnis, Bukan Kebutuhan Umum Lagi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Noor Diani
Aktivis Muslimah

Sumber air pada air minum dalam kemasan menjadi sorotan publik setelah Inspeksi dadakan atau sidak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di media sosial. Air pegunungan kerap diklaim sebagai sumber utama industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Sebagian orang, banyak yang menafsirkan bahwa air pegunungan itu langsung diambil dari sumber mata air permukaan yang ada di pegunungan. Penafsiran ini tidak seluruhnya benar. Pakar hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Profesor Lambok M Hutasoit menjelaskan yang dimaksud air pegunungan yang digunakan industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) itu bukanlah langsung dari mata air yang muncul di permukaan daerah pegunungan. Sumber air pegunungan itu, berada dalam sistem akuifer yang dihasilkan dari proses alami di pegunungan, yaitu hujan yang meresap ke dalam tanah, lalu mengalir ke sumber air dan diambil dari akuifer bawah tanah di pegunungan (mediaindonesia.com 23/10/2025).

Kalimantan Post

Air, yang seharusnya menjadi anugerah bersama, kini perlahan berubah menjadi komoditas yang dimiliki oleh segelintir pihak. Di banyak daerah, mata air yang dulunya menjadi sumber kehidupan masyarakat kini dikuasai oleh perusahaan air minum. Mereka datang dengan izin resmi, membawa mesin bor raksasa yang menembus jauh ke lapisan akuifer dalam, mengambil air tanah purba yang terbentuk selama ratusan tahun. Namun, setiap tetes air yang disedot dari bumi meninggalkan luka yang tidak terlihat. Pencemaran dan kerusakan ekologis menjadi konsekuensi langsung dari eksploitasi air tanah besar-besaran. Ketika air dari lapisan dalam diambil terus-menerus tanpa keseimbangan dengan proses pengisian alami (recharge), struktur tanah kehilangan tekanan airnya. Tanah menjadi rapuh dan mudah ambles, sungai kehilangan debit alirannya, dan mata air di sekitar kawasan industri mengering satu per satu. Air permukaan pun perlahan tercemar, karena tekanan hidrologi yang berubah menyebabkan rembesan air kotor dari permukaan masuk ke lapisan yang lebih dalam.

Baca Juga :  Siswa SMP Terjerat Pinjol dan Judol, Alarm Perlindungan Negara Lemah

Di satu sisi, masyarakat kehilangan akses terhadap air bersih dan harus membeli air kemasan yang berasal dari sumber daya mereka sendiri. Di sisi lain, lingkungan kehilangan kemampuannya untuk memulihkan diri. Vegetasi mengering, sumur warga menipis, dan keseimbangan alam terganggu. Ketika manusia memperlakukan air hanya sebagai objek ekonomi, maka alam pun menjawab dengan krisis: kekeringan, pencemaran, dan ketimpangan sosial.

Dalam pandangan Islam, sumber daya air termasuk salah satu kepemilikan umum yang haram untuk dikapitalisasi dan diswastanisasi, apalagi diasingisasi. Kedudukannya sama dengan sumber daya alam lainnya seperti barang tambang, migas, hutan/padang gembalaan, dan lainnya. Negara wajib mengelola semua kepemilikan umum ini dan memberikan manfaatnya kepada rakyat. Terkait hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah). Juga sabdanya, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah).

Oleh karenanya, negara berparadigma Islam akan melakukan berbagai cara yang halal agar keberadaan sumber daya air ini terpelihara dengan baik dan berkelanjutan. Negara akan mengelola dan mendistribusikannya sehingga tidak ada seorang rakyat pun yang kesulitan untuk memanfaatkannya. Negara akan melarang aktivitas monopoli yang menghalangi rakyat untuk mendapatkan kebutuhannya, bahkan memberikan sanksi tegas bagi mereka yang berani melakukannya.

Politik air pada masa pemerintahan Islam dikenal sangat hebat dan terintegrasi dengan sistem-sistem lainnya, seperti sistem ekonomi, keuangan/baitulmal, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, hukum dan sanksi, dan sebagainya. Perairan dalam fungsinya sebagai basis pertahanan, sarana transportasi, serta sumber kebutuhan vital rakyat benar-benar diperhatikan. Berbagai infrastruktur yang dibutuhkan dibangun dengan dana dari baitulmal.

Sekitar pada 641, Khalifah Umar, misalnya, pernah menginisiasi pembangunan kanal di kota Kairo yang menghubungkan Sungai Nil dan Laut Merah demi menyelesaikan masalah transfer pasokan ke dan dari Arab. Di bawah kawalan Amr bin Ash ra., kanal sepanjang 138 KM (85,7 mil) ini selesai dibangun dalam waktu enam bulan dan kemudian dikenal dengan nama Kanal Amirulmukminin. Kanal ini dilewati 20 kapal bermuatan 6.000 meter kubik (211.888 kaki kubik) biji-bijian dalam ekspedisi pertama dalam perjalanan ke pelabuhan Arab, Jeddah.

Baca Juga :  Kapitalisasi dan Komersialisasi Air dalam Regulasi Sistem Sekuler

Kemudian pada 789, Khalifah Harun ar-Rasyid membangun waduk di bawah tanah yang berfungsi sebagai penampung air hujan dan jalur transportasi perdagangan di kota Ramla. Saat ini waduk tersebut menjadi situs sejarah yang dikagumi dunia dan masih memberi manfaat bagi penduduk kota.

Selain itu, ada juga khalifah yang dikenal sebagai khalifah pembangun bendungan karena pada masanya banyak bendungan dibangun untuk mencegah krisis air. Khalifah itu bernama Fannakhusru bin Hasan yang berkuasa pada 324—372 H/936—983 M dan populer dengan nama Adud ad-Daulah.

Sungai-sungai besar di wilayah Khilafah pada masa lalu juga mendapat perhatian besar. Semisal sungai Nil di Mesir yang dikelola sedemikian rupa, terutama pada masa Sultan An-Nuwayri dan Sultan Al-Makrizi. Begitu pun para penguasa lainnya dari dinasti Ayyubid dan Mamluk. Mereka melakukan pembersihan sungai, pengerukan kanal, dan memperbaiki dam. Negara dalam hal ini membayar beberapa tenaga pengawas maupun konsultan.

Semua ini merupakan refleksi dari fungsi kepemimpinan dalam Islam yang tegak di atas asas keimanan dan pelaksanaannya dibimbing oleh syariat. Para pemimpin Islam benar-benar memfungsikan dirinya sebagai raa’in (pengurus) sekaligus junnah (penjaga) bagi seluruh rakyat, bukan pelayan kepentingan konglomerat, apalagi pihak asing sebagaimana sekarang.

Mereka paham bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah yang kelak pada hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.”

Iklan
Iklan