Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Keliru Jika Kita Menyetujui Pembukaan Lahan Gambut Dengan Membakar

×

Keliru Jika Kita Menyetujui Pembukaan Lahan Gambut Dengan Membakar

Sebarkan artikel ini

Oleh : Shyra Cahaya Putri
Mahasiwa Fakultas Hukum ULM

Perdebatan soal membuka lahan gambut dengan cara membakar selalu kembali pada satu alasan klasik: cepat, murah dan sudah menjadi kebiasaan. Namun ditengah situasi iklim yang semakin tidak menentu, pertanyaannya bukan lagi tentang efisiensi.

Kalimantan Post

Pertanyaannya adalah: layakkah sebuah tindakan yang jelas merusak lingkungan tetap diberi persetujuan? Menurut saya, jawabannya tegas: tidak, dan justru berbahaya jika persetujuan semacam itu terus dilanggengkan.
Masalah utamanya, gambut bukan sembarang tanah. Ia menyimpan karbon berlapis-lapis selama ratusan hingga ribuan tahun. Ketika dibakar, api tidak berhenti di permukaan. Ia menjalar ke dalam, menghanguskan karbon tua yang dilepaskan dalam jumlah besar ke udara. Sekali terbakar, gambut dapat terus menyala selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Memberikan persetujuan untuk membakar berarti menyetujui pelepasan emisi yang jauh lebih besar dari yang terlihat oleh mata. Di tengah dunia yang sedang berjuang mengurangi gas rumah kaca, menyetujui pembakaran gambut adalah keputusan yang berjalan mundur.


Selain itu, pengalaman puluhan tahun menunjukkan bahwa pembakaran lahan gambut hampir selalu berujung pada bencana kabut asap. Kita semua masih ingat bagaimana daerah-daerah yang jauh dari pusat api pun akhirnya ikut terselimuti asap pekat. Anak-anak, lansia dan masyarakat umum terserang ISPA. Aktivitas sekolah terganggu. Ekonomi daerah menurun. Lalu bagaimana mungkin sebuah tindakan yang efeknya begitu luas dan berbahaya masih bisa dianggap pantas untuk disetujui? Persetujuan semacam itu pada dasarnya adalah bentuk pembiaran terhadap risiko kesehatan publik.


Dari sisi hukum, sebenarnya persoalan ini sudah jelas. Pembakaran lahan, terutama gambut, dilarang dalam berbagai regulasi. Bahkan jika pembakaran dilakukan atas nama “adat”, “kebiasaan”, atau “penghematan biaya”, hukum tetap tidak membenarkannya. Maka, ketika masih ada pihak yang mendorong persetujuan atas pembakaran, sesungguhnya yang dilakukan adalah menempatkan persetujuan itu
sebagai legitimasi atas kegiatan yang secara hukum sudah dilarang. Ini bukan sekadar persoalan prosedur, tetapi persoalan keberanian moral: apakah kita akan menutup mata terhadap aturan demi kepentingan segelintir pihak?

Baca Juga :  Islam Melindungi Perempuan dan Anak


Secara ekonomi, pembakaran memang tampak murah di awal. Namun kerugian jangka panjang jauh lebih besar. Biaya kesehatan, pemadaman, kerusakan ekosistem, hingga hilangnya produktivitas masyarakat saat bencana asap terjadi sebenarnya jauh melampaui “hemat biaya” yang diperoleh pelaku. Persetujuan atas tindakan membakar lahan gambut sama saja dengan menukar kepentingan publik yang luas dengan keuntungan ekonomi jangka pendek pihak tertentu. Ini bukan hanya tidak adil, tetapi berpotensi merugikan negara dalam skala besar.


Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa persetujuan bukan sekadar tanda tangan atau izin administratif. Persetujuan adalah simbol tanggung jawab moral. Jika suatu tindakan pasti membawa kerusakan dan risiko besar, maka persetujuan terhadap tindakan itu adalah bentuk dukungan terhadap kerusakan tersebut. Menyetujui pembukaan gambut dengan cara membakar berarti menempatkan lingkungan sebagai korban. Artinya, siapa pun yang memberikan persetujuan itu turut bertanggung jawab atas dampak yang muncul.


Kita tidak sedang kekurangan alternatif. Pembukaan lahan tanpa bakar, meski lebih mahal, jauh lebih aman secara ekologis. Teknologi sudah berkembang, metode pengolahan lahan lebih ramah lingkungan tersedia, dan risikonya jauh lebih kecil. Yang dibutuhkan bukan lagi cara baru, tetapi keberanian untuk mengatakan bahwa pembakaran bukan pilihan, bahkan jika ada pihak yang mencoba meyakinkan bahwa “tidak akan parah kok”, atau “hanya sedikit saja”. Pengalaman menunjukkan bahwa “sedikit” bisa berubah menjadi “besar” dalam hitungan jam.


Pada akhirnya, opini saya sederhana namun tegas: persetujuan atas tindakan membuka lahan gambut dengan cara membakar tidak hanya keliru, tetapi tidak bermoral. Ia merugikan lingkungan, membahayakan kesehatan publik, bertentangan dengan hukum dan menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang. Persetujuan semacam itu seharusnya dihentikan sepenuhnya, bukan dinegosiasikan. Gambut adalah benteng terakhir kita dalam menghadapi perubahan iklim. Memberi persetujuan untuk membakarnya berarti menghancurkan benteng itu dengan tangan kita sendiri.

Iklan
Iklan