Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Net Ekonomi Karbon: Tanggung Jawab atau Peluang Bisnis

×

Net Ekonomi Karbon: Tanggung Jawab atau Peluang Bisnis

Sebarkan artikel ini
IMG 20251207 WA0021

Oleh : Eddy Rusman, SP, MP, CRP
Pengamat Perbankan dan Keberlanjutan, Mahasiswa Doktoral PERBANAS Institute Program Manajemen Keberlanjutan

Bencana Global, Berdampak Besar
Gelombang panas ekstrem yang melanda Eropa pada musim panas lalu, kebakaran hutan yang kembali menghanguskan ribuan hektar lahan di Kanada, hingga banjir besar yang menenggelamkan sebagian wilayah Pakistan dan Filipina, menjadi bukti nyata bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan krisis yang sedang berlangsung. Data terbaru dari World Meteorological Organization (WMO) menunjukkan bahwa lima tahun terakhir adalah periode terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah manusia. Suhu global terus meningkat, es di kutub mencair lebih cepat dari prediksi, dan permukaan laut naik mengancam jutaan penduduk pesisir.

Kalimantan Post


Indonesia pun tidak luput dari dampak ini. Banjir rob di pesisir utara Jawa semakin sering terjadi, menggerus pemukiman dan lahan pertanian. Bahkan baru-baru saja terjadi banjir dan tanah longsor di wilayah Bali, Jawa Barat, Aceh, Sumut dan Padang yang telah menelan banyak korban meninggal serta hancurnya pemukiman warga dalam jumlah yang besar. Sementara di Nusa Tenggara, kekeringan panjang membuat petani kesulitan mendapatkan air untuk irigasi. Semua ini menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menjadi realitas yang memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat global.


Kejadian-kejadian ini akan terus berulang bahkan intensitas keparahannya akan terus meningkat, sebagaimana dalam laporan PBB, bahwa risiko perubahan iklim sampai dengan 2050 tidak hanya akan berdampak terhadap jiwa (manusia) namun juga kepada jumlah perkotaan. Seperti kemiskinan yang akan melanda 450 kota, hilangnya kota sebanyak 570 karena naiknya permukaan laut hingga keterbasan sumber pangan akan terjadi pada 1600 kota dan mengakibatkan penduduk sebanyak 2.500.000.000 jiwa mengalami kelaparan, dan ini merupakan dampak terbesar.

Pengelolaan Iklim dan Bonus Ekonomi
Perubahan iklim kini bukan lagi sekadar isu akademik atau perdebatan di ruang konferensi internasional. Ia hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari: banjir yang semakin sering melanda kota-kota besar, kebakaran hutan yang menghitamkan langit Sumatera dan Kalimantan, serta kekeringan panjang yang mengancam produksi pangan. Di tengah krisis ini, dunia mencari jalan keluar, dan salah satu gagasan yang muncul adalah Net Ekonomi Karbon (NEK) yang merupakan harga atau kerangka ekonomis emisi gas rumah kaca (emisi karbon). Konsep ini berangkat dari kesadaran bahwa karbon, yang selama ini dianggap sebagai sumber masalah, bisa dijadikan sebagai instrumen ekonomi yang diatur, diperdagangkan, dan dimanfaatkan untuk mendorong tanggung jawab dan perubahan.


Indonesia, dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, berada di posisi strategis. Hutan dan lahan gambut kita menyimpan potensi besar sebagai penyerap karbon. Potensi ini bukan hanya soal ekologi, tetapi juga ekonomi. Pemerintah menyadari hal itu, dan sejak beberapa tahun terakhir mulai menata regulasi agar karbon bisa menjadi bagian dari sistem ekonomi nasional. Perpres Nomor 98 Tahun 2021 menjadi tonggak penting, mengatur penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC). Targetnya jelas, menurunkan emisi sebesar 29 persen tanpa syarat, dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Langkah ini diperkuat dengan UU No. 16 Tahun 2016 yang meratifikasi Paris Agreement, menegaskan komitmen Indonesia terhadap pengendalian emisi. Pada 2023, lahirlah IDX Carbon, bursa karbon resmi di Indonesia, yang menjadi platform perdagangan karbon domestik.

Baca Juga :  Peran Strategis dan Manfaat Pokdarwis bagi Pengembangan Wisata Daerah Meratus


Namun arah kebijakan juga menunjukkan nuansa pragmati, pemerintah menegaskan bahwa pajak karbon bukan prioritas, melainkan fokus pada perdagangan karbon global, dengan dilahirkannya Perpres 110/2025.

Pemerintah mendorong untuk membuka era baru ekonomi karbon Indonesia dengan integrasi ke pasar global atau Global Carbon Trading. Artinya, Indonesia lebih memilih menjadi pemain aktif di pasar internasional ketimbang menekan industri dalam negeri dengan beban pajak. Di tingkat global, para ahli menyoroti bahwa mekanisme ekonomi karbon masih jauh dari sempurna. David Waskow dari World Resources Institute menekankan bahwa COP30 menunjukkan dunia masih jauh dari jalur aman. “Kita membutuhkan mekanisme yang lebih tegas agar ekonomi karbon benar-benar mendorong aksi nyata, bukan sekadar transaksi,” ujarnya.

Sementara itu, International Energy Agency (IEA) mencatat bahwa emisi CO? global mencapai rekor 37,8 gigaton pada 2024. Fakta ini menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia belum berhasil dipisahkan dari emisi karbon, dengan kata lain bahwa pengelolaan iklim dalam rangka menurunkan emisi karbon di udara dapat memberikan insentif berupa nilai ekonomi (profit) melalui mekanisme carbon trading global. Sebagaiman pada COP30 di Brasil, Indonesia berhasil menjual 13,5 juta ton CO2 yang berasal dari sektor berbasis teknologi, kehutanan (FOLU) dan pembangkit dengan nilai sebesar Rp. 7 triliun dari target Rp. 16 triliun.

Aksi Penting dan Berkelanjutan
MIT Technology Review melalui Green Future Index menilai bahwa negara berkembang harus mengintegrasikan ekonomi rendah karbon agar tetap kompetitif. Tanpa itu, mereka akan tertinggal dalam arus investasi hijau yang kini menjadi tren global. Di dalam negeri, sejumlah tokoh menyoroti peluang sekaligus tantangan NEK. Riyadi Santoso dalam Pusat Analisis Keparlemenan, Badan Keahlian Setjen DPR RI (Isu Sepekan, Februari 2024), menekankan bahwa insentif karbon harus diintegrasikan dengan target NDC.

“Bisnis karbon tidak boleh hanya mengejar keuntungan. Namun harus menjadi bagian dari tanggung jawab lingkungan,” katanya. Berbeda dengan di atas, Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, menegaskan bahwa fokus Indonesia adalah menjual kredit karbon global. “Kita ingin menjadi pemain besar di pasar internasional, bukan sekadar menarik pajak,” ujarnya.


Begitu juga dengan Hanif Faisol Nurofiq, Dirjen Planologi KLHK, melaporkan bahwa transaksi karbon Indonesia di COP30 dengan capaian nilainya sebesar Rp7 triliun, menunjukkan potensi besar sektor karbon sebagai sumber devisa baru. Dalam pelaksanaannya Rohmat Marzuki, Wakil Menteri LHK, mengingatkan bahwa masyarakat adat dan petani hutan harus dilibatkan. “Mereka adalah garda terdepan dalam menjaga hutan. Tanpa mereka, perdagangan karbon hanya akan menjadi bisnis elitis,” tegasnya. Sependapat dengan pandangan Wakil Menteri LHK bahwa dalam praktiknya penting untuk melibatkan masyarakat adat dan petani hutan, untuk itu dalam memahami NEK masyarakat perlu melihatnya dari perspektif teori keilmuan. Sehingga perlu dibangun literasi yang baik dan massif agar aksi ini dapat berjalan baik dan serempak sehingga perolehan NEK menjadi lebih optimal.

Baca Juga :  Banjarmasin Laksana “Anak Punai Rajawali’”


Dalam ekonomi lingkungan, karbon dipandang sebagai eksternalitas negatif yang harus diinternalisasikan melalui instrumen harga (carbon pricing). Dan dalam teori pasar, perdagangan karbon menciptakan insentif ekonomi bagi perusahaan untuk menurunkan emisi. Sementara teori pembangunan berkelanjutan menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan. Dari sisi filsafat, utilitarianisme mengajarkan bahwa kebijakan karbon harus memaksimalkan manfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya segelintir pelaku bisnis. Sedangkan dalam etika Kantian (Immanuel Kant) menegaskan bahwa tanggung jawab moral terhadap lingkungan adalah kewajiban kategoris (categorical imperative), bukan pilihan.


Dengan kerangka ini, NEK bukan sekadar instrumen ekonomi, melainkan juga refleksi etika dan filsafat keilmuan yang menuntut tanggung jawab (untuk) mengurangi emisi, menjaga hutan, melibatkan masyarakat adat. Namun di sisi lain membuka peluang bisnis (seperti) menjual kredit karbon, menarik investasi hijau, meningkatkan reputasi global. Sehingga titik temu keduanya menjadi kontrak sosial-ekonomi baru, bahwa setiap ton karbon memiliki nilai, setiap kebijakan harus berorientasi pada keberlanjutan, dan setiap bisnis wajib menyeimbangkan profit dengan tanggung jawab.

Kesimpulan dan Prospek
Dari uraian singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa:

  1. Net Ekonomi Karbon (NEK) bukan hanya sekadar jargon, namun merupakan wujud nyata bahwa ekonomi dan ekologi bisa berjalan beriringan.
  2. Dalam mengelola iklim melalui karbon kredit, Pemerintah Indonesia harus memperhatikan dan melibatkan Masyarakat adat dan petani hutan sebagai garda depan.
  3. Meskipun NEK dapat menjadi sumber pendapatan negara, namun tanggung jawab terhadap lingkungan tetap menjadi prioritas.
  4. Semakin banyaknya kejadian-kejadian bencana banjir, longsor, kebakaran hutan, dll di Indonesia mengindikasikan bahwa Pemerintah harus lebih serius dalam memperbaiki lahan-lahan terbuka dan kritis melalui konservasi lahan selain mengelola sumber-sumber karbon kredit, seperti reforestasi, reboisasi, restorasi gambut, restorasi mangrove dan lainnya.
    Sementara prospek ke depan, dengan regulasi terbaru dan posisi strategis di pasar karbon global, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi laboratorium dunia dalam mengintegrasikan tanggung jawab lingkungan dengan kepentingan bisnis, meskipun jalan ini tidak mudah. Transparansi, keadilan, dan partisipasi masyarakat harus menjadi fondasi. Tanpa itu, NEK hanya akan menjadi bisnis baru yang melupakan tanggung jawab moral dan merusak prinsip-prinsip keberlanjutan.

Iklan
Iklan