Oleh: Zahwa Azizah
Aktivis Muslimah
Setiap kematian ibu dan bayi seharusnya dapat mengguncang nurani bangsa, bukan hanya menghiasi laporan tahunan Kementrian Kesehatan. Namun, yang terjadi pada negara ini adalah nyawa manusia yang sering kali hanya dijadikan sebagai angka pada tabel statistik saja. Padahal di balik data ini, tersimpan kisah – kisah pilu mengenai pelayanan kesehatan yang lamban dan buruk, alat kesehatan yang tidak memadai pada wilayah – wilayah tertentu, juga kurangnya tenaga medis yang ditempatkan pada setiap wilayah, terutama pada wilayah terpencil.
Mengutip dari news.detik.com (23/11/2025), di Jayapura wanita bernama Irene Sokoy dan bayi dalam kandungannya meninggal dunia setelah ditolak empat rumah sakit di Kabupaten dan Kota Jayapura, Papua. Gubernur Papua, Matius D Fakhiri, meminta maaf dan menyebut hal itu terjadi karena kesalahan jajaran pemerintah di Papua. Irene merupakan warga Kampung Hobong, Distrik Sentani, Jayapura. Irene dan bayinya dinyatakan meninggal dalam perjalanan bolak-balik menuju RSUD Dok II Jayapura setelah ditolak beberapa rumah sakit pada Senin (17/11), sekitar pukul 05.00 WIT. “Kematian seorang ibu hamil Irene Sokoy dan bayinya adalah tragedi yang memilukan. Empat rumah sakit diduga menolak korban,” ujar Kepala Kampung Hobong Abraham Kabey.
Tragedi kematian Irene Sokoy, ibu hamil asal Jayapura, Papua, bukan sekadar berita duka ini adalah tamparan keras bagi wajah pelayanan kesehatan Indonesia. Irene bersama bayinya meninggal dunia setelah ditolak oleh empat rumah sakit dengan alasan administrasi dan keterbatasan fasilitas. Dalam kondisi gawat darurat, ia dipaksa menempuh perjalanan hingga hampir satu jam menggunakan speedboat demi mencari pertolongan yang tak kunjung datang. Nyawa ibu dan anak yang seharusnya diselamatkan justru terhenti karena sistem yang lebih memprioritaskan prosedur dan uang dibandingkan kemanusiaan.
Kasus Irene hanyalah satu dari sekian banyak kisah kelam di negeri yang katanya menjunjung tinggi hak kesehatan bagi seluruh warga. Di balik jargon “kesehatan untuk semua”, sistem kesehatan Indonesia justru terjebak dalam paradigma kapitalistik yang menjadikan rumah sakit sebagai mesin pencetak keuntungan, bukan pelindung nyawa. Peraturan baru seperti Perpres Nomor 59 Tahun 2024, yang memungkinkan pasien BPJS membayar tambahan untuk naik kelas perawatan, semakin mempertegas arah komersialisasi sektor kesehatan. Layanan medis kini diperlakukan seperti barang dagangan, dan pasien miskin menjadi korban utama dari kebijakan yang lebih berpihak pada saldo keuangan daripada nilai kemanusiaan.
Kematian Irene menguak wajah asli sistem yang cacat: minim tenaga medis, distribusi fasilitas yang timpang, dan birokrasi yang kaku. Ironisnya, di tengah krisis ini, negara justru mendorong puskesmas dan rumah sakit menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang dituntut mandiri secara finansial. Padahal kesehatan bukan bisnis, melainkan hak dasar warga negara. Ketika akses terhadap layanan medis bergantung pada kemampuan membayar, maka keadilan sosial yang dijanjikan konstitusi hanyalah omong kosong belaka. Ini adalah bukti nyata betapa bobroknya sistem pelayanan kesehatan kita yang menerapkan sistem sekular kapitalisme. Seolah-olah orang miskin dan kurang mampu yang tinggal di daerah–daerah terpencil itu merupakan takdir yang mereka miliki, sehingga mereka sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai.
Islam menawarkan pelayanan kesehatan yang lebih manusiawi. Dalam pandangan Islam, melindungi nyawa adalah tanggung jawab moral dan hukum negara karena menyelamatkan nyawa merupakan kewajiban negara dan hak mutlak setiap warga, tanpa adanya perbedaan status social dan ekonomi. Negara bertanggung jawab penuh terhadap penyediaan layanan kesehatan yang gratis, mudah diakses, dan berkualitas. Layanan kesehatan seharusnya menjadi hak asasi, bukan komoditas. Sebuah bentuk kasih sayang sosial yang didanai dari kekayaan alam dan dikelola dengan niat melayani, bukan mencari laba. Prinsip ini menempatkan empati, kecepatan penanganan, dan pemerataan akses di atas segala bentuk birokrasi. Hal ini bukan sekedar cita–cita, tetapi telah nyata diterapkan di sepanjang Sejarah peradaban Islam. Pada masa kekhilafah-an Islam, negara mendirikan rumah sakit yang menyediakan layanan kesehatan gratis bagi setiap rakyatnya, baik yang muslim maupun non-muslim tanpa menbeda – bedakan golongan mereka. Sebab dalam Islam, hilangnya satu nyawa sama artinya dengan hilangnya seluruh umat manusia. Rumah sakit ini di danai dari Baitul mal, buka dari iuran atau asuransi.
Tragedi Irene Sokoy seharusnya menjadi peringatan keras: sistem kesehatan kita sedang sakit parah. Selama negara terus menilai nyawa manusia dengan angka dan keuntungan, selama rumah sakit lebih sibuk menghitung biaya daripada menyelamatkan hidup, maka akan selalu ada “Irene-Irene lain” yang mati dalam diam. Saatnya berhenti menormalisasi kematian akibat kelalaian sistem. Nyawa ibu dan anak bukan angka semata dan bangsa yang membiarkan mereka mati tanpa perlawanan sedang kehilangan nuraninya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita mengganti sistem kita yang rusak dan juga merusak ini dengan sistem dari Allah SWT. yaitu Daulah Islam (Khilafah).













