Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

PDAM dalam SDGs: Antara Laba dan Hak Dasar Manusia

×

PDAM dalam SDGs: Antara Laba dan Hak Dasar Manusia

Sebarkan artikel ini

Keputusan penting untuk masa depan kota, bangsa dan keberlanjutan

IMG 20251213 WA0006 1
Eddy Rusman, SP, MP, CRP

Oleh : Eddy Rusman, SP, MP, CRP
Mahasiswa Doktoral PERBANAS Institute Jakarta Program Manajemen Keberlanjutan

Air sebagai Simbol Kehidupan

Kalimantan Post

Di Indonesia, air bukan hanya soal kebutuhan sehari-hari. Ia adalah simbol kehidupan, fondasi pembangunan, dan penentu masa depan. Dari keran rumah tangga hingga pipa industri, air mengalir membawa harapan. Namun di balik aliran itu, berdiri sebuah institusi yang sering terlupakan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) atau dikenal juga sebagai BUMD Air Minum.

PDAM bukan sekadar badan usaha. Ia adalah penjaga keberlanjutan, penghubung antara hak dasar manusia atas air bersih dengan realitas sesuai Peraturan Pemerintah No. 122 Tahun 2015, dan secara ekonomi yang menuntut efisiensi serta laba sebagaimana tercantum dan diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Kondisi ini menempatkan PDAM berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, regulasi menuntutnya berfungsi sebagai badan usaha daerah yang harus sehat finansial, mampu menutup biaya operasional, dan menghasilkan laba. Di sisi lain, PDAM memikul mandat sosial untuk menjamin hak dasar masyarakat atas air bersih.

Sekilas Kinerja PDAM 2024

Dari 394 PDAM di Indonesia, 65,48% berpredikat sehat, sementara 24,37% kurang sehat dan 10,15% masih berpredikat sakit. Dengan nilai rata-rata cakupan pelayanan teknis atau jumlah jiwa yang terlayani dari wilayah pelayanan sebesar 26,77% dari 210.893.211 jiwa dengan kapasitas terpasang sebesar 242.427 L/detik, serta pemenuhan terhadap kuantitas, kualitas dan kontinuitas (3K) baru dapat dipenuhi oleh 40 PDAM (10,15%). Tentunya kondisi ini masih cukup mempritahinkan dan sangat prioritas untuk segera dilakukan perbaikan, baik masalah teknis maupun dalam pengelolaan air minum itu sendiri. Meskipun pemenuhan konsumsi air domestik telah mencapai 190 liter/orang/hari (di atas kebutuhan minimal (pedesaan) 60 liter/orang/hari sesuai ketentuan dari Kementrian PU). Namun masih 381 PDAM atau 96,7% dengan konsumsi air domestik kurang dari 25 m³/bulan, yang disebabkan karena pengelolaan jaringan distribusi yang belum tertata dengan baik, tersedianya sumber air alternatif, volume produksi air tidak seimbang dengan kebutuhan, serta masih tingginya kehilangan air fisik. Bahkan tingkat kebocoran atau air yang tak berekening (NWR) masih tinggi, yakni sebesar 33,51% yang seharusnya dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan Masyarakat yang belum terpenuhi.

Dari sisi finansial rata-rata ROE Nasional baru mencapai 6,37% (di bawah standar sebesar 7%) dan baru sebanyak 66 PDAM atau 16,37% yang dapat menghasilkan laba bersih (earning after tax) nya di atas 7% sementara sebanyak 83,3% masih berada di bawah standar 7%.

Bahkan masih terdapat sebanyak 196 PDAM atau sebesar 42,89% yang memiliki ROE < 0% (negatif).

Sebagai contoh Kalimantan Selatan yang memiliki 12 PDAM dengan kriteria sehat semuanya, namun terdapat 4 PDAM atau 33,33% yang masih mengalami kerugian karena masih non FCR (full cost recovery) artinya pendapatan yang diperolah belum dapat menutupi seluruh biayanya. Di sisi lain, dalam hal akses terhadap air layak secara Nasional pun Kalimantan Selatan menempati ranking 35, sementara untuk akses tertinggi (ranking 1) ada pada PDAM Jakarta.

Baca Juga :  Peran Strategis dan Manfaat Pokdarwis bagi Pengembangan Wisata Daerah Meratus

PDAM, Keberlanjutan dan SDGs

PDAM bukan sekadar badan usaha, melainkan juga sebagai penjaga keberlanjutan, penghubung antara hak dasar manusia atas air bersih dengan realitas ekonomi yang menuntut efisiensi dan laba. Hubungan ini, sebagaimana digambarkan dalam kerangka Triple Bottom Line (Planet, People, dan Profit) menjadi kunci pemahaman terhadap kondisi PDAM Nasional hari ini dan masa yang akan datang.

Planet: Air sebagai Basis Eksistensi

Air adalah sumber daya terbarukan, tetapi tidak tak terbatas. Hutan yang gundul di hulu sungai membuat debit air menurun drastis di musim kemarau, sementara pencemaran limbah industri dan domestik menambah beban pengolahan. Di Jawa, misalnya, banyak PDAM harus berjuang keras mencari sumber air baku saat kemarau panjang. Biaya pengolahan melonjak karena kualitas air sungai yang tercemar. Ironisnya, residu lumpur hasil pengolahan pun menjadi masalah lingkungan baru. Seorang pakar lingkungan dari UNS, Irawan Sapto Adhi, menegaskan: Ketika PDAM gagal menyediakan air perpipaan, masyarakat beralih ke sumur bor. Dampaknya adalah penurunan muka tanah yang parah, seperti di Jakarta dan Semarang. PDAM yang berkelanjutan adalah solusi ekologis yang tidak bisa ditawar.

Krisis air baku ini bukan sekadar isu teknis, melainkan ancaman eksistensial. Tanpa sumber daya yang berkelanjutan, PDAM tidak bisa bertahan hidup. Dan tanpa PDAM yang kuat, masyarakat tidak bisa mencapai kehidupan berkelanjutan.

People: Mandat Kemanusiaan

Air bersih bukan sekadar kebutuhan, melainkan hak asasi manusia. SDG 6 PBB, menegaskan bahwa akses universal terhadap air bersih adalah fondasi pembangunan berkelanjutan. Namun realitas di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak PDAM yang hanya mampu melayani < 50% penduduk di wilayahnya. Di daerah pedesaan, masyarakat masih membeli air dari gerobak dengan harga lebih mahal dibandingkan mereka yang sudah terlayani pipa. Air PDAM pun sering kali belum bisa diminum langsung dari keran karena system pengelolaan yang belum memadai bahkan jaringan pipa yang sudah tua dan rawan bocor. Padahal, menurut penelitian kesehatan masyarakat, akses air bersih perpipaan berbanding lurus dengan penurunan penyakit diare, kolera, hingga stunting. Akademisi hukum dari UNISMA, Adinda Yustika Maulida, menekankan: “PDAM memiliki tanggung jawab hukum terhadap konsumen. Air bersih adalah hak dasar. Jika layanan gagal, kompensasi harus diberikan. Ini bukan sekadar bisnis, melainkan mandat kemanusiaan.” Sebagaimana Pasal 33 UUD 1945 dan PP nomor 122 tahun 2015.

Profit: Mesin Penggerak Ekonomi

Keberlanjutan sosial dan lingkungan tidak akan tercapai jika PDAM tidak sehat secara finansial. Tarif air yang tidak realistis membuat banyak PDAM bergantung pada subsidi APBD. Akibatnya, investasi untuk perbaikan jaringan pipa dan pengembangan layanan terhambat. Masalah terbesar adalah Non-Revenue Water (NRW), air yang diproduksi tetapi hilang sebelum sampai ke pelanggan. Rata-rata nasional NRW masih di atas 30–40%. Artinya, hampir separuh air yang diolah dengan biaya mahal terbuang sia-sia.

Baca Juga :  Perubahan Iklim dan Bencana Kapitalistik

Pakar infrastruktur dari SUPRA International menegaskan: “NRW adalah pemborosan ekologis sekaligus kerugian finansial. Indonesia kehilangan ratusan juta dolar setiap tahun. Mengurangi NRW adalah kunci keberlanjutan PDAM.”

Regulasi dan Arah Kebijakan

Pemerintah mencoba menjawab tantangan ini melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2024 tentang percepatan penyediaan air minum dan pengelolaan air limbah domestik. Regulasi ini menekankan koordinasi lintas sektor dan keberlanjutan program. Selain itu, Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2024 mengatur izin pengusahaan air tanah. Regulasi ini penting karena eksploitasi air tanah sering menjadi substitusi ketika PDAM gagal. Dengan aturan ketat, PDAM diharapkan menjadi garda depan pengelolaan air minum yang berkelanjutan. Sebagaimana dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs), peran PDAM sudah sangat jelas seperti terhadap SDG 6: “Menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua.” Dengan menyediakan akses air minum aman, mengurangi kehilangan air (NRW), meningkatkan efisiensi layanan, serta mendukung kesehatan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi lokal. Selain itu juga dapat meminimalisir eksploitasi air tanah yang tidak terkendali. Peran ini juga bersinggungan dengan SDG lain seperti kesehatan (SDG 3), kota berkelanjutan (SDG 11), dan iklim (SDG 13).

Contoh Pengelolaan PDAM

  • Jawa Barat: PDAM Tirta Raharja menghadapi krisis air baku akibat pencemaran Sungai Citarum.
  • Jakarta (PAM Jaya), harus mempersiapkan pipa transmisi yang panjang karena masih tergantung dengan waduk Jatiluhur sebagai sumber Air Baku.
  • Kalimantan Selatan: PDAM Bandarmasih berjuang memperluas cakupan layanan ke daerah pinggiran kota yang tumbuh cepat.
  • Sumatera Utara: PDAM Tirtanadi menghadapi dilema tarif, dengan tekanan politik yang membuat tarif tidak mencapai full cost recovery.

Jika dibandingkan dengan pengelolaan Air Minum di luar negeri, seperti:

  • Singapura: PUB (Public Utilities Board) berhasil mencapai NRW di bawah 5% dengan teknologi canggih dan tarif realistis.
  • Jepang: PDAM setempat menerapkan sistem cross-subsidy, di mana tarif industri lebih tinggi untuk mensubsidi rumah tangga miskin. Maka Indonesia bisa belajar dari praktik internasional ini, namun tetap harus disesuaikan dengan konteks lokal.

PDAM sebagai Agen Keberlanjutan

PDAM adalah korban sekaligus agen keberlanjutan. Ia terancam oleh kerusakan lingkungan, tetapi juga menjadi solusi untuk mencegah krisis air. Transformasi PDAM dari sekadar penyedia air menjadi pengelola sumber daya air yang berkelanjutan adalah syarat mutlak bagi kota berkelanjutan. Tidak mungkin sebuah kota disebut sustainable city jika PDAM-nya masih bocor 40%, sungai sebagai sumber air bakunya penuh sampah, dan warganya membeli air dari gerobak bahkan mengeksploitasi air tanah.

PDAM bukan hanya penyedia air, tetapi sebagai aktor pembangunan berkelanjutan. Dengan memperluas akses air minum, meningkatkan efisiensi, dan berinovasi, PDAM mendukung pencapaian SDGs lintas sektor: kesehatan, iklim, ekonomi dan kota berkelanjutan. Oleh karena itu menjadikan PDAM berkelanjutan bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan untuk masa depan Masyarakat dan Bangsa Indonesia.

Iklan
Iklan