Oleh: Nisrina Rahmah Hayati
BANJARMASIN, kalimantanpost.com – Di setiap lantunan ayat suci yang keluar dari bibir seorang qoriah, selalu ada kisah panjang yang tak terdengar. Kisah tentang cinta, perjuangan, keteguhan hati, dan doa-doa yang tidak pernah putus. Begitulah kisah Rahma Yunita, qoriah muda asal Teluk Tiram Darat, Banjarmasin, yang hari ini menginspirasi banyak orang melalui perjalanan hidupnya bersama Al-Qur’an.
Rahma tidak pernah bermimpi menjadi seorang qoriah. Yang ia tahu sejak kecil hanyalah bahwa ia suka bernyanyi, suka mengalunkan nada. Namun Allah menuntun langkahnya melalui orang tua yang melihat lebih jauh dari dirinya sendiri. Suatu hari, mereka berkata: “Cobalah membaca Al-Qur’an dengan nada. Suaramu adalah anugerah, gunakan untuk ibadah.”
Kalimat itu mengubah hidupnya.
Ia kemudian mengikuti pembelajaran tilawah sekali seminggu. Dari yang awalnya hanya mencoba, perlahan Rahma jatuh cinta. Latihan yang ia lakukan di rumah, saran dari pelatih, serta dukungan tanpa batas dari orang tuanya akhirnya mengantarkan Rahma pada lomba MTQ pertamanya—dan tanpa disangka, ia langsung meraih juara. Seakan Allah sedang mengisyaratkan bahwa inilah jalan yang tepat untuknya.
Namun perjalanan ini tidak selalu mudah. Ada hari-hari ketika suara terasa tidak stabil, ketika rasa takut dan cemas datang tanpa diundang, ketika jadwal latihan terasa melelahkan. Tapi Rahma tidak menyerah. Ia menjaga kesehatan, menjaga hati dari kesombongan, memperbaiki niat, dan terus belajar tajwid agar lantunannya tidak hanya indah, tetapi juga benar.
Saat diumumkan sebagai Juara 1 Tilawah Remaja Putri MTQ Nasional Kota Banjarmasin 2025, Rahma tidak langsung menangis—hatinya justru terasa hangat. Bukan hanya karena berhasil mencapai prestasi tertinggi, tetapi karena ia tahu, di balik pencapaian itu ada doa ibunya, pengorbanan neneknya, dan bimbingan guru-gurunya.
Rahma bercerita bahwa setiap kali ia merasa tertekan, ia memilih bercerita kepada ibunya. Kadang hanya butuh pelukan, kadang hanya butuh mendengar suara lembut sang ibu yang selalu berkata: “Kamu bisa, Nak. Mama ada di sini.”
Dan ketika hatinya masih gelisah, ia kembali kepada Sang Pencipta melalui sujud-sujud sunah, memohon ketenangan, memohon keberkahan.
Rahma sadar bahwa gelar hanyalah bonus. Yang lebih utama adalah perjalanan mendekatkan diri kepada Al-Qur’an. Tahun ini menjadi tahun terakhir ia berkompetisi di cabang Tilawah Remaja. Namun bukan berarti langkahnya berhenti. Ia berencana mendalami cabang Kiraat Mujawat, terus belajar, terus tumbuh.
Bagi generasi muda, Rahma menitip pesan lembut namun kuat:
“Kalau kita punya potensi, jangan takut melangkah. Kalau jatuh, bangkit lagi. Kalau gagal 100 kali, bangkit 1000 kali. Allah tidak pernah mengecewakan hamba yang berusaha.”
Kini, sebagai seorang guru tilawah, Rahma ingin ilmu dan pengalamannya menjadi cahaya bagi murid-muridnya. Apa yang pernah ia dapatkan dari gurunya, ingin ia teruskan kepada generasi setelahnya.
Di akhir percakapan, suaranya bergetar saat ia menyampaikan rasa terima kasih terdalam:
Untuk ibunya yang bukan hanya menjadi pendukung, tetapi juga rumah teraman tempat ia pulang.
Untuk neneknya yang pertama kali mengenalkan huruf-huruf suci Al-Qur’an kepadanya.
Untuk guru-gurunya khususnya Guru Yani, yang mengubah suara seorang gadis yang suka bernyanyi menjadi lantunan tilawah yang menyentuh hati.
Rahma Yunita adalah bukti bahwa suara indah tidak lahir sendirinya. Ia lahir dari doa yang panjang, cinta yang tulus, guru yang bijak, dan hati yang selalu berusaha mendekati Allah.
Dan dari seorang gadis sederhana di Teluk Tiram Darat, kini berdiri seorang qoriah muda yang suaranya bukan hanya terdengar, tetapi juga menyentuh.













